Oleh : Jaap (Belanda)**
Museum Bronbeek¹ di Belanda pada bulan Januari ini menampilkan Tanah
Batak sebagai tema utama. Sebuah momen yang sungguh emosional bagi
penyair Sitor Situmorang, yang kini bermukim di negeri itu. Pasalnya,
pewaris hutan ulayat Tele ini sempat diajak berbincang oleh Hans van den
Akker, konservator Museum Bronbeek, mengenai kejadian-kejadian historis
yang mengenaskan di awal abad ke-20 silam.
Terutama kisah heroik pemimpin gerilya dan raja Batak terakhir
Sisingamangaraja XII– amangboru kandung (paman) Sitor; yang tewas di
tangan Tentara Hindia Belanda tahun 1907.
Yang menewaskan Sisingamangaraja XII : Foto tahun 1907. Tentara Belanda
mengejar Sisingamangaraja XII di kawasan hutan Tele. Dipimpin Hans
Christoffel (memegang tongkat), mereka berpose sejenak di daerah Sagala.
Sitor Situmorang (83) menjelaskan secara detail– tanpa mengenal
lelah– peristiwa di sekitar tahun 1907 melalui perspektif tradisi Batak.
Kematian tragis Sisingamangaraja XII menyebabkan “perpecahan” budaya
Batak Toba. Daerah tersebut sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
kolonial Hindia Belanda.
Musim panas lalu, Situmorang berkeliling di Sumatera Utara dan
menjadi tamu kehormatan acara peringatan 100 tahun wafatnya
Sisingamangaraja XII.
Sitor Situmorang² dilahirkan di Harianboho, 2 Oktober 1924. Desa ini
terletak di kaki gunung Pusuk Buhit yang dianggap magis dan sakral di
Tanah Batak. Sitor cilik sudah biasa mendengar sajak dan cerita-cerita
heroik mengenai kakek moyangnya. Salah satu cerita tersebut yang paling
terkenal adalah Sisingamangaraja. Ompu Babiat, ayah Sitor, masih
berkerabat dengan Sisingamangaraja dan dikenal sebagai pemimpin pasukan
Sisingamangaraja.
Ompu Babiat adalah lae kandung (ipar) dari Sisingamangaraja XII.
Keluarga besar Si singamangaraja dari Bakkara (pesisir selatan Danau
Toba) sudah turun-temurun menikahi putri marga Situmorang di Lintong
(pesisir barat Danau Toba). Di awal abad ke-20, penduduk Batak Toba
hidup berkelompok dengan marga-marga otonom. Setiap daerah diorganisasi
secara teratur tidak jauh dari sumber air. Bius atau sistem irigasi
menjadi basis pembagian otonomi.
Setiap daerah atau clan otonom tersebut mempunyai raja.
Sisingamangaraja adalah pemimpin (religius) yang paling disegani saat
itu. Sisingamangaraja XII menjadi tokoh sentral setelah naik tahta di
usia remaja. Ia menggantikan Sisingamangaraja XI yang tutup usia akibat
epidemi kolera.
Sisingamangaraja bergerilya di hutan Tele
Di tahun 1883 terjadi konfrontasi antara Tanah Batak dengan kekuasaan
kolonial yang sudah lama bercokol di Aceh. Serangan ini berlangsung di
selatan Danau Toba di sekitar Balige.
Sisingamangaraja terluka di lengannya dan lari bersembunyi ke dalam
hutan. Langit berubah hitam kelam. Gunung Krakatau sedang meletus saat
itu. Pelariannya berakhir di Lintong. Boru Situmorang, ibunda
Sisingamangaraja, berasal dari daerah ini. Popularitas Sisingamangaraja
melesat sejak kejadian tersebut. Perang di areal terbuka ini sering
disebut tidak berimbang. Tentara Hindia Belanda dianggap secara taktis
dan teknis lebih superior.
Mulai saat itu masyarakat Batak Toba mempunyai satu musuh utama,
Tentara Hindia Belanda, dan seorang pemimpin, Sisingamangaraja XII. Pada
tahun 1889, gerakan kontra gerilya Sisingamangaraja dan tentaranya
berpusat di Pea Raja. Ia juga memimpin rakyatnya melewati kehidupan yang
cukup aman dan tentram. Sementara itu, Tentara Belanda di Aceh
membentuk korps elit untuk melawan aksi militan. Korps revolusioner ini
merupakan ide dari J.B. Heutsz dan islamolog C. Snouk Hurgronje.
Tentara gerilya Aceh dan Batak diawasi oleh brigade yang terdiri dari
maksimal 16 serdadu pribumi di bawah pimpinan komandan dari
Eropa.Mereka dipersenjatai dengan karabin dan klewang. Brigade ini
beroperasi amat cepat dan akurat. Posisi Aceh semakin terdesak dan
perlawanan Aceh dapat dibendung oleh Tentara Hindia Belanda. Tanah Batak
kembali menjadi daerah incaran kolonialisme mulai tahun 1904. Ekspedisi
mereka di bawah pimpinan Van Daalen berakhir di Gayo dan Alas.
Tanah Batak yang mereka lewati dan diperkirakan membahayakan akan
dibakar, dijarah dan dibunuh penduduknya. Raja Batak menjadi target
terpenting mereka saat itu. Ekspedisi lainnya mulai merambah Pea Raja,
tempat persembunyian pemimpin perlawanan Bangso Batak itu.
