Dahulu kala sewaktu penduduk yang mendiami Rura (Lembah) Silindung masih memeluk kepercayaan Sipelebegu [1], hiduplah seorang Raja yang kaya, besar dan bersahaja[2]. Mereka hidup dengan damai di sebuah huta [3] di tepi sungai Aek Situmandi [4]
yang bersih dan jernih. Tempat tinggal raja itu berada di seberang Huta
Siparini sekarang. Huta Siparini terletak di kaki Dolok (Gunung) Siatas
Barita. Dolok Siatas Barita adalah tempat “Pamelean” [5] keturunan Guru Mangaloksa sewaktu belum masuk agama Kristen ke Rura Silindung.
Walaupun Dolok Martimbang lebih tinggi
dari Dolok Siatas Barita, itu tidak masalah bagi mereka karena guru
Mangaloksa pertama sekali mendirikan huta di kaki Dolok Siatas Barita.
Dari sanalah awalnya guru Mangaloksa bersama keturunannya mendiami
seluruh Rura Silindung. Oleh karena itu, Dolok Siatas Barita merupakan
tempat “Dolok Parsaktian” [6] bagi keturunan Guru Mangaloksa sekaligus menjadi tempat Pamelean zaman dahulu.
Terkabarlah Raja ini karena kekayaannya,
kebesaran dan kebersahajaannya. Semua tanaman-tanaman diladang maupun
disawah berlimpah ruah, bahkan tempat penyimpanan yakni “Sopo” [7] tidak bisa lagi menampungnya. Begitu juga dengan ternaknya ( kerbau dan babi ) berlimpah. Sang Raja tinggal di “Rumah Batak“ [8] Tetapi lebih terkenal lagi raja ini karena kecantikan putrinya yang bernama Si Boru Natumandi .
Banyak anak-anak raja yang ingin
menjadikan siboru Natumandi menjadi istrinya. Kabar mengenai kecantikan
siboru Natumandi sudah tersebar ke “Desa Naualu” [9].
Keindahan tubuh yang semampai, keindahan matanya yang teduh, senyum
dan tertawanya yang membuat hati damai, kecantikan wajahnya yang
mempesona, rambutnya bagaikan mayang terurai sampai ketumitnya, cara
bicaranya yang lemah lembut dan sopan, perilakunya membanggakan orang
tua dalam bermasyarakat, dan cara berpakaiannya juga sangat sopan. Tidak
ada seorangpun yang melebihi karisma yang dimilikinya bahkan diantara
kawan-kawan putri-putri raja yang seumuran denganya di Desa Naualu.
Tidak hanya itu, dia pandai mengambil hati kedua orang tuanya, sangat
terampil manortor (Tari-tarian suku batak) serta penenun yang handal dan
rajin.
Banyak raja-raja dari toba, samosir,
humbang, pos-pos, dan angkola datang kepada raja itu untk meminang raja
Siboru natumandi menjadi “Parumaennya” [10]
(menantunya). Siboru natumandi sangat pandai mengambil hati orang
tuanya, sehingga dia putri kesayangan ayah ibunya. Karena itu, sewaktu
raja-raja datang meminang Si Boru Natumandi jadi parumaennya, raja hanya
menjawab yakni : molo mangoloi borukku, sipanolopi ma ianggo hami ( kalau putriku mau menerima, kami orang tuanya merestuinya).
Mendengar jawaban raja itu, maka semua
raja-raja yang mau meminang Si Boru Natumandi menyuruh anak-anaknya
menjumpai Si Boru Natumandi untuk meminta agar dia mau jadi istrinya.
Sungguh lemah lembut jawaban Si Boru
Natumandi pada anak-anak raja yang datang menjumpainya. Si Boru
Natumandi sangat senang menyambut kedatangan anak-anak raja itu. Bahkan
mereka disuguhkan dengan makanan yang lezat dan nikmat. Setelah selesai
makan dia memberikan jawaban kepada raja tersebut.
