Rabu, 15 Desember 2010
Asal-usul Nama Tempat di Jadebotabek (2)
Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping sebelah timur Pasar Pisang.
Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu bertulis. Kawasan sekitar batu prasasti Puernawarman, di Tugu juga biasa disebut Kampung Batutumbuh.
Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur, yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan orang – orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan oleh orang – orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de Lemme, yang menurut Sukamto ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu bertulis itu diberi ukiran berupa lencana. Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta rombongannya belum mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal 31 Desember 1521.
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang dating akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang – barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan barang – barang yang dibutuhkan (Sumber: Hageman 1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983)
Japat
Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata jaagpad berarti “Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu” . Katanya jaag, dari jagen, artinya “berburu” Pad, artinya “jalan setapak” padahal, kata jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik. Pada jaman Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk dibuat, kapal – kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh dipelabuhan Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas. Pengangkutan orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu. Untuk mempermudah pendaratan, di sebelah rimur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan khusus untuk perahu – perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar, berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan kanan terusan.
Terusan tersebut diuruk pada abad ke- 19, sehingga sekarang sulit untuk melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi japat, sebagai nama dari kawasan tersebut.
Jatinegara
Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu.
Nama Jatinegara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.
Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan itu kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah – darahnya dikuasai sepenuhnya oleh kompeni, pada tahun 1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan di kampung Bandan. Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis (kreol) Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti “tuan guru”. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang – orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para pengemudi angkot (angkutan kota).
Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente (kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia. Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan dengan Gemeente Batavia.
Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang (Kolonial Tidschrifft, Maart 1933:1).
Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan jepang, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara, bersetatus sebagai sebuah Siku, setingkat kewedanaan, bersama – sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk, Tanahabang, Gambir, dan Pasar Senen.
Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta Raya, Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan dipindahkan ke Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara menjadi salah satu wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The Liang Gie 1958:144)
Jatinegara Kaum
Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil dari bahasa Sunda, yang berarti “tempat timggal penghulu agama beserta bawahannya” (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu, penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).
Dahulu Jatinegara kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di wilayah Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama Jatinegara, yaitu Kelurahan Jatinegara.
Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan tersebut baru disebut – sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682. Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara – saudaranya yang lain, seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia. Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep, Ciluwar, dan Cikalong.
Orang – orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten Jonker, kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada tahun 1680 diserahkan kepada Kiai aria Surawinata, mantan bupati Sampora, kesultanan Banten (T.B.G. XXX:138) yang setelah menyerah kepada kompeni diangkat menjadi Letnan, di bawah Pangeran Sangiang. Sampai tahun 1689.Surawinata masih bermukim di Luarbatang . Setelah Kiai Aria Surawinata wafat, berdasarkan putusan Pimpinan Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27 Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah putranya, Mas Muahmmad yang Panca wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah seorang putranya, Mas Ahmad. Pada waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk menanam kopi di wilayahnya masing – masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun 1721 sampai dengan tahun 1723. tercatat atas nama Mas Panca. Baru pada tahun 1724 tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun 1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650 kg.
Kebantenan
Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara.
Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang – orang Banten, dibawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang keberadaan orang – orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat diterangkan sebagai berikut.
Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar ) mendapat bantuan kompeni yang antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi – abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).
Di Batavia awalnya mereka ditempatkan didalam lingkungan benteng. Kemudian Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi – abdinya diberi tempat pemukiman, yaitu di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong.
Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan adiknya. Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka, sebagai orang buangan. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu diizinkan kembali ke Batavia. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia tanggal 18 Maret 1732.
Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan Sejarah Jawa Barat.
Kampung Ambon
Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen dimukimkan orang Ambon itu lalu kita kenal sebagai kampung Ambom, terletak didaerah Rawamangun, Jakarta Timur.
Kampung Bali
Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas dijadikan pemukiman orang – orang Bali, yang masing – masing dipimpin kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.
Balimester tercatat sebagai perkampungan orang – orang Bali sejak tahun 1667.
Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), dimana dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung Arsip Nasional.
Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Disana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang terdapat di dalamnya, dibangun pada 25 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dihalaman depan masjid itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak yang riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid tersebut biasa disebut Masjid Al- Anwar atau Masjid Angke.
Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang – orang Bali di bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan pemukiman orang – orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan Pangeran Tubagus Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Gusti
(Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).
Kampung Bandan
Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal – usul nama Kampung Bandan.
1. Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan lain – lain.
2. Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata Banda dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membaw pemberontak dengan tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi bagi pemberontak tersebut.
3. Banda merupakan perubahan ucapan dari kataPandan. Pada masa lalu di kampung ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama Kampung Pandan
Kampung Bugis
Tempat – tempat atau kawasan yang bernama atau pernah disebut Kampung Bugis awalnya dijadikan perkampungan atau pemukiman sekelompok orang – orang Bugis. Salah satunya adalah Kampung Bugis di Kelurahan Penjaringan. Kotamadya Jakarta Utara.
Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Tubagus Angke, seberang Kampung Gusti, yang dahulu menjadi tempat pemukiman orang – orang Bali dibawah pimpinan Gusti Ktut Badalu, pada tahun 1687 secara resmi diserahkan oleh pimpinanVOC di Batavia kepada Aru Palaka dari Kerajaan Sopeng Sulawesi Selatan. Aru Palaka rupanya memilih menjadi sekutu Kompeni daripada bersatu dengan Kerajaan Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasannudin.
Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah barat tahun 1690, sama seperti Kampung Bugis yang terletak di dekat Patuakan, di ujung sebelah utara Jembatan lima.
Tidak semua pemukiman kelompok orang – orang Bugis dinamai Kampung Bugis. Kawasan disebelah utara Tanah Abang yang dahulu dijadikan pemukiman orang – orang Bugis dibawah pimpinan Aru Patuju dikenal dengan sebutan Petojo.
Kampung Gedong
Dewasa ini kawasan Kampung Gedong mejadi sebuah kelurahan. Kelurahan Tengah, termasuk wilayah Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Sebutan Kampung Gedong bagi kawasan tersebut, karena di sana berdiri sebuah gedung peristirahatan (landhuis) tuan tana, pemilik tanah partikelir Tanjoeng Oost (Tanjung Timur). Gedung beserta halamannya yang sangat luas. Oleh pemiliknya dahulu diberi nama Goeneveld, yang berarti lapangan hijau, sesuai dengan panorama sekelilingnya yang hijau royo – royo. Dari gedung itu sampai tempat yang sekarang menjadi perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor, terbentang jalan yang dahulu kanan kirinya ditanam pohon asem (Tamarindus indica), menambah keasrian pemandangan sekitarnya.
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal Amersfoort, yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan berkat berbagai kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa pemberontakan Cina pada tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) sebelah timur Sungai Ciliwung. Kemudian di tambah dengan tanah – tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut selesai dibangun. Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun 1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal dengan seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung peristirahatan dengan dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan hiasan – hiasan yang bersuasana Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985 sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu masih dapat disaksikan.
Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 – 1777).
Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, gedung Groeneveld dikuasai turun- temurun oleh para ahli warisnya, keturunan Vincent Helvetius van Riemsdjik.
Willem Vincent Helvetius sendiri sejak muda sudah menduduki jabatan yang menguntungkan, antara lain pada usia 17 tahun sudah menjabat sebagai administrator Pulau Onrust, jabatan yang menjadi incaran banyak orang, karena konon sangat “basah” banyak memberi kesempatan untuk memupuk kekayaan. Kedudukan ayahnya sebagai gubernur Jenderal dimanfaatkan dengan sangat baik, sehingga kekayaannya makin berkembang. Pada tahun sembilanpuluhan abad ke-18, tanah – tanah miliknya tersebar antara lain di Tanahabang, Cibinong, Cimanggis, Ciampea, Cibungbulan, Sadeng, dan dengan sendirinya Tandkoeng Oost atau Tanjung Timur.
Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat pada waktu dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi. Produksi susunya sangat terkenal di Batavia.
Sampai tahun 1942 Groeneveld turun – temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik, dan kawasan itu sampai sekarang disebut Kampung Gedong
Selasa, 14 Desember 2010
Asal-usul Nama Tempat di Jadebotabek
Ibu kota Republik INDONESIA
Ancol
Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas kompleks Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk. Dewasa ini kawasan tersebut dijakdikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara.
Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun 1656(De Haan 1935:103 – 104).
Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang sampai sekarang masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan yang sejajar dengan terusan.
Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol rupanya sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah pesisir Kerajaan Sunda. Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut – sebut sebagai salah satu medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten (Banten) dan tempat – tempat lainnya pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535).
Angke
Merupakan sebutan sebuah kampung yang terkenal dengan mesjid tua yang bernama Mesjid Al – Anwar, yang dibangun sekitar tahun 1714. Sekarang kampung Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat.
Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Mayat orang – orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.
Lokasi kampung bebek sangat strategis untuk memelihara bebek karena dekat dengan sungai.
Batu Ampar
Batu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Batuampar, Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah kelurahan Batuampar di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balekambang, (lengkapnya Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya berkaitan satu sama lain.
Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan oleh orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet, sebagai berikut.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk salah seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.
Supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas empang, dekat kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari dengan batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara .
Demikianlah, menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang seolah – olah mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat . Balekambang.
Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat perguruan silat yang dipimpin antara lain oleh Maliki dan Modin (Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun 1986, seorang guru silat di Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga pengajar ilmu bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak mustahil, kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar di mancanegara itu, adalah kemahiran turun – temurun.
Bidaracina
Bidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.
Menurut beberapa informasi, kawasan tersebut dikenal dengan nama Bidaracina, karena pada waktu terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia dan sekitarnya terhadap Kompeni pada tahun 1740, ribuan dari mereka terbunuh mati, bermandi darah. Di antaranya di tempat yang kemudian disebut Bidaracina itu.
Informasi tersebut tidak mustahil mengandung kebenaran walaupun mengundang beberapa pertanyaan, kenapa hanya dikawasan itu yang disebut Bidaracina, karena banyak orang Cina mati bermandikan darah?. Padahal peristiwa pembunuhan itu konon terjadi di pelosok Kota Batavia dan sekitarnya. Kenapa tidak di sebut Cina berdarah, sesuai dengan kaidah bahasa Melayu, yang kemudian berubah menjadi cinabedara, selanjutnya menjadi cinabidara?
Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili Rhanneae, adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,. Akar dan kulitnya yang rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa macam penyakit, termasuk sesak nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul gumpalan getah. Buahnya dapat dimakan (Fillet 1888:52)
Ada kaitannya dengan perkiraan tersebut, yaitu keterangan tentang adanya seorang Cina yang mengikat kontrak yang aktanya dibuat oleh Notaris Reguleth tertanggal 9 Oktober 1684, untuk menanami kawasan sekitar benteng Noordwijk dengan pohon buah – buahan, termasuk pohon Bidara (De Haan 1911, (11):613). Walaupun di luar kontrak tersebut, mungkin saja seorang Cina menanam bidara di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Bidaracina itu.
Cawang
Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang dipimpinnya, bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar). Lama – kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci Awang adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.
Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain seperti Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan Cililitan (De Haan, 1910:50).
Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak Cungok. Sairin dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian tanah partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).
Cijantung
Dewasa ini Cijantung menjadi nama sebuah kelurahan, Kelurahan Cijantung, wilayah Kecamatan Pasarrebo, Kotamadya Jakarta Timur.
Namanya berasal dari nama sebuah anak sungai CiLiwung, yang berhulu di Areman, dekat Kelapadua sekarang.
Pada pertengahan abad ketujuh belas kawasan itu sudah berpenghuni, sebagaimana dilaporkan oleh Kapten Frederick H. Muller, yang memimpin ekspedisi pasukan Kompeni pertama yang menjelajahi daerah sebelah selatan Meestercornelis, yang hutannya sudah dibuka setahun sebelumnya oleh Cornelis Senen. Ekspedisi Muller tersebut dilakukan karena terdorong oleh adanya berita – berita tentang adanya gerombolan oarng- orang Mataram di daerah pedalaman, serta adanya jalan darat yang biasa digunakan oleh orang – orang Banten ke Priangan, melalui Muaraberes, di tepi sungai Ci Liwung.
Perjalanan Kapten Muller dari kastil Batavia ke Cijantung, dimulai tanggal 4 Nopember 1657, bersama pasukannya yang terdiri atas 14 orang serdadu kulit putih dan 15 orang Mardijker, dipandu oleh 10 orang pribumi. Setelah berjalan selama tiga hari dengan susah payah merambah hutan, menyusuri tepi Sungai Ci Liwung, barulah mereka sampai di Cijantung yang di huni oleh 12 umpi di bawah pemimpinnya bernama Prajawangsa (De Haan 1911, (II):24).
Mungkin sulit untuk dibayangkan, betapa lebatnya hutan antara Jatinegara sampai Cijantung pada tahun 1657 itu, dibandingkan dengan keadaan dewasa ini.
Cililitan
Kawasan Cililitan dahulu terbentang dari sungai Ci Liwung di sebelah barat, sampai sungai Ci Pinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan Kampung Makasar dan Condet. Di sebelah utara berbatasan dengan kawasan Cawang . Bagian sebelah barat Jalan Dewi Sartika sekarang sebatas simpangan Jalan Kalibata, biasa disebut Cililitan Kecil, sedangkan yang terletak disebelah timur Jalan Raya Bogor, dikenal dengan nama Cililitan Besar. Dewasa ini nama Cililitan dijadikan nama kelurahan, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Ci Cipinang. Dewasa ini anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas – bekasnya. Kata ci, adalah bahasa Sunda, mengandung arti “air sungai” Lilitan lengkapnya lilitan – kutu, adalah nama semacam perdu yang bahasa ilmiahnya Pipturus velutinus Wedd., termasuk famili Urticeae (Fillet 1888:201).
Pada pertengahan abad ke- 17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikelir Tandjoeng Oost, ketika masih dimiliki oleh Pieter van der Velde (De Haan 1910:50). Kemudian beberapa kali berpindah pindah tangan. Sampai diganti namanya menjadi lapangan Udara Halim Perdanakusumah. Lapangan udara tersebut biasa disebut Lapangan Udara (vliegeld, kata orang Belanda) Cililitan.
Cilincing
Kawasan Cilincing terletak di sebelah timur Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk, dewasa ini menjadi sebuah kecamatan, Kecamatan Cilincing, termasuk wilayah Kotamadya Jakarta Utara.
Nama Cilincing diambil dari nama anak sungai yang mengalir dari selatan keutara, membelah kawasan tersebut. Cilincing mungkin lengkapnya berasal dari Ci Calincing. Kata Ci, adalah bahasa sunda , yang artinya sungai, seperti Ci Tarum, Ci Liwung, dan Ci Manuk.Cilincing adalah nama jenis pohon, sama dengan belimbing wuluh, averhrhoa Carambola L. Termasuk famili Oxalideae (Fillet 1883 :292).
Walaupun letaknya cukup jauh untuk ukuran tiga abad yang lalu, ternyata disana terdapat dua villa, tempat peristirahatan .Yang pertama adalah landhuis Cilincing yang dibangun oleh Justinus Vinck pada tahun 1740 dan sampai sekarang masih dapat dilihat, walaupun keadaannya tidak begitu menggembirakan. Dewasa ini bangunan tersebut dihuni beberapa pensiunan anggota kepolisian, dan dikenal dengan sebutan Rumah Veteran. Yang kedua adalah landhuis Vredestein yang dibangun oleh mantan Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, pada tahun 1750. Landhuis yang kedua itu sekarang sudah tidak ada bekas – bekasnya.
