Sir Thomas Stamford Raffles adalah orang Eropa pertama yang berkunjung ke pedalaman Tanah Batak dan berhasil menginjakkan kakinya pinggir pantai Danau Toba. Sebelumnya, Charles Miller dan Giles Holloway, telah lebih dahulu berupaya untuk masuk ke pedalaman tersebut, tetapi tidak berhasil. Catatan kedua orang inilah yang dijadikan sebagai bagian dari buku William Marsden yang berjudul The History of Sumatra yang didalamnya terdapat tulisan tentang “suku di pedalaman yang masih kanibal.” Suku inilah yang kemudian dikenal sebagai orang Batak.
Dalam sejumlah tulisan yang menyangkut Tanah Batak, tidak seorang penulis pun menyebutkan bahwa Raffles adalah orang pertama yang berhasil menginjakkan kakinya di pinggiran danau ini. Mulai dari Brassem, yang merupakan pengagum van deer Tuuk, sampai penulis sekaliber Sitor Situmorang, semua mengklaim bahwa van der Tuuk adalah orang kulit putih yang pertama kali menginjakkan kaki di pinggir danau itu. Tulisan Brasseem dimuat dalam majalah Gema, Tahun II, November 1962, dan tulisan Sitor Situmorang dimuat dalam buku Somalaing Pardede dan Modigliani. Walaupun M.O. Parlindungan dalam bukunya banyak menyebut nama Raffles tetapi hanya sebatas keinginannya untuk menjadikan Tanah Batak sebagai daerah peyangga (wig policy) antara Minangkabau dan Aceh yang beragama Islam.
Nama Raffles seharusnya mendapat porsi yang memadai khususnya dalam penulisan tentang kristenisasi Tanah Batak. Alasannya ialah karena setelah Raffles mengadakan satu kunjungan ke pedalaman Tanah Batak dia kemudian berkirim surat kepada teman-temannya di Inggeris, agar penginjil-penginjil kristen dikirim kesana. Raffles berhasil karena akhirnya dua orang pendeta, Burton dan Ward, datang walaupun ternyata kemudian keduanya terpaksa angkat kaki akibat perjanjian antara Inggeris dan Belanda yang dikenal dengan Traktat London.
Banyak kontroversi sekitar kegagalan kedua penginjil ini dalam melakukan missinya di Tanah Batak. Nommensen sendiri menganggap Burton gagal karena keterbatasan bahasa, sehingga salah dalam menafsirkan Injil. Hal ini menyebabkan orang Batak menolak kedatangannya. Sementara itu, M.O. Parlindungan sendiri mempunyai pendapat lain. Menurutnya, kegagalan Burton dan Ward terjadi karena epidemi kolera yang pada waktu itu masih berjangkit di Tanah Batak Utara, sementara H. Moh. Said mengatakan kegagalan itu karena dari awal orang Batak telah tidak senang terhadap simata putih (si bontar mata).
Untuk dapat memberikan penilaian yang jujur, marilah kita mengikuti sejarah keberadaan Raffles di Indonesia dan khususya mengenai kedatangannya ke pedalaman Tanah Batak. Untuk itu, dalam buku ini kami sengaja memuat sekelumit memoar Raffles khususnya tentang kunjungannya ke Tanah Batak, agar kita dapat melihat benih pertumbuhan iman Kristen tersebut secara jernih. Memoar itu menjadi penting karena banyak hal terungkap di dalamnya, termasuk keberadaan pasukan Paderi di Tanah Batak. Karena itu, di bawah ini akan dikutip penggalan memoar tersebut, sebagaimana dimuat dalam buku The Restless Warrior, karya Richard Mann:
“. . . He sailed from Calcutta in the Indiana, in February 1820.
Looking out from the ship, over the empty expanse of ocean, give him an empty feeling inside. ‘Was I too optimistic after the death of Colonel Bannerman?’ he asked himself. ‘Was I too impetuous in rushing to Calcutta?’ As the Indiana its way back to Sumatera, Raffles was dogged by the feeling that he was coming home empty handed.
Off the coast of Sumatera, north of Nias, the Indiana sailed into the Mentawai Strait, a strecth of water dividing the mainland from of a chain of offshore islands. At the entrance to the strait, far north of Padang, at Poncan Island the Company had a small post and Raffles decided to pause there to recover from crossing the choppy Bay of Bengal and also to try to see something of the Batak country inland.