Anak-anak raja yang datang tidak bisa
tenang, mereka selalu penasaran, hati mereka selalu berdebar-debar,
apakah saya diterima? kalimat tersebut yang selalu ada dalam pikiran
mereka. Kalau tidak diterima kenapa harus repot-repot memasak,
menyuguhkan makanan yang nikmat dan lezat dengan pelayanan yang
memuaskan pada saya. Itulah yang menghantui pikiran anak-anak raja setip
kali datang meminang. Wajahnya selalu tersenyum tidak menunjukkan
ketidak sukaan pada setiap anak-anak raja yang datang. Hal tersebut juga
membuat hati setiap anak-anak raja yang datang menjadi gusar dan
bertanya-tanya sampai-sampai lupa pada makanan yang disuguhkan itu.
Perasaan ayah dan ibu Si Boru Natumandi
ikut juga tidak tenang menunggu jawaban yang diberikan putrinya pada
anak-anak raja yang datang itu. Mereka sangat berharap agar putrinya mau
menerima salah satu lamaran dari anak raja yang datang itu.
Setelah selesai makan, S Boru Natumandi
memberikan jawabannya kepada anak-anak raja yang datang itu dengan sopan
dan lemah lembut dia mengatakan : ‘mauliate ma diharoromuna na tu ahu, alai mulak ma hamu ai ndang lomo do pe rohakku mar hamulian’. (terimakasih karena telah datang menjumpai saya, tapi pulanglah kalian, karena saya belum ingin menikah/berumah tangga).
Bagaikan ‘Porhas na manoro di siang ari’
(bagaikan petir yang menyambar di siang hari) perasaan hati anak-anak
raja mendengar perkataan Si Boru Natumandi yang singkat itu. Perasaan
mereka lemas tak berdaya, tak sanggup lagi menjejakkan kakinya ke atas
tanah karena mendengar jawaban tersebut.
Seperti itulah jawaban yang di berikan Si
Boru Natumandi kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya.
Sungguh lemah lembut perkataannya, pelayanannya sangat sopan dan baik.
Tapi jawabannya yang singkat itu bagaikan disembelih dengan sembilu,
sungguh menusuk jantung.
Biasanya setelah anak-anak raja yang
datang menjumpai Si Boru Natumandi pulang, kedua orang tua Si Boru
Natumandi langsung menanyakan apakah putrinya itu sudah menerima salah
satu lamaran dari anak-anak raja yang datang tersebut? Tapi jawaban yang
diberikan Si Boru Natumandi selalu sama yakni : ‘dang lomo do pe rohakku mar hamulian amang-inang’ (ayah-ibu saya masih belum mau menikah).
Seperti itu juga raja-raja yang menyuruh
anak-anaknya datang menjumpai Si Boru Natumandi mereka selalu
bertanya-tanya. Setiap anaknya pulang dari rumah Si Boru Natumandi
mereka langsung menanyakan : ‘beha do amang, di jalo do hatami? Asa manigor borhat hami mangarangragi’
(“Bagaimana nak, apakaah lamaranmu diterima?” lamaranmu? Supaya kita
langsung berangkat menjumpai orang tuanya). Tapi dari pancaran wajah si
anak yang lesu tidak bersemangat, mereka sudah tahu bahwa anak mereka
tidak di terima Si Boru Natumandi. Semua raja-raja yang menyuruh anaknya
itu menjumpai Si Boru Natumandi bertanya-tanya : ‘na behado ulaning, na hurang mora do pe au, nahurang do hasangapon hu?’
(apa gerangan yang terjadi, apakah saya kurang kaya, apakah saya kurang
bersahaja?) Padahal kekayaan dan kehormatan saya bahkan sangat melebihi
orang tua si perempuan, kata hati setiap raja-raja yang mengirim
anaknya menjumpai Si Boru Natumandi.
Siang berganti malam, hari berganti
minggu, bulan berganti tahun tetapi , jawaban yang diberikan Si
Boru Natumandi selalu sama kepada setiap anak-anak raja yang
datang melamarnya. Ayah dan Ibunya sedih sebab terdengar berita
bahwa raja-raja yang menyuruh anaknya menjumpai Si Boru Natumandi
merasa dikecilkan dan mereka sakit hati. Padahal anak-anak raja
tersebut tidak memiliki kekurangan bahkan bisa dikatakan sudah
sempurna, wajah mereka tampan, kaya dan jug berkedudukan. Tetapi
kedua orang tua Si Boru Natumandi bingung dan bertanya – tanya
dalam hatinya. Apa sebenarnya yang dipikirkan Si Boru Natumandi?