Dalam sejarah Jakarta, Cilincing memegang peranan cukup penting, karena disanalah pada tanggal 4 Agustus 1811 pasukan balatentara Inggris yang jumlahnya hamper 12.000 orang, mendarat tanpa mendapat perlawanan dari pihak Belanda, yang pada masa itu berada di bawah kekuasaan Perancis (J.R. van Diesen 1889:303).
Condet
Kawasan Condet meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Batuampar, Kampung Tengah (dahulu disebut Kampung Gedong), dan Balekambang termasuk wilayah Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet. Ondet, atau ondeh, atau ondeh – ondeh, adalah nama pohon yang nama ilmiahnya Antidesma diandrum Sprg.,termasuk famili Antidesmaeae (Fillet, 1888:128), semacam pohon buni, yang buahnya biasa dimakan.
Data tertulis pertama yang menyinggung – nyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeeck, waktu masih menjadi Direktur Jenderal VOC di Batavia ( sebelum menjadi Gubernur Jendral ). Dalam catatan tersebut, pada tanggal 24 September 1709 Van Riebeck beserta rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci Ondet “Over mijin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de spruijt Tsji Ondet”,..(De Haan 1911: 320).
Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya (tentang tokoh ini dapat dilihat dalam tulisan ini pada entri: Kebantenan), yang dibuat sebelum berangkat ke pembuangan di Nagapatman, disahkan oleh Notaris Reguleth tertanggal 25 April 1716. Dalam surat wasiat itu antara lain tertulis, bahwa Pangeran Purbaya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak – anak dan istrinya yang ditinggalkan (De Haan, 1920:250).
Keterangan ketiga adalah Resolusi pimpinan Kompeni di Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada frederik willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari tanah partikelir Tandjoeng, Oost, atau Groeneveld (De Haan 1910:51).
Gambir
Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja, yang tersisa adalah nama Kelurahan Gambir dan nama Stasiun Gambir yang masih tertinggal pada salah satu stasiun yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Wilayah yang termasuk pada kawasan Gambir batas – batasnya adalah: diutara jalan Veteran, di Selatan jalan Kebon Sirih, di Barat jalan Mojopahit dan di Timur kali Ciliwung. Kata Gambir sudah dikenal sejak nama, sejak kawasan ini mulai mengacu pada sebutan masyarakat lokal yang melihat banyaknya pohon gambir yang tumbuh dikawasan ini.
Sebelum dikembangkan oleh Daendles sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda di daerah baru yang disebutnya Weltevreden, sejarah kawasan ini telah dimulai sejak tahun 1658 masih berupa daerah rawa – rawa dan padang ilalang. Oleh pemiliknya yang bernama Anthony Paviljoen daerah ini telah mulai disewakan kepada masyarakat Cina untuk digarap sebagai lahan pertanian tebu, pertanian sayur – sayuran dan sawah. Setelah makin berkembang didaerah ini timbul pasar yang berlanjut terus sebagai pasar tempat memeperingati hari lahir ratu Belanda yang di adakan pasar malam setiap tahun. Pasar yang tumbuh dan berkembang terus itu disebut pasar Gambir.
Setelah Daendels berkuasa dan memindahkan pusat pemerintahan dari Kota ke Weltevreden yang dalam bahasa Belanda berarti tempat yang paling ideal sebagai lokasi pemukiman (tempat yang nyaman), maka Belanda mulai membangun berbagai macam sarana prasarana perkotaan di daerah baru ini. Salah satu sarana perkotaan yang terkenal pada waktu itu adalah lapangan koningsplein yang disebut juga oleh masyarakat lokal dengan nama lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Lapangan ini mengingatkan kita pada peristiwa rapat raksasa rakyat Jakarta yang terjadi dilapangan IKADA ini. Pada masa lalu, dilapangan ini terdapat perkumpulan olah raga dan yang paling terkenal adalah Bataviaasche Sport Club (BSC) dan Batavia Buitenzorg Wedloop Societet (BBWS). BSC adalah perkumpulan olahraga biasa dan BBWS adalah perkumpulan olah raga berkuda.
Setelah pembangunan Monumen Nasional (Monas) dimulai pada tahun 1962, Lapangan Gambir dan perumahan Departemen Pekerjaan Umum (DPU), serta perumahan Djawatan Kereta Api (DKA) ikut tergusur untuk ikut tergusur juga dan nama pasar tersebut diabadikan pada lokasi Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran. Yang tersisa dari kata Gambir untuk masa sekarang adalah nama stasiun Gambir dan nama Kelurahan Gambir.
Glodok
Glogok dewasa ini dijadikan nama sebuah kelurahan di wilayah kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal – usul nama kawasan itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata grojok, onomatopi suara kucuran air dari pancuran. Memang cukup masuk akal, karena di sana jaman dulu terdapat semacam waduk penampungan air dari kali Ciliwung, yang dikucurkan dengan pancuran terbuat dari kayu dari ketinggian kurang lebih 10 kaki. Kata grojok diucapkan oleh orang – orang. Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu jaman dulu berubah menjadi Glodok sesuai dengan lidahnya.
Keterangan lainnya menyebutkan, bahwa kata glodok diambil dari sebutan terhadap jembatan yang melintas Kali Besar (Ciliwung) di kawasan itu, yaitu jembatan Glodok. Disebut demikian karena dahulu di ujungnya terdapat tangga – tangga menempel pada tepi kali, yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci oleh penduduk di sekitarnya. Dalam bahasa Sunda, tangga semacam itu disebut glodok, sama seperti sebutan bagi tangga rumah.
Mandi di kali pada jaman dulu, bukan hanya kebiasaan orang bumiputra saja melainkan menjadi kebiasaan umumnya penduduk, termasuk orang – orang Belanda yang berkedudukan tinggi sekalipun ( De Haan, 1935: 193 dan 294).
Gondangdia
Merupakan nama kampung yang sekarang berada ditengah pemukiman elit Menteng Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal dikalangan masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi, Cikini sigondang dia, saya disini karena dia. Batas – batas wilayah Gondangdia adalah:
- Sebelah Utara jalan K.H. Wahid Hasyim
- Sebelah Selatan Jalan Sutan Syahrir
- Sebelah Barat kali Cideng
- Sebelah Timur jalan Rel Kereta Api.
Asal usul nama kampung Gondangdia ternyata ada beberapa versi, diantaranya adalah:
1. Nama Gondangdia berasal dari nama pohon Gondang (sejenis pohon beringin) yang tumbuh pada tanah basah atau berair. Kemungkinan pada masa lalu ada pohon Gondang yang tumbuh di daerah ini.
2. Nama Gondangdia berasal dari nama binatang air sejenis keong Gondang. Yang artinya keong besar. Kemungkinan pada masa lalu didaerah ini banyak terdapat keong besar, sehingga masyarakat menyebut tempat ini dengan menyebut nama keong.
3. Nama Gondangdia berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan disegani oleh masyarakat sekitar kampung. Kakek ini mempunyai nama kondang dan sering juga dipanggil Kyai kondang Karena terkenal dikalangan masyarakat kampung, nama kakek kondang sering disebut – sebut dan masyarakat sering mengaitkan nama tempat itu dengan nama kakek, maka disebut dengan gondangdia (kakek dia yang tersohor).
Hek
Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek.
Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar. Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols, 1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar (“..raam-of traliewerk…”). Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar – besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar – masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan Kompleks polisi Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti kompleks pertanian dan atau peternakan.
Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang – orang Belanda di Batavia.
Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989
Rabu, 08 September 2010
Budaya Indonesia diklaim Negara Lain jadi budayanya
Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:
1. Batik dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
29. Kain Ulos oleh Malaysia
30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia
Kamis, 26 Agustus 2010
Tata cara Pelaksanaan adat batak (5)
Bab V
ADAT BATAK – DALIHAN NA TOLU –(The Philosophy of Life)
Pengertian Dalihan na tolu:
Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.
Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
1. Manat mardongan tubu = hati-hati bersikap terhadap dongan tubu
2. Elek marboru = memperlakukan semua perempuan dengan kasih
3. Somba marhulahula = menghormati pihak keluarga perempuan
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
Struktur Dalihan Na Tolu merupakan gambaran atau peta dari dewa sembahan leluhur yang hidup di banua ginjang (dunia atau langit atas). Keberadaan ketiga dewa Batak di langit atas digambarkan atau dipetakan di bumi (banua tonga) oleh unsur pembentuk Dalihan Na Tolu. Perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Hukum Agama.
Dengan melakukan upacara adat kita memberikan jalan masuk pada kehadiran roh sembahan leluhur di dalam kehidupan kita. Artinya, Mulajadi Nabolo, Batara Guru, Mangala Sori, Mangala Bulan, dan Debata Asiasi. Orang Batak pada masa Hasipelebeguon tidaklah membuat patung untuk roh sembahannya. Tidak ada patung untuk Mulajadi Nabolon, Batara Guru, Mangala Sori, Mangala Bulan, Boru Saniang Naga, dan dewa-dewa lainnya. Orang Batak tidak memiliki kebiasaan membuat patung batu atau kayu untuk sembahannya dan kemudian menjadikannya sebagai objek penyembahan, sebagaimana kebiasaan yang terdapat pada agama suku-suku bangsa yang ada disekitar bangsa Israel dahulu.
Bangsa-bangsa di daerah Palestina memiliki dewa-dewa sembahannya seperti dewa Milkom, Baal, Kamos, Asytoret, dan Dagon dan berbagai dewa lainnya. Mereka membuat berbagai macam patung yang merupakan gambaran dari kehadiran dewa sembahan yang tidak bisa dilihat. Patung itu terbuat dari batu, tembaga, emas ataupun dari kayu. Harun, saudara Musa juga terjebak untuk membuat patung lembu emas ketika bangsa itu berada di padang gurun. Melalui patung itu mereka berbicara kepada dewa sembahannya. Kehadiran patung itu merupakan simbol dari kehadiran dari dewa sembahannya. Dengan membawa patung itu ke medan peperangan, mereka telah membawa dukungan kuasa roh sembahannya untuk memenangkan peperangan.
Dengan menyembah patung dewa, mereka telah menyembah roh itu. Pahatan patung dewa merupakan proyeksi, Image atau perwakilan dari kehadiran roh sembahan yang tidak dapat dilihat oleh mata. Dewa sembahan itu berada di alam gaib dan tidak dapat dilihat, tetapi personifikasi dewa tadi telah dinyatakan pada patungnya yang dibuat dari batu, kayu, tembaga, atau emas, sehingga dapat dilihat oleh mata manusia.
Patung-patung (gana-ganaan) yang dibuat pada masa dahulu oleh orang Batak hanyalah merupakan suatu bentuk perlindungan gaib (pagar) yang dibuat untuk menangkal serangan roh-roh jahat. Patung-patung itu ditempatkan pada lokasilokasi tertentu sebagai pagar perlindungan gaib, dan bukan sebagai benda yang disembah-sembah.
Dalam agama Batak personifikasi dari kehadiran para roh sembahannya tidak dibuat dari patung batu, kayu, tembaga, ataupun emas. Patung dalam agama Batak tidak terbuat dari benda mati, tetapi terbuat dari darah dan daging, yaitu tubuh manusia.
Personifikasi dan gambaran dari kehadiran roh itu dinyatakan dalam diri orang Batak itu sendiri. Upacara adat adalah upacara yang menjadikan orang Batak sebagai patung-patung hidup dari ketiga roh sembahan, yang merupakan pancaran dari Debata tertinggi Mulajadi Nabolon. Misalnya, kalau seseorang ingin menyampaikan permohonannya kepada debata, maka ia menyampaikannya kepada hulahula, dan memperoleh berkat dari debata juga melalui hulahula sebagai patung hidupnya.
Orang Batak merupakan pahatan hidup yang merefleksikan kehadiran roh sembahannya yang berada di langit atas (banua ginjang). Dengan melakukan upacara adat, mereka telah menjadi patung hidup dari Batara Guru, Mangala Sori, dan Mangala Bulan, ataupun Debata Asiasi. Sehingga, pelaku upacara adat adalah patung-patung hidup dari Mulajadi Nabolon. Hulahula, Dongan Sabutuha, dan Boru adalah patung-patung hidup dari ketiga dewa Batak. Dalihan Na Tolu merupakan gambaran rohani atau tiruan (tumiru) dari eksistensi dan relasi dari ketiga dewa Batak yang berada di langit atas.
1- Kekerabatan/ Partuturan :
Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari, kekerabatan (partuturon ) adalah kunci pelaksanaan dari falsafah hidupnya, Boraspati ( baca boraspati di artikel saya selanjutnya, ini digambarkan dengan dua ekor cecak/cicak, saling berhadapan, yang menempel di kiri-kanan Ruma Gorga/Sopo/Rumah Batak ). Kekerabatan itu pula yang menjadi semacam tonggak agung untuk mempersatukan hubungan darah, menentukan sikap kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik ( nice attitude ).
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba), Di Simalungun disebut TOLU SAHUNDULAN.
Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "hundulan" sebagai "posisi duduk".Keduanya mengandung arti yang sama :
Sebagai pesan dari orang-orang tua yang terdahulu :
- Jolo tinitip sanggar bahen huruhuruan;
Jolo nisukun marga asa binoto partuturan.
- Hau antaladan parasaran ni binsusur;
Sai tiur do dalanan molo sai denggan iba martutur.
3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu :
Ada (3) tiga bagian bentuk kekarabatan dan itulah yang dinamakan DALIHAN NA TOLU:
- HULA HULA atau TONDONG : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Jadi posisi dan kedudukan Hulahula diakui lebih tinggi dari dua unsur lainnya (dongan tubu dan boru), pihak hulahula terhadap borunya harus bersikap manis dan tidak boleh bersikapa diktator dan tidak pula instruktif kepada kelompok boru.oleh karena itu hula hula bisa salah satu sumber kekuatan adikodrati, atau penopang daya hidup bagi masing-masing borunya.
- DONGAN TUBU atau SANINA : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "sejajar", yaitu : teman/saudara semarga sehingga disebut Manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
c. BORU : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari hari disebut Elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.
A. Dongan Sabutuha/ dongan tubu, (saudara satu darah) serta yang sudah dianggap saudara sedarah:
- Dongan saama ni suhut; saudara satu Ayah/Bapak .
- Paidua ni suhut; Saudara, Bapak nya abang adik (Paidua ni Suhut)
- Haha anggi ni suhut; Saudara kakek abang adik (Haha anggi ni suhut)
- Bagian Paniboli (panukun) ni suhut Saudara semarga ( Panomboli)
- Dongan samarga ni suhut; Saudara semarga dari suhut
- Dongan saina ni suhut (pulik marga) Saudara
- Dongan sapadan ni ompu (pulik marga)
- Pariban (sepengambilan/istri kakak beradik/semarga)
- Dongan sahuta, raja ni ginokkon daohot ale-ale.
Falsafah dalam persaudaraan dalam satu marga:
a- Manat ma ho mardongan sabutuha, molo naeng sangap ho
b- Tampulon aek do na mardongan sabutuha.
c- Tali papaut tali panggongan;
Tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan.
Keterangan :Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.
Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama "Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna'. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
Manat mardongan sabutuha/tubu, dalam pengertian bahwa sesama saudara atau semarga, haruslah bersikap bijaksana dan arif dan saling menghormati, baik dalam perkataan maupun perbuatan jangan semborono atau saling menyakiti, meskipun didalam bercanda. Kalau seseorang yang dituakan (Ompung Bapa, Abang) harus dihormati. Sedang yang lebih muda harus disayangi atau diayomi dan dituntun. Kalau hal ini dilakukan maka akan dihormati dan terhormat dimata dongan sabutuha /tubu.
Persaudaraan pada orang Batak tidak mungkin diputuskan hubungan persaudaraannya, dengan berpedoman prinsip-prinsip „Manat mardongan sabutuha“, maka diperumpamakan „Tampulon aek do na mardongan sabutuha“ maksudnya mustahil air dipisahkan atau dibelah, bagaimanapun dia akan bersatu juga.dan dikuatkan juga dengan umpama „Tali papaut tali panggongan; Tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan“; artinya: Tali paput adalah tali panggongan; meskipun jauh diseberang lautan akan dikenal juga muka saudara.
B.Boru :
- Iboto dongan saama nisuhut.(saudara perempuan sebapak dari suhut)
- Boru tubu dohot namboru ni suhut (saudara perempuan dari Bapak)
- Boru di ampuan I ma na ro sian na asing jala jinalo niampuan di hutaniba.
- Boru na gojong (nunga boru hian sian ama dohot ompu) jala laos sahuta dohot hulahula.(saudara perempuan dari Ompung ataupun Bapak yang bertempat tinggal di kampung Hulahula)
- Ibebere (anak dari saudara perempuan hasuhutan)
- Angka boru ni parboruan dohot bere, dohot boru ni parparibanon dohot ni sude dongan sabutuha.(anak perempuan dari saudara perempuan juga anak perempuan dari pariban, dari hasuhutan, dengan semua dongan sabutuha).
- Boru ni dongan saina dohot boru ni dongan saparpadanan.
Falsafah dalam Parboruon:
a- Elek marboru, molo naeng ho sonang
b- Bungkulan do boru ( sibahen pardamean/pardomuan)
c- Durung do boru tomburan hulahula (sipanupahi do boru dihulahula)
d- Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru (artinya sama sayang pada anak dan pada boru)
e- Tinalik landorung bontar gotana;
Dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana.
Keterangan: Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.
Siapa-aiapa saja yang disebut pihak Boru telah dijelaskan diatas, untuk mereka itu oleh pihak Hulahula harus bersikap „Elek marboru artinya harus lemah lembut terhadap boru kalau pihak hula-hula ingin senang. Karena Boru adalah sebagai penyokong pihak hulahula yang sangat efisien dan potensial mereka akan siap mengerjakan apapun demi hula-hula kalu pihak hula-hula bersikapa lemah lembut terhadap mereka , mereka mampu menjadi juru damai dan memepertemukan disetiap masalah dihadapi pihak hulahula, juga Boru pendukung bagi hulahulanya apabila mengalami problem didalam pendanaan suatu acara adat (manumpaki). Oleh karena itu pihak hulahula harus bersikap adil dan harus menyikapi sama dengan anak sendiri :“ Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru”. Dan diperkuat lagi dengan perumpamaan sebagai berikut: Tinalik landorung bontar gotana; dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana. Jadi Boru sebagai pendukung pokok baik dalam wibawa maupun dalam materi Hulahulanya.
Sedangkan Falsafah untuk pihak bere:
a- Amak do rere, anak do bebere.
Dangka do dupang, ama do tulang.
f- Tinalik landorung bontar gotana;
Dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana
Keterangan: Seorang Tulang/ Hulahula harus lebih menyayangi bere/kemakan (anak dari saura perempuannya) . Meskipun bere tersebut tidak mengawini anak perempuannya maka si Tulang harus bersikap seperti yang dikatan umpama yang artinya dipotong landorung putih getahnya, sama anak dengan boru ,meskipun dia kawin dengan anak perempuan lain status perempuan tersebut adalh sama dengan anak perempuannya sendiri.
C.Hulahula;
- Tunggane (lae) dohot simatua ni suhut ( inilah yang dinamakan hula-hula langsung dari suhut)
- Tulang (sebagai hula-hula dari Bapak nya suhut)
- Bona Tulang(bona hula-hula) ( sebagai hula-hula dari ompung/kakeknya suhut)
- Bona ni ari (Hula-hula dari bapak dari kakeknya suhut)
- Tulang rorobot ( tulang dari besan/pr dari suhut serta tulang dari ibunya atau juga tulang dari opung boru suhut)
- Dan juga menjadi hula-hula dari suhut , semua hula-hula dari saudara sedarah.
Falsafah untuk Hulahula: Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.
Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).
a- Sigaton do na marhulahual (maksudnya: sama halnya bagaimana menentukan apakah Ayam itu Jantan atau betina, oleh karena itu dalam menghadapi pihak hula-hula harus hati-hati, haru mengenal sifat-sifat dan apa keinginan atau kebiasaan pihak hula-hula, agar dapat sebagai pedoman dalam menghadapi pihak hula-hula disetiap acara adat.
b- Na mandanggurhon tu dolok do iba mangalehon tu hula-hula (artinya; akan menerima restu yang berlipat ganda kalau murah hati (basa) kepada hula-hula.
c- Hula-hula i do debata na tarida (maksudnya harus dihormati (sangat) hula-hula)
d- Hula-hulai do mula ni mata ni ari binsar.(maksudanya bahwa anak dan boru bagi orang batak adalah sebagai matahahrinya (mata ni ari na), akan gelap dunia in kalau tidak mempunyai anak (berketurunan) oleh karena boru dari hukahula itu sebagaia sumber keturunan yang banyak berkat doa restu serta doa nya pada Tuhan Yang maha Esa, maka dinamakan lah mereka matahari terbit (mata ni ari binsar).
e- Obuk do jambulan na nidandan baen samara;(maksudnya restu beserta doa dari Hula-hula membuat berketurunan/ turun temurun tanpa bahaya.
f- Nidurung situma , laos dapot porapora (restu serta doa dari hula-hula maka dari miskin dapat menjadi kaya)
Nama-nama dan cara memanggil didalam kekarabatan:
1.Saudara sedarah (pardongan sabutuhaon):
Kalau kita sebagai Laki-laki:
1- Amang = (Bapak) sebagai panggilan “ Amang”.
Inang = (Ibu), panggilannya „Inang“
2- Amang tua = (bapak tua) abang dari bapak baik karena marga maupun karena hubungan pariban maka dipanggil „Amang tua“
Inangtua = adalh isteri dari Bapak tua dipanggil „Inang Tua“
3- Amang uda = (bapak uda) abang dari bapak baik karena marga maupun karena hubungan pariban maka dipanggil „Amang uda“
Inanguda = adalah isteri dari Amang uda, dipanggil „Inang uda“
4- Hahang/Akang = (abang) adalah saudara lakilaki lebih yang tua baik sebapak maupun bagi anak dari amang tua maka dipanggil „Angkang“
Angkang boru = adalah isteri dari angkang dipanggil “Angkang“
5- Anggi = (adik) adalah saudara laki-laki dari satu bapak yang lebih mudamaka dipanggil „Anggi“
Anggiboru = adalah isteri dari Anggi, dipanggil „Inang“
6- Hahadoli = (abang) adalah saudara dari keturunan abang dari opung (kakek), yang dihitung 7 generasi keatas, yang statusnya sebagai penanya (panise niba) disetiap hajat acara adat, dipanggil „Angkang doli“
Angkangboru = Isteri dari hahadoli, dipanggil „Angkang“
7- Anggidoli = (adik) adalah saudara dari keturunan adik dari opung (kakek), yang dihitung 7 generasi keatas, yang statusnya ini juga dapat sebagai penanya (panise niba) disetiap hajat acara adat, dipanggil „Anggi doli“
Anggiboru = isteri dari Anggi doli, dipanggil „Inang“
8- Ompung = (Kakek) adalah Bapak dari bapak, serta bapak dari bapak tua, atau bapak uda, dipanggil „Ompung“ atau „Ompung doli“
Ompung (ompungboru) = isterdari ompung, dipanggil „Ompungboru“
9- Amang mangulahi = (Bapak) adalah Bapak dari ompung, dipanggil „Amang“
Inangmangulahi = isteri dari amang mangulahi, dipanggil „Inang“
10- Ompung mangulahi = (kakek) adalah kakek darai kakek dipanggil „Ompung“
Ompungboru mangulahi = isteri dari ompung mangulahi, dipanggil „Ompung.,
2.Parhulahulaon (saudara lakilaki dari isteri atau Ibu atau Opung:
Kalau kita sebagai laki-laki maka kita mengatakan:
1- Simatua doli = (Mertua laki) adalah bapak,Amangtua, dan Amanguda dari isteri, maka dipanggil “Amang”
Simatua boru = (mertua perempuan), adalah isteri dari Mertua laki, isteri dari Amangtua dan isteri dari amanguda, dipanggil „Inang“
2- Tunggane (Lae) = (ipar) adalah saudara lakilaki dari isteri, dipanggil “Tunggane” atau “Lae”
Inang bao = adalah isteri dari Tunggane(Lae), dipanggil “Inang”
3- Tulang na poso = adalah anak dari Tunggane (Lae) , dipanggil „Tulang“
Nantulang na poso = isteri dari tulang naposo, dipanggil „Nantulang“
4- Ompung = adalah bapak dan ibu dari Mertua, dipanggil „Ompung“
5- Tulang = saudara laki laki dari Ibu, dipanggil „Tulang“
Nantulang = isteri dari Tulang, dipanggil „Nantulang“
6- Ompung bao = adalah orang tua dari Ibu, dipanggil „Ompung“
7- Tulang rorobot = Tulang dari Ibu serta tulang isteri
8- Tulang rorobot = semuaHula dari Hulahula
9- Bonatulang atau Bona Hulahula = adalah hulahula dari ompung suhut
10- Bona ni ari = Hulahula dari ompung suhut dari Bapak.