Travellers had stopped here from time immemorial and the coast was littered with the remains of the first Eroupean explorers, the Portuguese. William Marsden had sparked his interest in the people who lived in the part of Sumatera by his descriptions of them as cannibals.
Landing first at Poncan Island, Raffles meet the British Resident, John Prince, and explained his purpose. Prince agreed to provide guides and porters for Raffles to make the journey inland to the mountain home of the Batak people. Beaching their boats at the village of Sibolga, Prince negotiated for porters and horses from the local people. While Mary Anne and little Charles stayed at Prince’s house, the Resident, Raffles, Dr. William Jack and Captain Flint set out into the interior, the Europeans and guides riding, and the porters walking. Prince said that the journey was about two hundred kilometers, once again, up and the beautiful but rugged Barisan Mountains.
In addition to cannibalism, the Bataks had a warlike reputation, but their chiefs received Raffles warmly and discovered the cannibalism was only as a punishment for crime. Still, it was used and wrote letters, filled with suitable horror, home the friends in England. As he had experienced upon arrival at the homeland plateau of the Minangkabau, here, too, Raffles found the soil rich and many gardens of carefully tended fruit and vegetables. He found the Bataks very darks skinned and, from what he was told of their history and the stone remains he saw, he felt sure that they originated either in India proper or in the nothern region arround Burma or Thailand.
Their homes were most spectacular, built on stilts, with each end of the roof rising up from a saddle in the middle and decorated plentifully with buffalo horns. Anthropology aside, he found Lake Toba, a huge mountain-locked expanse of water at the heart of the Batak homelands, one of the most beautiful lakes he had ever seen. “It was worth coming here just to see this,” he sighed looking out over the island dotted lake. “Utterly magnificent . . .”
Diterjemahkan dengan bebas:
“. . . Dengan kapal Indiana, Raffles berlayar meninggalkan Calcutta pada bulan Februari 1820. Ketika memandang ke laut lepas, dia merasakan kekosongan dalam hatinya. ‘Apakah aku terlalu optimistik dengan kematian Kolonel Bannerman?’ ia bertanya dalam hati. ‘Apakah aku terlalu tergesa-gesa pergi ke Calcutta?’ Ketika Indiana makin mendekati Sumatera, makin terasakan bahwa dia pulang dengan tangan hampa.
Di lepas pantai Sumatera, di sebelah utara Pulau Nias, kapal Indiana memasuki Selat Mentawai, hamparan laut yang memisahkan daratan Sumatera dengan rangkaian pulau-pulau lepas pantai. Di jalur masuk ke selat itu, di ujung utara Padang, di Pulau Poncan, Inggris mempunyai kantor kecil dan Raffles memutuskan untuk beristirahat di sana guna memulihkan diri dari rasa lelah akibat hantaman ombak yang dahsyat, sewaktu melintasi Teluk Benggala, selain itu untuk melihat-lihat negeri orang Batak di daratan.
Dari dulu telah banyak pelancong berhenti di sini dan pantai tersebut dipenuhi dengan sisa-sisa para penjelajah Eropa. William Marsden, penjelajah pertama Portugis, telah menimbulkan minat dalam dirinya tentang orang-orang yang tinggal di pedalaman Pulau Sumatera karena ia menggambarkan mereka sebagai kanibal.
Setelah mendarat di Pulau Poncan, Raffles bertemu dengan Residen John Prince dan mengutarakan maksudnya. Prince setuju menyediakan penunjuk jalan dan pembawa barang yang akan menyertai Raffles dalam perjalanannya ke Tanah Batak. Setelah perahu-perahu mereka mendarat di Sibolga, Prince menawar orang-orang setempat untuk mendapatkan pembawa barang dan kuda.
Sementara Mary Anne dan Charles yang masih kecil tinggal di rumah, Residen Prince, Raffles, Dr. William Jack dan Kapten Flint berjalan ke pedalaman. Orang-orang Eropa dan penunjuk jalan tersebut naik kuda dan para pembawa barang berjalan kaki. Prince mengatakan perjalanan tersebut berjarak kurang-lebih 200 kilo meter, naik-turun gunung yang indah namun terjal di rangkaian Bukit Barisan.