Sisingamangaraja XII harus bersembunyi lebih dalam lagi ke hutan
belantara bersama keluarga dan pengikutnya.
“Mereka seperti bermain petak-umpet,” ujar Sitor Situmorang.
sitorjaap11.jpg
17 Juni 1907 : Sisingamangaraja tertembak
Salah satu letnan dari ekspedisi ini, Colijn, yang juga pernah
menjabat PM Belanda menulis surat kepada istrinya dan menyatakan
kekagumannya terhadap tokoh Sisingamangaraja yang disucikan dan
peninggalan berharga mereka yang dibiarkan begitu saja sewaktu
bersembunyi ke dalam hutan.
Tentara Hindia Belanda di bawah pimpinan Hans Christoffel dilengkapi
empat brigade bertolak ke kawasan Batak Toba di bulan Maret 1907.
Brigade tersebut sebagian besar terdiri dari penduduk Jawa dan Ambon.
Mereka ditugasi Christoffel untuk menangkap Sisingamangaraja XII, hidup
atau mati.
Meskipun berperawakan kecil, Christoffel dikenal tegas, berani dan
tidak mudah ditaklukkan. Selain itu, ia adalah penembak jitu dan
berpengalaman melawan gerakan kontra gerilya. Tanpa membuang waktu, ia
bersama brigadenya segera menyusuri daerah pesisir barat Danau Toba dan
pegunungan di Pusuk Buhit.
Kondisi alam di sana sukar dan dipenuhi jurang dalam serta bukit
terjal. Dalam waktu singkat, Christoffel berhasil mengumpulkan informasi
mengenai tempat persembunyian Sisingamangaraja. Taktik
search-and-destroy Christoffel berakibat tertangkapnya Boru Situmorang
dan beberapa anaknya, namun Sisingamangaraja belum dapat disentuh. oleh
Christoffel. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907, salah satu
brigade dari Christoffel bertatap muka langsung dengan Sisingamangaraja
di dekat sebuah jurang di daerah Parlilitan.
“Ahu Singamangaraja,” teriaknya. (Akulah Singamangaraja)
Menurut sebuah jurnal kolonial, pertumpahan darah tidak dapat
dihindari dan Sisingamangaraja gugur bersama kedua putranya. Jenazah
Sisingamangaraja diusung berkeliling desa supaya rakyat tahu raja mereka
telah tiada (Ini taktik Belanda untuk menjatuhkan moril Bangso Batak,
supaya lebih mudah dikalahkan dan dijajah.)
Sisingamangaraja dimakamkan di sebuah garnisun di Tarutung. Belanda
ingin menghindari tempat peristirahatan terakhir Sisingamangaraja
menjadi semacam tujuan ziarah. Kemudian anak-anak Sisingamangaraja yang
lain dibaptiskan oleh misionaris dari Rijn dan dikirim ke Jawa. Sejak
saat itu, Tanah Batak menjadi bagian dari dunia “modern”.
———————————————————————————————————
Catatan:
¹Museum Bronbeek menggelar pameran De laatste Batakkoning (Raja Batak
terakhir) mulai 20 Januari hingga 20 Oktober 2008. Eksposisi ini juga
dilengkapi ceramah, pergelaran tari, pemutaran film dokumenter mengenai
Batak dan interview dengan Sitor Situmorang.
²Sitor Situmorang dilahirkan di Harianboho, 2 Oktober 1924. Di usia 6
tahun ia pergi ke Balige untuk menempuh pendidikan. Sekolah dasarnya ia
selesaikan di Sibolga dan sekolah menengahnya di Tarutung. “Kami
menganggap pendidikan Belanda sebagai hal yang lumrah waktu itu,”
ungkapnya. Masa pendudukan Jepang terpaksa menghentikan kegiatan
akademisnya dan Sitor bergabung dengan Harian Waspada di Medan. Tahun
1946 ia pindah ke Jakarta.
Sitor termasuk sastrawan Angkatan ’45. Ia banyak menulis esai
mengenai Indonesia Baru dan perkembangannya di masa awal Republik
Indonesia. Tahun 1953, setelah mengenyam pendidikan di Amsterdam dan
Paris, kumpulan puisinya “Surat Kertas Hijau” diterbitkan. Selain itu
masih ada beberapa kumpulan sajak, cerita pendek dan naskah drama.
Publikasi “Esai Sastra Revolusioner” di tahun 1965 di era Soeharto
membuatnya harus mendekam di penjara selama 8 tahun, tanpa proses
pengadilan. Selanjutnya terbit kumpulan puisi “Waktu Dinding” dan “Peta
Perjalanan”.
Karya Sitor tidak hanya kental dengan tradisi Batak yang kuat, tetapi
juga dipengaruhi sastrawan modern Belanda seperti Slauerhoff. Tema
karya Sitor yang menonjol: cinta semu atau tidak kekal, pengembaraan dan
siklus abadi kematian dan kehidupan.
Ia menjadi dosen tamu di Seksi Indonesia di Universitas Leiden
(1981-1990). Setelah pensiun, Sitor sempat tinggal di Pakistan, Paris
dan Jakarta. Ia dianugerahi ASEAN Write Award di tahun 2006. Kini ia
menetap di Belanda.
Sumber: Majalah Moesson –Sitor Situmorang over de laatste koning aller Batak– De dag dat de hemel zwart werd (Januari 2008)