Kadang-kadang hati kedua orang tua Si
Boru Natumandi sedih memikirkan itu, tapi mereka tidak mau memaksakan
kehendak,takut putrinya tersinggung, sedih atau menangis,mereka juga
takut putrinya nanti sakit hati pada mereka. Karena Pada dasarnya marga
Hutabarat sangat baik dan sayang pada anak perempuannya, bahkan sampai
sekarang pun bisa kita lihat dalam kehidupan sehari- hari dan boru
hutabarat sangat baik marhula-hula.
Ada kebiasaan sehari-hari Si Boru Natumandi yakni : dia tidak suka martua aek[11] dan mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai. Dia suka martua aek dan mandi di siang hari. Biasanya diwaktu mandi dia marhatobung [12] di
sungai. Setiap dia marhatobung, selalu terdengar sampai ke kampung,
ladang dan sawah. Bahkan orang yang bekerja di sawah dan di ladang
menghentikan pekerjaanya hanya untuk mendengar hatobung Si Boru
Natumanding. Entah kenapa, semua hasil pekerjaan Si Boru Natumandi lain
daripada yang lain. Seperti hasil tenunannya sangat cantik dan indah
lain dari tenunan putri-putri raja. Setiap orang memegang tenunannya,
sepertinya ada satu kekuatan yang tidak nampak dan mampu menarik hati
orang untik membelinya. Masakannya juga enak dan selalu nikmat, apa yang
dikerjakannya selalu cocok bagi orang yang melihatnya.
Banyak orang bertanya-tanya dalam hati
mereka tentang kelebihan yang dimiliki Si Boru Natumandi terutama para
tua-tua,dan kelebihan itu tidak membawa keburukan sehingga membuat
kaum muda dan orang tua tidak melanjutkan pertanyaan yang selama ini
mereka tanyakan dalam hati mereka.
Disuatu hari, ibunya mendengar Si Boru
Natumandi sedang berbicara di tempat dia menenun. Ibunya mendekat dan
ingin melihat siapa teman putrinya berbicara. Si Boru Natumandi sangat
serius berbicara sambil mengerjakan tenunannya. Dari pembicaraan itu
terdengar suara seorang pemuda yang menemani putrinya. Terkadang Si
Boru Natumandi tersenyum malu, dan kadang-kadang bukan dia yang menenun
tenunannya. Ibunya terkejut melihat kejadian itu, sebab di sekeliling
tempat putrinya bertenun tidak ada orang yang sedang berbicara
dengannya.
Dihapusnya wajah dan dadanya,lalu si ibu
tersadar setelah melihat kejadian aneh yang menimpa putrinya. Dia
bertanya dalam hatinya “apakah saya sedang bermimpi?” “tapi saya tidak
tidur”. Dia kembali melihat putrinya itu, tetapi tetap saja sama seperti
yang pertama dilihatnya itu.
Setelah beberapa hari kemudian dia
memberitahukan kejadian aneh yang menimpa putrinya itu pada
suaminya. “Bibir saya bukan diretak panas……?” ( Apa yang saya katakan
itu benar ) “Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!” Ujar sang
ibu kepada suaminya. Tetapi raja itu tidak menanggapi celotehan
istrinya dan juga tidak menanggapi kejadian aneh yang menimpa
putrinya itu dengan serius. Malah sang raja menjawab , “ah, atik tung na marnipi do ho boru ni raja nami, nabisuk marroha do borunta i, sodung disurahan pangalahona, tung heama i ?”
( “ah, mungkin dinda sedang bermimpi, putri kita kan orangnya sopan,
dan dia tidak pernah berbuat hal- hal yang yang buruk) Akhirnya kedua
orang tuanya tidak mempertanyakan masalah itu lagi.
Mungkin Si Boru Natumandi sudah jatuh
cinta pada pemuda yang datang menjumpainya itu, sebab disuatu hari dia
memberitahukan kepada kedua orang tuanya bahwa dia sudah menemukan
pemuda pujaan hatinya. Orang tuanya sangat senang mendengarkan apa yang
diberitahukan putrinya.
Biasanya, jika seorang putri sudah
menemukan tambatan hatinya. sudah lumrah bagi orang tuanya untuk
menanyakan perihal pemuda yang menjadi tambatan hati putrinya.
Bagaimana kelahirannya, bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana
kekayaannya, dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan orang tua pada
putrinya perihal pemuda yang menjadi tambatan hatinya. Supaya nantinya
putrinya bahagia dan tidak terlantar, serta menantu itu nantinya bisa
menjadi kawan yang dapat diandalkan di waktu terjadi hal-hal yang tidak
diingainkan terlebih waktu berperang.
Si Boru Natumandi memberitahukan perihal idamannya kepada orang tuanya yakni : “na pat ni gaja tu pat ni hora, pahompu na raja jala anakni na mora do na manopot ibana” (cucu
raja serta anak orang kaya yang sedang melamar dia ).” Pemuda yang
melamar saya adalah pemuda yang baik, berhati bersih, bertanggung jawab
dan dia anak raja, kata Siboru Natumandi pada kedua orang tuanya
dengan kegembiraan yang terpancar pada pada raut wajahnya. Melihat
kegembiraan putrinya itu, kedua orang tuanya tahu bahwa Siboru
Natumandi sudah serius menerima lamaran yang datang dari pemuda itu.
Kerinduan mereka sudah terpenuhi , sehingga mereka ikut bergembira
mendengar kabar tersebut dan mereka berkata : ” ba molo songoni do inang patandahon majo tu hami asa dohot hami mamereng nanaeng ga besirongkap ni tondi mi” (kalau memang seperti itu , pertemukanlah kami padanya, supaya kami dapat melihat pemuda yang menjadi teman hidupmu nanti).
Disuatu hari Siboru Natumandi
mempertemukan pemuda itu kepada orang tuanya. Sungguh tampan di, cara
berpakaiannya menunjukkan dia keturunan seorang raja yang bersahaja,
bentuk badannya seperti “ ulubalang “[13].
Tidak berselang beberapa lama,pemuda itu tiba- tiba menghilang
bersamaan kedipan mata kedua orang tua Si Boru Natumandi . Tiba- tiba
mereka melihat seekor ular keluar dari rumah mereka. “Apa yang terjadi
?” Kata ayah Si Boru Natumandi : “pasada ma roha dohot pikkiran mu amang , jala sonang ma roha muna paborhatton ahu marhamulian tu silomo ni rohakku”
( satukan hati dan pikiranmu ayah, relakan hati kalian memberangkatkan
saya memilih pemuda yang menjadi teman hidupku nanti). Kedua orang
tuanya terdiam tidak bisa berbicara apa-apa, karena Si Boru natumandi
putri yang sangat mereka sayangi dan kasihi.
Pada suatu hari , Si Boru Natumandi
memberitahukan kepada orang tuanya perihal keberangkatannya dan tentang
apa saja yang akan mereka kerjakan setelah dia berangkat dari rumah
nanti. Hal-hal yang akan mereka kerjakan dan yang perlu diperhatikan
adalah :
- Mereka tidak perlu membuat pesta pemberangkatan,baru setelah 7 hari kemudian baru dibuat pesta yang besar sebab “ sinamot” [14] yang akan diberikan cukup besar.
- Seperti sinamot dari pihak laki- laki , mereka akan meninggalkannya di suatu tempat dengan jumlah 7 “ampang“ [15]. Sebelum 7 hari 7malam ampang itu tidak bisa dibuka oleh siapapun
- Setelah 7 hari 7 malam ampang itu baru bisa dibuka dan didalamnya akan terisi emas, itulah yang menjadi sinamot kami.
- Dalam waktu 7 hari itu setelah kami berangkat, kami akan mengantar “pinahan“ [16] untuk dimakan, dan pada waktu pesta itu kami akan mengantar kerbau sebagai “panjuhuti” [17]
- Tempat tinggal kami nantinya sangat jauh, kalian ikuti aja “sobuan” [18] yang saya jatuhkan mulai dari depan rumah kita. Dimana sobuan itu nantinya berakhir,sampai disitulah kalian mengikuti saya.sebab jalan yang saya lalui harus melalui sebuah gua yang ujungnya sampai ke daerah Toba dan bercabang ke daerah Penabungan.