Selain dikenal sebagai ‘kanibal’ orang Batak juga dikenal sebagai orang yang suka berperang, tetapi para kepala sukunya menerima Raffles dengan penuh kehangatan. Raffles akhirnya tahu bahwa ‘kanibalisme’ itu hanya diberlakukan sebagai hukuman bagi penjahat. Tetapi memang betul hal itu masih diberlakukan dan dia menulis surat-surat dan dilengkapi cerita-cerita seram tentang hal itu kepada teman-temannya di Inggris.
Seperti yang dia amati di dataran tinggi yang menjadi kediaman orang Minangkabau, tanah di bukit ini pun tampak subur dan ditanami dengan buah dan sayuran yang dirawat dengan baik. Dilihatnya orang Batak berkulit gelap dan dari sejarah dan sisa-sisa patung batu yang ditemukannya, dia yakin bahwa mereka berasal dari India atau wilayah utara Burma atau Thailand.
Rumah-rumah mereka tampak sangat mengagumkan, yang dibangun di atas tiang-tiang sehingga tidak menyentuh tanah dan atapnya mendongak tegak ditengahnya layaknya pelana kuda, penuh ukiran yang indah dengan tanduk kerbau. Dia juga melihat Danau Toba, suatu hamparan luas yang dikelilingi pegunungan di jantung Tanah Batak, sebagai salah satu danau terindah yang pernah dilihatnya. “Melihat ini saja rasanya sudah tidak rugi,” desahnya sambil melihat keindahan danau yang berisikan pulau tersebut. “Sungguh menakjubkan . . .”
Dari catatan perjalanan ini, kita memperoleh dua hal penting. Pertama, segera setelah Raffles mengunjungi Tanah Batak, dia banyak berkirim surat kepada teman-temannya di Inggris. Salah satu di antaranya dikirim pada tanggal 12 Februari 1820 kepada Duchess of Sommerset. Dia berceritera tentang kunjungannya ke pedalaman Tanah Batak yang, menurut Marsden, masih “kanibal,” tentang rajanya yang disebutnya “Singah Maha Raja,” tentang kepercayaannya yang “supranatural.” Raffles meminta agar dikirimkan penginjil ke Tanah Batak. Duchess of Sommerset sendiri dikenal dekat dengan petinggi gereja karena ia banyak memberikan sumbangan kepada gereja.
Surat tersebut ternyata membuahkan hasil. Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua orang penginjil yaitu Richard Burton dan Nathaniel Ward untuk bekerja di Tanah Batak. Sebelum angkat kaki dari Tanah Batak, Burton pernah memberikan laporan kepada Jhon Prins tentang tewasnya “Singah Maha Raja,” raja orang Batak yang menurutnya meninggal karena “kebodohannya” sendiri. Para penginjil tersebut menjalankan tugasnya dengan baik dan sering disambut dengan upacara adat. Akan tetapi, sejak Traktat London ditanda tangani, yang yang mengharuskan Inggeris angkat kaki dari P. Sumatera dan karena Burton dan Ward dianggap adalah bahagian dari Raffles, kedua penginjil ini pun harus meninggalkan Tanah Batak walaupun mereka hanya penginjil biasa.
Kedua, terdapat catatan waktu yang menarik perhatian karena tampak perbedaan antara tahun yang tertulis dalam memoar Raffles dan tahun yang tertulis dalam buku M.O. Parlindungan Siregar. Di satu pihak, tarikh yang dituliskan oleh M.O. Parlindungan menyebutkan bahwa selama dua tahun, dari tahun 1818 sampai 1820, pasukan Paderi melakukan penyerangan dan pembumihangusan di Tanah Batak Utara. Di pihak lain, jika kita perhatikan memoar di atas, tertulis dengan jelas bahwa, pada bulan Februari 1820, Raffles melihat “rumah-rumah yang dibangun di atas tiang-tiang sehingga tidak menyentuh tanah dan atapnya mendongak tegak dan ditengahnya seperti pelana kuda, penuh ukiran yang dihiasi tanduk kerbau.”
Dengan demikian, bilamana kita menyimak memoar itu dan membandingkannya dengan tulisan M.O. Parlindungan, akan timbul pertanyaan: Apakah Raffles salah lihat atau catatan yang diperoleh M.O. Parlindungan tidak sahih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar