Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar