Bulan Menjadi Dua
Di perbatasan Silindung dengan Pahae, tinggallah seorang pemilik kebun yang kaya raya. Dia dipanggil Nalobian. Menurut pengakuannya, dialah yang paling kaya di daerah tersebut. Selain kaya, Nalobian juga mengklaim dirinya paling pintar, paling tampan, paling segalanya. Paling ditakuti dan paling berpengaruh di Desa Pahae.
Na lobian, dalam bahasa setempat berarti “yang berlebih” adalah gelar yang sangat dibanggakannya. Banyak penduduk desa dan pemuda rantau yang bekerja di kebunnya.Adayang menggarap tanahnya dengan system bagi hasil, banyak pula yang bekerja sebagai buruh upahan. Orang –orang desa sebenarnya tidak senang melihatnya. Tapi tidak ada yang berani menentangnya.
Adalah sebuah kebiasaan buruk yang sudah berlaku lama di desa itu. Apabila Nalobian sedang minum di warung manapun, tidak ada yang berani memesan apapun. Dan tukang warung pun tidak berani melayani mereka. Mereka harus menunggu Nalobian selesai. Selama Nalobian masih berada di warung, biasanya tidak seorangpun yang berani mengangkat bicara. Mereka hanya boleh mendengar Nalobian membual tentang kelebihannya. Setelah ia pergi barulah orang – orang memesan dan suasana warung boleh ramai, bebas dan santai.
Pada suatu sore, Simamora singgah di warung dimana Nalobian sedang minum kopi. Ketika itu banyak orang desa yang duduk di bangku – bangku panjang dengan sikap tegang. Mereka mendengar Nalobian membual tanpa berani member tanggapan. Hanya terlihat beberapa orang yang sesekali mengangguk – angguk. Itupun bukan berarti mereka memahami atau mengamini ucapannya. Anggukan mereka hanya gerakan kepala biasa tanpa makna.
Meja disamping mereka kosong. Simamora langsung bergabung dengan mereka setelah menambatkan kudanya di salah satu pohon di samping warung dan meletakkan bakulnya agak di bagian dalam warung. Sore itu cuaca panas. Simamora merasa haus setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Sebelum duduk ia memesan minumannya,
“Kopi satu !”
Pelayan warung tidak bereaksi. Hanya terlihat kikuk mendengar suara Simamora.
“Kopi!” Simamora mengulangi pesanannya dengan suara yang lebih keras dan lebih tegas.
“Oh… ia Kata pelayan warung itu tanpa bergeming dari tempat duduknya.
“Pelayanannya kok lambat benar…” gerutu Simamora.
“Bukan lambat, anda saja yang tidak mengerti.” Bisik pelayan tersebut sembari meletakkan kopi pesanan Simamora di mejanya.
“Maksudmu?” Tanya Simamora yang kebingungan.
“Apa anda tidak melihat Nalobian sedang minum?” Tanya penjaga warung sambil megarahkan pandangannya kepada orang yang dimaksud.
“Apa hubungannya?” simamora kembali bertanya.
“Disini tidak ada yang berani minum selama Tuan Nalobian belum selesai.” Jawab seseorang dari kumpulan yang sedang minum itu.
Mendengar itu, Simamora merasa jengkel juga. Ingin rasanya memberi pelajaran kepada orang yang dipanggil Nalobian itu. Nalobian sendiri dengan sengaja memperlambat menghabiskan minumannya. Setelah meneguk sedikit kopinya, ia kemudian meletakkannya lalu merentangkan kedua tangannya. Nalobian bersantai.
“Kenapa mesti begitu?” Simamora bertanya lagi.
Pelayan warung lalu menjelaskan, “Siang harikanhanya ada satu matahari.”
“Terus…?” Tanya Simamora
“Malam hari juga hanya ada satu bulan. Dan disini juga hanya ada satu Nalobian….”
Sebelum pelayan selesai bicara, Simamora langsung memotongnya.
“Pantas…Ternyata desa ini orang – orangnya masih kolot.”sela Simamora sambil meluruskan kakinya setengah bersandar.
“Apa Maksudmu ?” Nalobian yang dari tadi hanya diam sekarang angkat bicara.
“Maksudku orang – orang disini masih sulit maju karena belum pernah melihat bulan ada dua” Sahut Simamora.