Kedua orang tua si Boru Natumandi hanya
diam mendengar semua yang dikatakan putrinya itu. Mereka hanya pasrah
dan menyerahkan semuanya kepada “Mulajadi Nabolon” [19]
Setelah tiba waktu keberangkatan Si Boru
Natumandi,lalu dia memasak makanan yang lezat mulai dari pagi hari
sampai sore hari. Setelah semuanya siap mereka berdua makan bersama
,kedua orang tua si Boru Natumandi melihat putrinya sedang makan bersama
pemuda yang pernah mereka lihat waktu itu.
Sesudah mereka selesai makan, kemudian
orang tuanya melihat mereka lagi tetapi si Boru Natumandi dan pemuda itu
tidak ada lagi di tempat mereka makan. Lenyap seperti ditelan
bumi,orang tuanya melihat makanan yang tersaji itu tidak berkurang
sedikitpun dan sudah dingin seperti sudah lama ditinggalkan.
Pagi-pagi buta, ibu Si Boru Natumandi
bangun bersama ibu-ibu lain melihat sobuan tersebut dan mengikutinya
seperti yang di pesankan Si Boru Natumandi pada ibunya. Mereka mengikuti
sobuan itu hingga sampai di depan mulut sebuah gua yang berada di tepi
Aek Situmandi dekat aek rangat [20].
Mereka memberanikan diri memasuki gua tersebut,tetapi karena terlalu
gelap mereka memutuskan untuk tidak meneruskannya terlalu dalam lagi.
Mereka pulang dan memberitahukan kejadian tersebut. Kabar itu langsung
tersebar di seluruh Lembah Silindung.
Setelah matahari tebit dari atas Dolok Siatas barita, sampailah ke huta itu beberapa ekor “aili” [21] yang
besar-besar dan gemuk.Sepertinya ada yang menyuruh mereka turun dari
hutan menuju Dolok Siatas Barita. Semua aili itu jinak dan tidak
meronta sewaktu ditangkap dan disembelih oleh orang-orang kampung
untuk digunakan pada acara pesta. Seperti itulah terus menerus aili
turun dari hutan di atas Dolok Siatas Barita selama 7 hari,
sampai-sampai semua orang yang datang ke acara pesta itu membawa
sebagian dagingnya ke kampung masing-masing.
Mungkin sudah kemauan Tuhan Yang Maha
Esa, sebab sebelum digenapi 7 hari 7 malam beberapa orang dari keluarga
dekat si Boru Natumandi secara diam-diam mengintip isi ampang itu.
Padahal Siboru Natumandi sudah memberitahukan bahwa ampang itu tidak
bisa di buka oleh siapapun sebelum tergenapi hari yang dijanjikannya.
Mereka melihat isi ampang itu hanya sobuan yang sudah mulai menggumpal
seperti emas di dalamnya.
Setelah kejadian itu,ayah dan ibu Si Boru
Natumandi bermimpi. Mereka didatangi putrinya dan memberitahukan bahwa
sudah ada yang melihat ampang yang telah dipesannya itu. Ampang dan
isinya sudah hambar sebab pesannya sudah dilanggar.
Melihat semua kejadian yang menimpa
keluarga dan putrinya,maka raja tersebut mengumpulkan semua
raja-raja,tua-tua kampung dan semua penduduk hutabarat berkumpul “martonggo” [22] ke Mulajadi Na Bolon “Tung naso jadi ma Boru Hutabarat nauli molo marhasohotan tu “Ulok” [23] (Tidak akan pernah ada lagi boru Hutabarat yang cantik rupawan kalau jadinya kawin sama ular).
Disini kami menegaskan bahwa asumsi
masyarakat selama ini tentang si Boru Natumandi (semua boru Hutabarat
saat ini) yang sombong adalah salah, dimana menurut cerita selama ini
bahwa secantik apapun boru Hutabarat pasti ada cacatnya. Banyak marga
Hutabarat membeberkan hal tersebut, tetapi perlu digaris bawahi itu
terjadi bukan karena kesombongan namun karena sumpah leluhurnya
tersebut.