11- Bona ni ari = semua diatas dari no 10
3.Parboruon:
1- Hela = (menantu) adalah yang mengambil anak perempuan kita, anak perempuan dari Amangtua,Amang uda, dipanggil „Amanghela“
2- Lae = adalah kepada bapak, Amangtua danAmanguda dari helea dipanggil „Lae“
Ito = adalah Ibu, Inangtua, dan Inanguda dari Hela, dipanggil „Ito“
3- Lae = adalah yang mengambil saudara perempuan, dipanggil “Lae”.
4- Amangboru = adalah yang mengambil saudara perempuan Bapak, dipanggil “Amangboru”
Namboru = adalah saudara perempuan dari Bapak atau isteri dari Amangboru, dipanggil “Namboru”
5- Lae = adalah anak dari Amang boru, dipanggil “Lae”
6- Ito = adalah anak perempuan dari Amang boru, dipanggil „Ito“
7- Amangboru = adalah saudara kaka adaik dari Amangboru, juga dipanggil „Amangboru“
8- Lae = juga pada Bapak dari Amangboru, dipanggil „Lae“
Ito = adalahIbu dari Amang boru, dipanggil „Ito“
9- Bere = adalah kaka adik serta adik perempuan dari hela (menantu), dipanggil „Bere“
10- Bere = adalah anak serta boru dari saudara perempuan kita, dipanggil „Bere“
11- Bere = adalah saudara perempuan dari Amangboru, dipanggil „Bere“
Martarombo:
Martarombo adalah salah satu komunikasi yang efisien dalam menjalin kekerabatan pada orang Batak. Martarombo/Martutur adalah sebagai dasar penentu posisi pada marga lain atau marga yang sama dan boleh dikatakan menjadi suatu tolak ukur bagi prinsip Dalihan Na Tolu, karena Martarombo adalah saling menanyai marga, Bila orang Batak berkenalan sesama orang Batak pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan martarombo, untuk dapat menentukan posisi masing-masing. Apakah mardongan tubu/ dongan sabutuha (semarga), dengan panggilan "ampara" atau "Marhula-hula/ Mora" dengan panggilan "lae/tulang". Dan dengan martarombo juga, seseorang akan mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om)" Bapatua/ Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/adik), Pariban atau Boru Tulang (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.
Dengan Tarombo atau martutur (Mandailing) suatu nilai budaya yang sangat mendasar dalam melestarikan tradisi, adat dan kekarabatan, berbicara dengan tarombo maka berbicara tentang Marga
Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak kurang lebih sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
Karena Orang Batak menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal), maka posisi seorang anak laki-laki menjadi penting . Dan sudah merupakan budaya yang mendarah daging bagi orang Batak, kehadiran anak laki-laki dalam kehidupan keluarganya karena sangat pentingnya sehingga seorang wanita yang dilahirkan dalam suatu keluarga selalu mendambakan agar dia mempunyai iboto agar jangan pincang ke bahagiaan itu seperti kata umpasa berikut ini .
- Habang siturtu , marpuroto puroto,
mata tumulut tulut mida halak na mariboto.
Nangpe adong ibotong ku , tubu ni amang uda ,
Dang salobian na sian namar dongan tubu .
Hansit ni naso mar iboto . Ise manorsahon i .
Ima sahit si naoto mangeruni daging i
Karena demikian pentingnya namar iboto tersebut tentu merupakan idaman dan juga merupakan tantangan jika tidak mempunyai iboto nanti jika orang tua meninggal dunia bagi yang tidak mempunyai iboto akan muncul perdebatan karena posisi perempuan kurang dominan dalam paradaton dan pembagian harta warisan. Jangankan saat membagi harta sedangkan dalam kehidupan sehari-hari saja sering wanita yang tidak punya iboto mendengar sindiran dari sanak pamili kepada ibunya karena tidak melahirkan seorang lakilaki karena nanti tidak ada si panean harta warisan seperti sawah ,kebun dan lain sebagainya, seperti cerita legenda Siboru Tumbaga yang sangat memilukan itu . Sering kita dengar ucapan sinis, sindiran yang menyakitkan hati, sehingga ibu yang tidak melahirkan seorang laki-laki sering menagis pilu dan merupakan mala petaka baginya dan merupakan dalih pula bagi pihak keluarga supaya kawin lagi agar memperoleh anak laki-laki agar kelak ada pewaris harta maka konsekwansinya adalah hidup di madu apalagi setelah mabalu .sering mangandung sibari-bari.
Pada saat sekarang sejalan dengan kemajuan teknologi , serta semakin kuatnya orang ber agama yang mengajarkan persamaan hak serta kemajuan dan kesadaran hukum oleh manusia modren saat ini dan makin banyaknya perbandingan antara etnis di muka dunia ini maka adat Paneanon (pembagian harta warisan) bagi orang batak tersebut serta posisi seorang perempuan sudah makin kuat seperti umpasa berikut ini tungkap marmeme anak singgalak marmeme boru jika anak di pangolihon sedangkan anak gadis di pabuatkon.
Bagaimana pula peranan Menenantu laki-laki yang kawin dengan seorang wanita yang tidak mempunyai iboto tentu dia harus tampil sebagai suami dan sekaligus sebagai iboto bagi sang istri dan bagi mertuanya dia akan tampil sebagai menantu dan sebagai anak sehingga apapun terjangan dan niat tidak bagus dari sanak pamili bisa diletakkan kepada posisi dengan se arif mungkin sehingga seperti peribahasa atau perumpamaan (umpasa) berikut ini :
- Sinemnem aek toba,silanlan uruhuruk
nametmet marlas niroha, namagodang dang mar ungut ungut
Sai patappakma nian pajojor jala pariris
anak dohot boru bungani hagabeon
si patiur parnidaan sipahinsa simanjojak .
Pada jaman dahulu orang tidak terlalu berpikir dari mana dan bagai mana biaya anak yang dilahirkan, kalau sudah seperti kata umpasa Batak TOROP SO PIGA , SO BEGEON NI BEGU. mereka yakin bahwa Mula jadi nabolon akan memberikan rejeki kepada mereka Karena mereka yakin jika nanti setelah besar anak mereka akan mampu mencari nafkah sendiri. Pula keyakinan mereka adalah manusia lebih dahulu ada daripada harta bahwa harta akan bisa di cari bukan harta mencari manusia . Zaman dahulu orang yang mempunyai banyak anak akan selalu di segani maka sering dikatakan umpasa Maranak sampulu pitu marboru sampulu onom karena mereka akan merupakan team yang cukup besar dalam mencari napkah dan harta. Hal ini termotivasi dengan Hasangapon.
Catatan :
1- Hanya laki-laki yang Marlae, Martunggane, Martulangna poso serta marnatulang naposo
2- Sebaliknya hanya perempuan yang Mareda, maramang naposo serta marinang na poso
3- Tetapi dibeberapa daerah Batak seperti, Silindung, kalau di parparibanon, selalu umur menjadi tolak ukur siapa yang lebih tua (siahaan), dan siapa siadian(sianggian). Tetapi lain di daerah Toba, sama aturan pada siahaan dan sianggian di parparibanon serta pada pardongan sabutuhaaon.
4- Lebanleban tutur adalah ada bereku perempuan kawin pada anak sabutuhaku (masih termasuk adik) ; Yang menjadi pertanyaannya bereku boeu tadi harus memanggil apa terhadapku?, dan anak dari adikku akan memanggil apa terhadapku?. Kalau demikian kasusnya maka pedomannya adalah sistem kewkerabat tersebut tetap dibawa misalnya siperempuan (bereku) tetap memanggil aku sebagai Tulang sedangkan si lakilaki (suaminya teatap memanggil Amangtua.
5- Ada lagi istilah LEBANLEBAN TUTUR, artinya pelanggaran adat yang dimaafkan. Misalnya begini : saya punya bere, perempuan, menikah dengan laki-laki, putera dari dongan sabutuha saya. Nah, seharusnya, si bere itu memanggil saya ‘Amang’ karena pernikahan itu meletakkan posisi saya menjadi mertua/simatua, dan laki-laki itu harus memanggil saya ‘Tulang rorobot’ karena perempuan yang dia nikahi adalah bere saya. Tapi tidaklah demikian halnya. Partuturon karena keturunan lebih kuat daripada partuturon apa pun, sehingga si bere harus tetap panggil saya ‘Tulang’ dan si laki-laki harus tetap memanggil saya ‘Bapatua/bapauda’.
Kekerabatan Dalihan na tolu juga sebagai representasi dari :
Ø Batara Guru adalah representasi dari Hulahula.
Ø Soripada (Sori) adalah representasi dari Dongan Sabutuha.
Ø Mangalabulan (Balabulan) adalah representasi dari Boru
Inilah yang menyebabkan kedudukan tinggi dari Hula-hula tidak dapat dijungkir balikkan dengan kedudukan boru, sama dengan menuklarkan kedudukan Batara guru yang menguasai Banua ginjang (penguasa langi)dengan Babulan yang menguasai banua tonga (penguasa bumi). Dengan demikian mengawini anak saudara perempuan Bapak tidak diperbolehkan bagi orang Batak.
Sehubungan dengan itulah orang Batak mengenal berbagai peribahasa dan perumpamaan tentang hulahula :
- Hulahula bona ni ari, tinongos ni omputa Mulajadi
- Sisuboton marulak noli, sisombaon dirim ni tahi
Yang maksudnya sbb:”Hula-hula adalah sumber terang hari,karunia dari Mulajadi.Yang perlu dihormati berulang kali disembah dengan sepenuh hati.”
- Hulahula matani ari binsar,sipanupak dotondina;
- Sipanuai sahalana, dinasa pomparanna.
Maksudnya:”Hula-hula adalah terang matahari, rohnya pemberi berkat, wibawanya pemberi restu, bagi seluruh keturunannya.”
- Obuk do jambulan,tinumtuman bahen samara;
- Pasu-pasu ni hulahula, Pitu sundut soada mara.
Maksudnya:“Rambut adalah mahkota dikepang,disusun menjadi mahkota indah; Berkat dan restu dari hula-hula, bisa tujuh turunan tiada bala.
Dari ungkapan diatas maka dapat diketahui bahwa sistem kekerabatan dalam struktur Dalihan Na Tolu, sangat terkait dengan kepercayaan religi lama Batak. Begitu tingginya posisi Hula-hula sehingga Hula-hula semata yang boleh memberi berkat (pasu-pasu) kepada borunya, sehingga ada kesan pada sebagian orang batak bahwa Hula-hula itu adalah “Debata na di ida” (Tuhan yang dilihat). Meskipun Hula-hula memiliki posisi tertinggi namun kedudukan itu harus didukung oleh kedua unsur lainnya (dongan sabutuha dan boru), jadi hubungan kekerabatan Dalihan na tolu harus dilaksanakan secara selaras dan seimbang agar konsep totalitas religi orang Batak berjalan dengan baik
Implementasi (penerapan) Dalihan Na tolu:
Didalam kehidupan Orang Batak, penetrapan Dalihan Natolu dapat dilihat dengan jelas didalam setiap acara adat Batak, salah satau contoh didalam acara perkawinan; yang mempunyai hajat (Suhut) akan ditunjanga oleh:
o Hula-hula sebagai pemberi restu yang dihormati dengan tutur kata yang wajar dan menyejukkan;
o Boru membantu hulahulanya dengan morel dan materi juga tenaga agar pelaksanaan hajat hulahulanya sukses, sedangkan
o Dongan tubu sebagai pemberi nasihat, nasihat atau saran dan pendamping hasuhutan (yang punya hajat).
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut : ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru.
Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.
Sedangkan simbol-simbol religi dari sarana pelaksanaan acara adat perkawinan adalah:
I-Alaman:
Alaman adalah pekarangan luas yang ada di tengah-tengan sebuah perkampungan orang Batak (huta), yang struktur pengaturan rumah dihuta (kampung) tersebut diatur dua sisi berhadapan dan berjajaran yang dipisahkan halaman (pekarangan) yang lebar, panjang dan rata, semakin banayk rumah (penghuni) huta tersebut semakin panjang halamannya. Dan pekarangan itu dipelihara kebersihannya secara bersama-sama, yang nantinya akan dipergunakan dalam keperluan upacara adat, disamping kegiatan sehari-hari seperti menjemur padi, dan lain-lain. Ada pengungkapan tentang makna halaman (Alaman) yang sering diucapkan raja parhata sebagai berikut:”Alaman na bidang, alaman na marampang na marjual, na marsangap na martua” (halaman yang luas,halaman yang bertuah, dan berkemuliaan), kata-kata ini selalu diucapkan pada setiap acara adat, oleh karena itu halaman tersebut harus bebas dari gangguan roh-roh jahat agar acara pemujaan dan penyembahan yang dilakukan melalui upacara adat dihalaman diterima dengan baik oleh roh-roh nenek moyang dan para dewata.
Catatan:
Tata cara pengaturan tempat duduk dalam setiap Acara adat:
Pada zaman dahulu setiap mengadakan pesta (acara adat) akan selalu membentangkan tikar dihalaman Rumah hasuhutan (yang mempunyai hajat, namun sekarang (modernisasai) Acara Adat sudah dilakukan di dalam gedung dan memakai kursi. Meskipun demikian didalam menyusun tempat duduk yang berperan didalam acara adat (Dalihan natolu) tidak ada perubahan.
Ada dua macam bentuk acara adat yaitu:
1. Acara ada satu hasuhutan ( sisada hasuhutan) seperti acara memestakan Tugu dari Ompu (tambak), Memasuki rumah (mangopoi Jabu), menerima makanan dari anak (manjalo sipanganon sian ianakkon), berkunjung ke Hulahula (paebathon), serta yang sehubungan dengan itu.
2. Acara adat dua hasuhutan (dua hasuhutan) seperti membicarakan mahar (marhata sinamot), dan yang lain seperti itu.
Didalam acara adat itu ada dua macam cara susunan duduk (parhundulan). Kalau ada yang mengantarkan makanan (paebaton, memberi/membuat makanan orangtuanya) kurang lebih begini susunan duduknya:
· Di depan suhut duduk yang datang mengantarkan makanan
· Disebelah kanan suhut : Hahadoli dohot Hulahula
· Disebelah kiri suhut : Anggi doli dohot boru.
