Nama Mempawah diambil dari istilah “Mempauh”, yaitu nama pohon yang tumbuh
di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah (J.U.
Lontaan, 1975:125). Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama
salah satu kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat
pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan
kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam
(kesultanan).
a. Mempawah pada
Masa Kerajaan (Dayak/Hindu)
Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan
riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule
Sultankng dan Kerajaan Sidiniang. Kerajaan Bangkule Sultankng merupakan
kerajaan orang-orang Suku Dayak yang didirikan oleh Ne‘Rumaga di sebuah tempat
yang bernama Bahana (Erwin Rizal, tt:39).
Karlina Maryadi dalam tulisan berjudul “Menguak Misteri Sebukit Rama”
menyebutkan, pemerintahan Ne‘Rumaga dilanjutkan oleh Patih Gumantar (Karlina
Maryadi, www.indonesiaindonesia.com). Namun, terdapat pula pendapat yang
mengatakan bahwa kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah
pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380
Masehi. Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di
daerah Sangking, Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Sidiniang (Musni Umberan, et.al, 1996-1997:12).
Dikisahkan, Patih Gumantar pernah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari
Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di
bawah naungan Majapahit. Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pernah
bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan
dari Kekaisaran Mongol. Menurut Lontaan (1975), bukti hubungan antara Kerajaan
Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada
Patih Gumantar. Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga
setempat keris pusaka ini disebut sebagai Keris Susuhunan (Lontaan, 1975:120).
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya adalah
serangan dari Kerajaan Suku Biaju. Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar
tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau
yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar (Lontaan, 1975:120). Dengan gugurnya
Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir. Namun, ada pendapat
yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang
bernama Patih Nyabakng. Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan
lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang
berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas (Maryadi, dalam
www.indonesiaindonesia.com). Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayat
Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah
pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang. Belum
diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar. Dari
sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan
baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung (Rizal, tt:39; Umberan, et.al., 1996-1997:13). Raja Kudung kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana (Umberan, et.al, 1996-1997:13).
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana
(Umberan, et.al, 1996-1997:13).
Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama
Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M. Penyebutan nama
Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat
pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai
Mempawah (Lontaan, 1975:121). Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar
dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan
dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati (Lontaan, 1975:121).
Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari
Kerajaan Matan Tanjungpura (Rizal, tt:39). Dari perkawinan tersebut, mereka
dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba (Umberan, et.al, 1996-1997:14). Puteri Kesumba inilah yang kemudian
menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.
b. Mempawah pada
Masa Kesultanan (Islam)
Sultan
Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan.
Dalam Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali
Haji (2002) disebutkan tentang ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu
Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri
di tanah Melayu. Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat,
Raja Bugis pertama yang memeluk Islam (Raja Ali Haji, 2002:18). Opu
Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah
Melayu. Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu
Daeng Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi (Gusti
Mhd Mulia [ed.], 2007:18). Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu
babak migrasi orang-orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma,
2004:96). Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan
penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran
agama Islam (www.ilagaligo.com; Rizal, tt:40).
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenarnya atas permintaan
Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M),
untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran
Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin (Umberan, et.al, 1996-1997:14). Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat
itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di
sana, segera berangkat ke Tanjungpura. Atas bantuan Opu Daeng Menambun
bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan (Mulia [ed.],
2007:18). Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri
Sultan Muhammad Zainuddin. Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara
kembali ke Kesultanan Johor.
Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi
di Kesultanan Matan. Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang
berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat. Sultan
Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah
kembali ke Johor. Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad
Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan
keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan
untuk membantu Kesultanan Johor (Umberan, et.al, 1996-1997:15).
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera
diselesaikan dengan cara damai. Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan
Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar
kehormatan Pangeran Mas Surya Negara. Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan
untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai
beberapa orang anak, yang masing-masing bernama Puteri Candramidi, Gusti
Jamiril, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad
(Syarif Ibrahim Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan
Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad
Muazzuddin. Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun
1737 M. Karena Panembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka tahta Mempawah
diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan
Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad
Zainuddin. Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad
Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau
Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang
ke-3.
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama
tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian
memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh
almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama. Sedangkan istri
Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun
(Rizal:40). Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama
resmi kerajaan. Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan
kesultanan. Opu Daeng Menambun memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok
ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai
didatangi kaum pedagang (Umberan, et.al, 1996-1997:16).