Namun semua itu dikembalikan kepada
penilaian kita masing-masing, kalau kita tinjau dari segi agama mungkin
sangat bertolak belakang. Agama pada dasarnya membenarkan suatu
kejadian yang benar-benar terjadi bukan rekaan. Kita bisa membacanya
dari kitab yang kita yakini sesuai dengan agama yang kita anut. Tetapi
walaupun demikian kita tidak bisa menyalahkan budaya batak terutama pada
zaman dahulu. Zaman dahulu masyarakat Silindung masih mempercayai
legenda atau cerita rakyat yang bersifat anonim bukan hanya cerita “Si Boru Natumandi”, masih ada legenda lainnya yang dipercayai orang batak seperti ”Terjadinya Danau Toba di Samosir”.
Sedangkan zaman sekarang yang diperlukan adalah perkembangan sumber
daya manusia (pendidikan/keterampilan) berdasarkan moral religius dan
etika. Oleh karena itu, dari segi agama maupun budaya kita bisa memilah
mana yang bisa kita terima secara logika.
[1] Sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah
[2] Sumber mengatakan Raja itu bernama Raja Ama Natidar. Raja Ama Natidar mempunyai 2 orang putra yaitu : Raja Natidar dan Tuan Jabut serta seorang putri yang cantik rupawan yang bernama Si Boru Natumandi
[3] Huta, desa, kota; marhuta, berkediaman di kampung; marhuta sada, berjalan-jalan, tidak tinggal di kampung, keluar kota, bepergian; huta sabungan, ibu kota, kampung induk; parhutaan, pemukiman, perkampungan; pardihuta, bini, isteri, yang bertugas di desa, (lawan parbalian); tarhuta, diketahui orang didesa bahwa orang berutang banyak; marhutahuta, mainan anak-anak bangun kampung-kampungan; raja hutam sesepuh kampung; Huta Raja, Huta Talun, Huta Pea, nama desa, nama kampung. Sumber mengatakan kampung itu bernama Banjar Nahor. Tahun 1985 kampung itu berganti nama menjadi Banjar Nauli. Hanya ada 2 kampung pada masa itu yakni Hutabagasan dan Banjar Nahor
[4] Aek Situmandi.
Nama sebuah sungai di daerah Hutabarat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara. Bentuk sungai sudah besar dan jalurnya sudah berubah.
[5] Pele kata dasar, mamele, umpele, menyajikan, mempersembahkan sajian, kurban kepada dewata atau roh; mamelehon, mempersembahkan sebagai kurban; pelean, persembahan, kurban sajian; mamele begu, memberi persembahan kepada nenek moyang, kepada roh-roh, menyembah roh; sipelebegu,
orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah. Dahulu Dolok Siatas
Barita adalah tempat Penyembahan keturunan Guru Mangaloksa.
[6] Dolok Parsaktian. Dolok, gunung, pegunungan; dolokdolok, bukit, perbukitan; pardolok, penduduk gunung, juga: terletak di gunung; pardolohan,
pegunungan.Di daerah Toba ada juga Dolok yang sama seperti Dolok Siatas
Barita yang dijadikan masyarakat Balige dan sekitarnya menjadi tempat
pamelean mereka yaitu Dolok Tolong
[7] Sopo,
lumbung padi, di bawah atap disimpan padi, di ruang terbuka tempat
menerima tamu serta tempat mengadakan pertemuan, di atas juga tidur para
pemuda
[8] Ruma, rumah adat, terutama rumah Batak yang diukir; pardiruma, isteriku, nyonya rumah; di ruma, di nifas; ruma sahit, rumah sakit; dipaturuma, memanggil begu ke dalam rumah; ruma bolon, penjaga modal bersama, yang bertanggung jawab untuk itu.
[9] Desa, penjuru, mata angin; desa na ualu, delapan penjuru angin
[10] Parumaen, menantu perempuan; parumaen di losung, = parumaen sinonduk,
calon menantu perempuan, yang sudah diterima dalam rumah sebagai
pembantu dan sudah diberikan mas kawin, mengenai dia dikatakan: hira hatoban siulaon, alai hira raja nasida anggo di sipanganon, ia harus kerja seperti seorang hamba, tetapi ia peroleh makanan seperti seorang raja
[11] Martuaek, mengambil air
[12] Marhatobung.