· Orang Sekampung beserta pariban masuk kekelompok sabutuha
Kalau tidak ada yang datang mengantarkan makanan misalnya waktu acara biasa maka susunan duduk sebagai berikut:
o Hulahula didepan hasuhutan
o Disebelah kanan hahadoli serta sekampung (dongan shuta)
o Disebelah kiri Anggidoli, boru serta keluarga lainnya.
Pada Acara Adat sidua hasuhutan susunan duduk adalah sebagai berikut:
§ Saling berhadapan kedua hasuhutan dan masing-masing hasuhutan menyusun duduknya;
§ Disebelah kanan hasuhutan duduk Hahadoli serta Hulahula.
§ Disebelah kiri duduk Anggi doli dohot boru.
§ Oranng sekampung serta pariban masuk dalam kelompok sabutuha.
II-Sipanganon:
Makanan yang dipersiapkan untuk upacara adat, yang biasanya melalui petunjuk dukun (datu), hewqan apa yang akan dipotong dalam acara tersebut karena pada masa dahulu semua tingh laku peersiapan mengadakan suatu upacara adat, dilaksanakan dengan sakral, sehingga pengaturan memotong hewanpun diatur sedemikian rupa seperti menerima pisau pemotong dari hasuhutan, cara memegang pisau, berdoa, dan menusukkannya kejantung hewan, tidak boleh dua atau tiga kali (berulang-ulang). Bagian-bagian inti dari hewan yang disebut “na margoar ni juhut”, harus dipersembahkan lebih dahulu kepada roh-roh nenek moyang dan para dewata, sebelum diserahkan kepada hula-hula sebagai “tudu-tudu ni sipanganon” (pertanda kelengkapan hewan yang disiapkan untuk peralatan adat), dan kemudian dibagikan sebagai jambar juhut kepada para pihak yang berhak. Penyerahan tudu-tudu ni sipanganon pada hakikatnya sebagai pembuktian secara simbolis bahwa semua makanan yang disediakan untuk hajatan besar itu adalah “hewan utuh bukti kesungguhan acara adat, dan diberikan lebih dahulu kepada hula-hula, setelah diterima dengan baik oleh hulahula maka dipersilahkan para hadirin untuk bersantap bersama.
Hula-hula akan membalas pemberian tersebut kepada pihak boru dengan memberi dengke (ikan) sebagai tudu-tudu ni sipanganon, lengkap dengan dengke saur, dengke na porngis, dengke sitio-tio, dengke sahat, dengke simudur-udur, maksudnya adalah bahwa dengke itu adalah perlambang dari kelimpahan berkat, panjang umur dan kehidupan bahagia, serta rukun dan seia sekata pada keluarga tersebut. Biasanya dengkalah yang selalu dimakan pada masa menanam dan memanen, sebagai simbol tanda terima kasi dengka pulah lah yang dipersembahan. Sebagai kepercayaan orang Batak akan kekuatan roh yang dikandung sipanganon terlihat dari ungkapan :“Hot situtu do nasa na pinadanhon di atas ni juhut dohot indahan“ (apa yang telah disetujui dalam acara makan lengkap dengan daging dan nasi adalah mutlak, dan tak boleh berubah).
Berbicara dengan pemotongan hewan, berkaitan dengan istilah Panimboli, arti
harfiahnya adalah sesuatu pekerjaan manambol atau menyembelih hewan, jadi panamboli itu bisa saja merupakan suatu pekerjaan menyembelih hewan dalam suatu paradaton bukan di rumah jagal (rumah potong)sehingga merupakan jabatan dalam suatu pesta paradaton.
Bila akan melakukan suatu pesta Marunjuk dan panjuhuti, menurut biasanya sebagai lauk ataupun parjambaran pada pesta tersebut adalah kerbau ataupun lembu. Atas dasar itulah suhut sihabolonan dari pihak par-anak akan memberangkatkan kerabat dekatnya yaitu haha anggi ni partubu untuk menyembelih kerbau yang akan di jadikan loppan pada acara pesta tersebut. Mereka di berangkatkan dengan suatu acara resmi pada saat acara martonggoraja. Hasuhuton menyediakan tampi(anduri) yang diatasnya terletak pisau yang dibalut dengan daun tebu maka hasuhuton resmi menyuruh mereka untuk menyembelih kerbau yang sudah tersedia lengkap dengan membuat namargoar (namartandaan) sebagai jalannya Parjambaran.
Seperti kata pepetah Batak mengatakan, "adat do ia ugari si nihatton ni mulajadi. Adat pinungka ni ompunta naparjolo, si ihuttonon ni hita naparpudi". Bondar do batang toru sunge do aek puli. Borhat ma hamu dohot angka boru, hamu ma panamboli. Mereka melaksanakan tugasnya dengan sedemikian rupa dan bertanggungjawab dengan sepenuhnya akan persediaan banyaknya undangan yang akan makan. Namun, yang lebih penting dari itu mempersiapkan Namargoarna atau Parjambaran agar tidak salah atau kurang lengkap dari yang sudah dirumuskan. Supaya tidak ada kilah patajom hu piso ni parhobas.
Jadi panamboli dalam keadaan seperti ini disebutlah jabatan yaitu paidua ni suhut, sedangkan parjambarannya adalah diambil dari dada pinahan yang dipotong tersebut yaitu rusuk tiga atau lima dekat pangkal leher. Tugas dan tanggung jawab dari panamboli sangatlah strategis dan dominan dalam suatu pesta. Karena panamboli adalah dongan sabutuha. Jika dia dari pihak dongan sabutuha adalah abang beradik maka jika suatu pesta tidak mamemiliki panamboli berarti dia itu tidak mempunyai abang-adik. menurut biasanya, jikahal tersebut terjadi, berarti hasuhuton bolon lahir dengan istilah sebatangkara. Karena demikian pentingnya panamboli itu maka ada rekayasa yaitu dongan sahuta yang lain marga dijadikan menjadi panamboli, itulah sebabnya jambar panamboli tadi cara membaginyapun adalah sebelah untuk namardongan tubu dan sebelah lagi untuk dongan sahuta. Kesalahan persepsi.
Ada orang salah penapsiran akan Panamboli ini, dengan alasan bahwa kita yang satu marga adalah masih satu dalam hasuhuton. Jika masih dalam satu hasuhuton, dengan sendirinya tidak perlu memakai panamboli. Mungkin mereka berpikir, jika mereka harus mengadakan panamboli, bagaimana nantinya jika nenek mereka hanya cuma anak sasada. Berdasarkan itulah tentang masalah panamboli bukan melulu masalah berat tidaknya suatu pekerjaan. Masalah yang lebih patal dalam acara Panamboli ini adalah, mereka menapsirkan jika diadakan pesta itu dengan seorang panamboli, maka akan memecahkan namardongan tubu. Padahal jabatan atau tugas sebagai panamboli adalah adat untuk memperjelas sebuah kedudukan dalam adat Batak. Seperti ilustrasi ini menerangkan, sama halnya seperti jari tangan. Yang terdiri dari ibu jari, jari telunjuk, jari tengah jari manis, dan jari kelingking. Adapun uraian ini, agar memperjelas kedudukan belaka. Salah penapsiran ini sering terjadi di perantauan. Jadi dengan demikian berarti Panamboli adalah Jabatan dalam suatu pesta jika dipihak parboru jabatan panamboli adalah sijalo todoan atausijalo bola tambirik yang masih hubungan masih sa-ama mangulahi. Oleh karena itu agar adat paradaton ini makin bagus, kiranya perlu di sosialisasikan khususnya kepada generasi penerus tanpa mengurangi makna dari adat tersebut karena merekalah nantinya akan pelaksana adat Batak itu.
bersambung (6)