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin
kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang
dari Hadramaut atau Yaman Selatan (Mahayudin Haji Yahya, 1999:224). Husein
Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan
Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin. Husein Alqadrie dinikahkan dengan
puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua (Alqadrie, 2005, dalam
http://syarif-untan.tripod.com). Di Kesultanan Matan, Husein Alqadrie mengabdi
sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang
menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M. Namun, pada tahun 1755
M, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang
penerapan hukuman mati.
Melihat kondisi
ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di
Mempawah. Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke
Istana Opu Daeng Menambun. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih
sekaligus imam besar Mempawah. Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati
daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran
agama Islam. Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie
dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein
Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu
Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi (Muhammad Hidayat, tt: 21).
Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan
Kadriah di Pontianak.
Pada tahun 1761 M,
Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama (Umberan, et.al,
1996-1997:16). Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu
Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya
Kusumajaya (Umberan, et.al, 1996-1997:17). Di bawah kepemimpinan
Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal
sebagai bandar perdagangan yang ramai.
c. Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial
Istana Mempawah
Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M,
terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin
Panembahan Adiwijaya Kusumajaya. Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah
Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk
ikut menyerbu Mempawah. Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di
Mempawah Hulu guna mengatur siasat (Umberan, et.al, 1996-1997:16). Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan
Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan. Panembahan
Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.
Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan
Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif
Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan
perbatasan Kesultanan Mempawah. Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana
pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang Tionghoa yang ada di
Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum
memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan
dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang. Namun, karena Kesultanan
Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami
kekalahan dalam perang tersebut (www.asiawind.com).
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah
dengan gelar Panembahan Mempawah (Hidayat, tt:22). Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenarnya tidak menyetujui pengangkatan itu
karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan
kekerabatan yang erat. Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri
Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon. Pengangkatan Syarif Kasim
sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787 (Ansar
Rahman, et.al., 2000:109-110).
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat. Belanda kemudian
menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan
Syarif Kasim Alqadrie. Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh
saudaranya yang bernama Syarif Hussein. Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak
bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan
yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota,
Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas. Ketika akhirnya
Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan
Mempawah (Umberan, et.al, 1996-1997:18).
Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan
Sultan Syarif Kasim Alqadrie.
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar
tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Gusti Mas tetap setia
mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat
Mempawah (Lontaan, 1975:126). Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat
pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau
Pedalaman. Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat
perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat. Melihat Kesultanan
Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik. Belanda mencoba
cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan
perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah
lengah.
Taktik Belanda berhasil. Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena
oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau
Pedalaman. Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan
yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah (Lontaan, 1975:126).
Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke
Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan. Serangan balik Sultan Zainal Abidin
membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan. Namun, Sultan
Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan
menyusuri hulu Sungai Mempawah (Lontaan, 1975:126).
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi
Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin
yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan
Adinata Krama Umar Kamaruddin (Rizal, tt:41; Johan Wahyudi dalam Borneo Tribune, Desember 2007). Pada tahun 1831 itu, Kesultanan
Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda. Sejak itu, setiap suksesi
Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda. Selain
itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti Mukmin
menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.
Selanjutnya, pada tahun 1858, Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan
Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin. J.U. Lontaan dalam buku
berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat-Istiadat Kalimantan Barat (1975) menyebutkan bahwa pada tahun 1858 itu telah
diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah (Lontaan, 1975:129). Dari
tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan.
Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk
sementara. Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman
meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah
Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain
adalah putera Gusti Makhmud (Rizal, tt:41).
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti
Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai
penggantinya. Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan
Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad
Thaufiq Accamuddin (Wahyudi, Desember 2007). Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin
sendiri baru naik tahta pada tahun 1902. Sultan ini membangun Istana
Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922. Pemerintahan
Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang
di Indonesia pada tahun 1942.
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat, termasuk Kesultanan Mempawah. Pada tahun 1944, Sultan Muhammad Thaufiq
Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad
ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan (Lontaan,
1975:130). Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa,
maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan
Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955. Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad
Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin
menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta. Oleh karena itu, yang dianggap
sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin
(Umberan, et.al, 1996-1997:20).
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan
kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi
perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem
pemerintahan di daerah. Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat. Dengan
terbentuknya Republik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada
Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (http://kalbar.bps.go.id).
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan
Melayu-Bugis, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai
pemangku adat Kesultanan Mempawah. Karena telah bergabung dan menjadi bagian
dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar
sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki
kewenangan lagi secara politik.
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh,
Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan
Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya
Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan
Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini. Pada tahun 2005, Panembahan
Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara
kebesaran adat Kesultanan Mempawah.