“Bulan ada dua?”
“Iya…”
“Sekaligus ?”
Ya… Bulan ada dua sekaligus.” Simamora mempertegasnya. Mendengar itu, Nalobian merasa tertantang.i desa ini belum pernah ada yang lebih pintar dari dirinya. dia merasa dipermalukan di depan warganya sendiri.
“Orang desa ini yang kolot, Apa kau yang bodoh?” Tanya Nalobian dengan suara lantang.
“Aku sanggup membuktikan apa yang aku katakana.” Sahut Simamora datar.
“Berani taruhan?”
“Aku tidak punya barang berharga untuk dipertaruhkan.”
“Baik, Begini saja.” Kata Nalobian penuh nafsu. “Kalau kau tidak sanggup memperlihatkan dua bulan sekaligus, kuda dan semua barangmu aku ambil. Dan kaupun akan menjadi budakku. Selamanya !” tawar Nalobian.
“Kalau aku sanggup? Bagaimana?” Tanya Simamora.
“Semua hartaku menjadi milikmu.” Sahut Nalobian.
Mendengar itu semua orang yang berada di warung terperanjat. Mereka sepertinya tidak percaya apa yang mereka dengar. Masing – masing membetulkan cara duduknya sambil memasang telinga.
“Baik. Malam ini akan aku buktikan.” Janji Simamora.
Dengan muka merah padam dan wajah penuh dendam Nalobian meninggalkan warung tersebut sambil berpesan agar warga dating sebagai saksi.
“Pasti !” Teriak mereka serentak.
* * *
“Apa menurutmu Simamora itu bisa membuktikan kata – katanya?” Tanya seseorang diantara kerumunan kepada seorang lain.
“Ya, berharap saja besok kita tidak kolot lagi…” Jawabnya setengah meledek.
Setelah Nalobian tiba di warung tersebut, para warga langsung meminta Simamora membuktikan kata – katanya. Bahwa bulan terbit dua buah sekaligus.
Dengan tenang Simamora mengeluarkan sebuah ember besar yang ditutupinya dengan pohon pisang. Dia meletakkan ember tersebut diatas meja yang terletak di luar warung. Para warga yang hadir mengerumuni meja tersebut. Simamora dan Nalobian berdiri berhadapan di kedua sisi meja. Orang – orang semakin mendekat tetapi tidak seorangpun yang berkomentar. Mereka menunggu siapa diantara mereka yang akan menanggung malu. Tanpa ekspresi yang berarti Simamora menunjuk bulan di langit dengan satu jari. Dengan spontan orang – orang yang hadir di sana berteriak;
“Satu !”
“Iya,” Sahut Nalobian geram. Setelah membuka daun pisang, Simamora menunukkan ke arah ember dengan dua jari. Nalobian kaget ! Dia mundur selangkah, Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Selang beberapa detik ia mendengar warga berteriak, “Dua !!!”
Serentak seluruh warga yang hadir bertepuk tangan menyambut kemenangan Simamora. Melihat kenyataan itu, Nalobian tertunduk lemas di kursinya. Dia hampir pingsan.
“Sita … ! Sita … !” Teriak sebagian warga. Mereka meluapkan kedongkolan yang selama ini terpendam di hati mereka. Inilah saat yang tepat untuk menghapus kesombongan Nalobian dari desa itu.
Simamora mengangkat kedua tangannya menentramkan massa yang berjubel itu.
“Aku tidak punya bakat menjadi orang kaya. Biarlah ia mengurus sebagian hartanya. Akan tetapi hak atas tanah, hutan kemenyan harus dilepas. Menjadi milik umum. Tanah yang disewakan diserahkan kepada orang yang menggarapnya. Dan yang terpenting,” Tambah Simamora. “Hak untuk dilayani sendiri di warung harus dihapuskan !”
“Setuju ! Setuju ! Setuju !” Warga berteriak kegirangan menyambut keputusan Simamora.
Dan sejak itu warga desa mempunyai hak yang sama atas tanah, kebun, hutan dan lain – lain. Suasana di warung pun sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang mereka bebas memesan minuman dan bebas berbicara tanpa ada yang harus ditakuti. Sedangkan untuk Nalobian ? Hmmm……. Anda sendirilah yang tebak.
Dikutip dari : Roha 3 – Kisah Simamora Karya B.H Situmorang