Kejadiannya
adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telahmendapat
undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati,untuk turut
serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendakmendukung
politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahunpengesahan
"Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, JawaTengah pada
tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya
adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu disebelah studio
shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambiltangan kiri
bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkatadengan lantang:
"Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!" Mendengar itu jantung sayaterkesiap, lalu
saya tanya: "Cina yang mana Pak Fadel???" Jawabnya: "Yah Edy
Tansil dan Liem Sioe
Liong!" Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orangCinan ya (Ya saya
ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya:
"Pak Fadel!
Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!" katanya. Mendengar itu PakFadel menjadi
salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu,saya lalu
bertanya pada Pak Fadel: "Pak Fadel suku bangsa apa?" Jawabannya
dengansuara kurang
mantap: "saya orang Arab!". Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semuakan orang
Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok[intergroup
relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa),
tetapi
dengan sesama
minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapatmenggambarkan
dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolongminoritas, tidak
merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu jugatergolong
minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jaditergolongnya
"pribumi" sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang
memang kedudukan
sosial politik adalah tergolong minoritas, yang "non pribumi" apa lagimenurut ia semua
orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim)dan Edi Tansil.
Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulantidak termasuk
konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karenasebagai penggede
GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memangdemikian, karena
kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh
Jaksa Agung,
namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo.
Bukan main! Aneh
bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masihdapat terjadi
dalam jaman Reformasi ini.
Partisipasi saya
dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukungpolitik
pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politikpembauran yang
bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat
banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet sayadahulu, bernama
Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretarisPaguyuban Sosial
Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersediamembantu
paguyuban mereka.
Dalam rangka
reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa darisegala agama
diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahiBakin (Badan
Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izinmempertunjukan
Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu.
Kami semua
sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaankeamanan
dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depansaja. Namun
ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnyamerasa sudah
tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah TinggiSeni Indonesia
(STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarakLian-Iiong dan
Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat
"Pribumi",
yang
diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapatsambutan meriah dari
segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa.
Yang hadir dalam
pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, sepertiMayJen TNI (Pur)
Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog MantanRektor
Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokohMuslim Tionghoa
H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten.
Selain itu juga
wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Padakesempatan itu
BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsaTionghoa dengan
dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi inidapat
digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis.
Menurut beliau
dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina.melainkan karena
merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunanCina, karena
mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikankambing hitam
dan dibunuh. Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di
mana mereka
berdiam.
Mendengar
pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak PakJenderal, namun
akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia-Tionghoa, karena
mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek
pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknumpejabat tinggi
sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapatdisuruh berusaha
sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya,namun jika
terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikankambing hitam,
untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnyabeberapa konglomerat
suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terussurvive dalam
jaman Reformati ini.Walaupun
diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi initelah mulai
lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masareformasi ini
agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang
diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu harirayanya yang
dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telahdisahkan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun dilain pihak ada
tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhiaspirasinya
beragama.
Dalam Koran
KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwaumat agama
tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga negaraIndonesia. Untuk
itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivispenghayat
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telahmengadu ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin
Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti,
disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah pirantihukum, yang
melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat negara yang menganggap
para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat
berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa
mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap
tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan
kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua,
handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan
kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui
negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di
Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul
Kafir.Dewi menyesalkan
munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang
pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Dalam
SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan."
Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan
yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan
Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan
hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.
Menghadapi haI
ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu,
mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak
sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya
mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang
dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminologi
kafir tidak
dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti
ini tidak sehat dalam hidup bernegara. Setelah bertemu
dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan,
"Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakatmemperjuangkan
nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi
semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM.
Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."
Tugas anggota
Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi
kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan
yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998,di mana lebih
dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran
hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban
adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka,
ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal
Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk
menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan
potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya
hidup-hidup. Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak
kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak
ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam
tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah
mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut.
Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei1998 di restoran
Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang
diadakan oleh
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa. Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya
sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang
ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut terlihat dua
mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan
gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie
(termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada
permerkosaan,
karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk
ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan
Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja.
Hasil penelitian
di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah
diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan
entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan
masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri
selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa. Menurut Salahudin
Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan
bahwa Komnas HAM
sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa
tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja
korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan.
Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait
juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hatihati agar tidak
terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu
diungkapkan,
karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran
tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang
kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama
(Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4).
Masalah ini akan
terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan
Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa
tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran
HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi
Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di
sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.
Peraturan-peraturan
bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari
ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri
Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah
masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde
Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk
tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus
berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum
mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka
harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif
itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi
pergolakan
sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya
kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh
etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu
adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat
Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas
itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka
waktu hendak
mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh mencantum nama
marganya.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas,khususnya suku
bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus.Penyebabnya
memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah
karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh
oknum-oknum pejabat, baik
sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak
memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang
Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan
Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia
sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
Sumber: Prof. Dr. James Danandjaja MA.(Universitas
Indonesia)