Yakni air sungai di permainkan dengan cara ditampar ,dipukul, dipotong
dan disodok dengan tangannya hingga menimbulkan suara atau musik yang
sangat enak didengar.
[13] Ulubalang. Kata dasar Ulu, kepala; ulu ni timbaho, ujung lempeng tembakau yang paling enak rasanya; ulu ni rihit, gosong, busung pasir; P.B.: madungdung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, molo mardomu angka na bolon, adong do ulu buaton, bambu besar menyentuh bambu kecil, manakala orang-orang besar bertemu pasti akan ada korban; manguluhon, memimpin perkara; pangulu, penengah antara dua pihak; pangulului, telah melihat setengah jalan (matahari); na pangului, jam 09.00 pagi; ulubalang, hulubalang, pendekar; ulubalang ari = hasiangan on;pangulubalang, patung kecil yang dipuja yang dimasukkan sedikit pupuk; hauluan = haulian = ulu, hauluan, tanda “i” dalam tulisan Batak: juga haulian; paulubalanghon, disewa sebagai hulubalang
[14] Sinamot.. Mas Kawin
[15] Ampang, bakul yang dianyam di bawah, berbentuk empat segi dan di atas bundar, juga dipakai sebagai takaran beras atau padi; parampangan, bakul besar dimana di dalamnya disimpan bakul-bakul kecil; na marampang na marjual, = na marpatik na maruhum, seseorang yang memakai takaran dengan baik dan jujur, menimbang secara adil dan punya undang-undang dan hukum keadilan; mangihut di ampang,
berlangsungnya per-kawinan seorang gadis hanya dengan membawa bakul
makanan buat pihak mertuanya, karena mahar (mas kawin) sudah beres
sebelumya; marmanuk di ampang, meramalkan masa depan berdasarkan letak badan ayam yang lehernya dipotong segera ditutup dengan “ampang” (tentang dukun); parampang ni luat, bagian dari pekan yang dikhususkan bagi sesuatu daerah untuk menyimpan barang mereka; P.B.: sadampang gogo, sanjomput tua, tenaga satu ampang banyaknya, keuntungan hanya sejemput, kerja mati-matian, hasil minim; manghunti ampang, mempe- lai baru, yang pertama kali membawa makanan kepada mertuanya; suhi ni ampang na opat,
sudut bakul nan empat, sebagai lambang empat fungsional penerima mas
kawin pada adat menikahkan puteri empat; kerabat yang paling utama,
dalam hal ini diingat kepada ampang yang ditutupkan datu
pada ayam sembilahan itu, bila ayam itu menggelepar sampai keranjang
jatuh, artinya celaka. Oleh karena itu keempat sudut keranjang harus
diperberat.
[16] Pinahan. Ternak atau hewan yang di peliharaan (babi) yang di sembelih waktu perkawinan
[17] Juhut, daging; juhut bontar, orang utan, mawas; juhuton, muak, kebanyakan makan daging; juhutjuhuton, mengelupas pada kulit kuku; manjuhuti, menyediakan lauk daging; panjahuti, daging yang dibawa ayah mempelai laki-laki pada marunjuk
[18] Sobu, hidupkan api, lepas, sibuk, rajin pada sesuatu; manobu api, menutup api dengan abu, agar jangan padam betul; sobuon,
tumpukan kulit padi, sekam, kulit tipis pada padi yang sewaktu
menumbuknya menjadi lepas (ditebarkan pada api agar tidak mati); tano sobusobu, tanah yang lembek (seperti sobuon)..
[19] Mulajadi Na Bolon, dewa tertinggi yang menjadikan dunia dan nasib manusia berada dalam tangannya. Mula, mula, awal, asal; mulamula, mula-mula; di mula ni mulana, pada awal sekali; di mulana, mula-mula; parmulaan, permulaan; marmula, memulai; marmulahon, sesuatu sebagai asal mula-mula
[20] Rangat, aek rangat, air belerang, air hangat bersumber dari alam
[21] Aili, celeng, babi hutan
[22] Tonggo, martonggo, berdoa dalam agama animisme, berdoa kepada dewa; martonggo raja, mengundang raja-raja untuk turut berpesta; tonggotonggo, doa-doa bersifat agama.
[23] Ulok, ular; ulok na bisa, ular berbisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar