Kamis, 22 April 2010

PERLU DICERMATI SARAN SIMPATIK INI !!!

Pdt. Dr. Jan Aritonang, Rektor STT Jakarta
 

image clip_image001[4]image

Melahirkan pribadi  berakhlak baik dan benar menjadi prinsip utama kepemimpinan Pdt. Dr. Jan Sihar Aritonang, Rektor STT Jakarta (STTJ). Selama beberapa kali diper-caya jadi pimpinan di STT ini, ia se-lalu tegaskan kepada mahasiswa dan karyawan agar senantiasa menjunjung pola hidup tertib dan jujur, disiplin waktu dan kerja, serta membiasakan diri bekerja keras.  Di samping itu, ia meminta untuk tak lupa mensyukuri segala berkat Tuhan.

Pria kelahiran Sibolga 22 Januari 1952 ini menegaskan, di STTJ tidak boleh ada penyelewengan uang sesen pun. Dosen dan karyawan tidak akan mendapat penghasilan dari cara tidak halal. Mereka hanya mendapat penghasilan sesuai yang ditetapkan, sembari terus-menerus memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Menurutnya, sejak awal STTJ tak pernah diterpa isu korupsi. Setiap pemimpin selalu memiliki visi yang sama menghindari perbuatan tercela itu. Jan mengakui sikap menghindari korupsi atau penghasilan tidak halal juga diwarisi dari guru-gurunya, terutama pimpinan pendahulunya. Sikap ini dipertahankan dan ditanamkan kepada mahasiswa dan karyawan. Simak bagaimana perjalanan karier dan pengabdian Pdt.Jan Aritonang hingga sampai seperti sekarang ini, dalam REFORMATA edisi 100

SARAN YANG PERLU DI CERMATI SEMUA GOLONGAN

image image image

Pada tahun 2004 ini, seorang pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia dan dosen Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, bernama Dr. Jan S. Aritonang menerbitkan sebuah buku tebal berjudul “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). Buku ini menarik karena – disamping dilengkapi dengan data-data sejarah yang melimpah – juga disertai dengan saran dan harapan untuk mengatasi konflik Islam-Kristen di Indonesia. Saran-saran itu ditujukan kepada pihak Kristen dan Islam.
Berikut ini diantara sejumlah saran yang ditujukan kepada pihak Kristen dan catatan yang kita berikan terhadapnya. (1) Orang Kristen tidak perlu ragu bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Sekali orang Kristen meragukan, merelatifkan, atau melepaskan keyakinan yang sangat mendasar ini, patutlah dipertanyakan apakah ia masih dapat dan layak disebut atau menyebut diri sebagai orang Kristen.
Tetapi, keyakinan itu tidak boleh membuat orang Kristen merasa lebih selamat atau lebih unggul dari umat beragama lain. Sebab, Yesus Kristus tidak datang untuk mendirikan sebuah agama dan tidak dapat dikuasai atau dipenjarakan oleh sebuah agama yang namanya Kristen. Umat Kristen bukanlah pemilik tunggal keselamatan. Tidak zamannya lagi mempertahankan semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). . Syndrom anak tunggal, yaitu kebanggaan semu sebagai satu-satunya umat yang selamat, patutlah ditinggalkan. Tugas gereja dan orang Kristen adalah memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang lain.
Dengan saran seperti itu, Pdt Jan S. Aritonang telah memasuki wilayab teologi yang sensitif, terutama bagi kaum Kristen sendiri. Ia tetap menyarankan kaum Kristen memegang teguh keyakinannya terhadap Yesus Kristus, tetapi pada saat yang sama, ia menyatakan, bahwa bukan hanya orang Kristen yang selamat. Paham ini lebih dekat ke gagasan “teologi inklusif” yang mewarnai Konsili Vatikan II. Dimana dinyatakan, bahwa kebenaran ada di dalam Kristen tetapi juga ada pada agama lain. Ia mengajak kaum Kristen melepaskan klaim Teologi Eksklusif, extra ecclesiam nulla salus. Tetapi, masalahnya, bukan hanya antara agama Kristen dan non-Kristen. Di antara sesama kaum Kristen sendiri, doktrin extra ecclesiam nulla salus itu menjadi perdebatan panas. Gereja manakah yang selamat? Apakah hanya Gereja Katolik atau ada Gereja lain yang selamat? Gereja Protestan lahir belakangan setelah para reformis Kristen melancarkan pemberontakan terhadap Gereja Katolik.
Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. Luther bahkan menyebut Paus sebagai “Anti-Kristus” (anti-Christ). Ia menyatakan, bahwa kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan. Kekuatan jahat tentunya memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk).
Seperti kita tahu, pertentangan Protestan dan Katolik telah melahirkan lembaran hitam dalam sejarah keagamaan di Eropa. Pihak Katolik sendiri setelah ratusan tahun bertahan dengan klaim kebenaran seksklusifnya, akhirnya melemah. Reverend Michael Parise menulis buku kecil berjudul “Apakah Kita Satu-satunya Gereja yang Benar?” (Jakarta: Penerbit Obor, 1996). Ditulis dalam buku ini, bahwa “Gereja adalah Katolik.” Bagaimana orang Katolik memandang jutaan orang Kristen non-Katolik, dirumuskan dalam buku ini: “Mereka tentu dapat masuk surga dan memperoleh keselamatan, meskipun itu menjadi lebih sulit tanpa bimbingan dan sakramen-sakramen Gereja.” Jadi, kaum Protestan yang non-Katolik bisa masuk surga tetapi lebih sulit. Selanjutnya dikatakan, bahwa Gereja Katolik mau mengakui Protestan, sejauh persekutuan-persekutuan Protestan memelihara dan menyebarluaskan unsur Gereja Katolik Roma, dan menjadi sesama rasul di jalan menuju keselamatan. Tetapi, tanpa persatuan iman yang nyata dalam semua unsur penting dari Gereja Kristus, persatuan belum mungkin terjadi antara Gereja Katolik dan Protestan.”
Soal klaim kebenaran antara Protestan dan Katolik ini sesungguhnya lebih rumit dibandingkan klaim Islam dan Kristen. Jika Pdt Jan S. Aritonang meminta kaum Kristen tidak ragu-ragu terhadap keyakinannya bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus, maka bisa ditanyakan, keselamatan itu melalui Gereja yang mana? Melalui Gereja Katolik atau Protestan?
Bagi kaum Muslim, saran Pendeta Aritonang itu tentu tidak mudah dilaksanakan. Kaum Muslim yang meyakini kebenaran konsepsi Tauhid Islam, pasti pada saat yang sama menolak kepercayaan lain yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Jika kaum Muslim meyakini bahwa Allah adalah Satu, Tidak Beranak dan tidak diperanakkan, bahwa Isa a.s. adalah seorang Nabi, bukan Tuhan atau anak Tuhan, maka tentu akan sangat sulit bagi kaum Muslim untuk tidak menyatakan, bahwa konsepsi yang menyatakan Tuhan punya anak adalah konsep yang salah. Problemnya, sangat berbeda dengan yang ada di dalam Kristen. Al-Quran memuat begitu banyak ayat yang memberikan kritik terhadap konsepsi ketuhanan Kristen. Bahkan, sejak awal, al-Quran telah mengkritik keras konsepsi teologis kaum Kristen tersebut. Penyebutan Isa a.s. sebagai ‘Anak Allah’ disebut al-Quran sebagai kesalahan serius. (QS Maryam:89-92, al-Maidah 72-75).
Apakah konsepsi dan keyakinan itu harus diubah? Tentunya sangat sulit dan tidak mungkin. Al-Quran akan tetap seperti itu, sampai akhir zaman. Al-Quran memang satu-satunya Kitab Suci yang isinya banyak memberikan kritik terhadap agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Namun, dalam sejarah Islam sudah terbukti, konsepsi Tauhid dan eksklusif kaum Muslim, tidak melahirkan sejarah kekejaman terhadap agama lain, sebagaimana sejarah Gereja melahirkan sebuah institusi yang sangat kejam bernama INQUISISI. Sebagian kalangan Muslim – karena terpengaruh cara pandang dan fenomena sejarah Kristen – percaya bahwa klaim kebenaran mutlak terhadap kebenaran satu agama, akan melahirkan kejahatan, dan menjadikan agama sebagai hal yang jahat. Dalam pengantarnya terhadap Buku Pendeta Aritonang ini, Prof. Azyumardi Azra mengutip pendapat Charles Kimball melalui bukunya, When Religious Become Evil (2003) – “Saat Agama Menjadi Jahat”. Menurut Kimball ada lima tanda saat agama menjadi jahat. Yang pertama, adalah adanya klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claims). Dikatakan oleh Azyumardi: “Setiap agama – khususnya Kristen dan Islam – mengandung klaim-klaim kebenaran yang merupakan landasan keimanan, di mana seluruh struktur dan institusi agama berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia.”
Pendapat Azyumardi yang mengutip Kimball itu sebenarnya rancu dan keliru. Di dalam Islam, ada hal-hal yang memang satu dan seragam, disamping ada hal-hal yang berbeda. Jika ditelaah, misi Rasulullah Muhammad saw adalah menyeru kepada umat manusia, agar mengakui kebenaran Islam, dan mengakui kenabian beliau sebagai Utusan Allah SWT. Karena itulah, beliau dan kaum Muslimin sesudahnya bersemangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Jika bukan karena semangat itu, Islam tidak akan sampai ke Indonesia, sampai ke Minangkabau, dimana nenek moyang Prof Azyumardi Azra berasal. Apakah karena semangat kebenaran eksklusif itu lalu Islam menjadi jahat?
Kristen juga dulu memiliki semangat yang sama. Tapi, bisa dilihat dan dibandingkan, bagaimana cara dan dampak yang dilakukan para dai Muslim dan misionaris Kristen di Indonesia. Jadi, masalahnya bukan pada semangat dan keyakinan eksklusif akan kebenaran agama, tetapi pada aspek modus. Pengalaman sejarah Kristen tidak dapat digeneralisasi menjadi pengalaman semua agama. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan: “Sekali kata ‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: … inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan.” (Scott Peck, The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990), hal. 237-238. Pendapat Peck dikutip dari tulisan Dr. Fatimah Abdullah berjudul “Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN al-Attas, di Majalah Islamia, edisi ke-3, tahun 2004).
Kembali ke saran Pdt. Aritonang, ia tampaknya ingin mengerem laju semangat menggebu-gebu sebagian kalangan misionaris Kristen yang berambisi mengkristenkan seluruh bangsa Indonesia. Menurut Aritonang, diantara kalangan Protestan, memang ada kelompok yang sangat agresif dan triumfalistik, terutama beberapa yang baru muncul sebagai tiruan dari induknya di Barat, terutama di Amerika Serikat. Kalangan Kristen pun sering terganggu oleh penampilan dan cara-cara mereka berkiprah.
Saran lain Pdt Aritonang terhadap umat Kristen adalah, agar: (2) Umat Kristen tidak lagi mencemooh ajaran, kitab Suci, atau tokoh-tokoh Islam, dan tidak membiasakan diri merujuk atau menafsir al-Quran dengan tujuan mencari pembenaran atas Kitab Suci atau ajaran Kristen. (3) Umat Kristen perlu mempertimbangkan perasaan umat Islam ketika hendak mendirikan rumah ibadah. (4) Umat Kristen juga perlu mempertimbangkan perasaan umat Islam ketika hendak mengadakan acara-acara ibadah atau perayaan keagamaan, baik di gedung gereja, gedung pertemuan umum, atau melalui media massa. (5) Tidak perlu bersikap alergik dan traumatik terhadap kaum Muslim yang berbicara tentang penerapan Syariat Islam. Pdt. Jan S. Aritonang juga mengimbau agar kaum Kristen bersikap lebih simpatik dan bersahabat terhadap kaum Muslim: “Memandang mereka sebagai seteru, pihak yang mengancam, atau pun yang harus ditaklukkan demi Injil atau demi apa pun, adalah tindakan bodoh dan tidak terpuji.”
Saran-saran Pdt. Jan S. Aritonang itu tampak cukup simpatik. Beberapa diantaranya pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan. Sayangnya, Pdt. Aritonang kurang menampilkan karya-karya kaum Kristen yang menyudutkan Islam. Padahal, buku-buku tentang itu sangat banyak dan melimpah. Sebagai contoh, sejumlah buku dan brosur misonaris Kristen yang menggunakan judul-judul Islam, untuk mengelabui umat Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul: Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq), Keselamatan Didalam Islam, Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, Rahasia Allah Yang Paling Besar, Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat. Juga buku Upacara Ibadah Haji karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad, Ayat-ayat Al-Qur’an Yang Menyelamatkan. Misi Kristen juga menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam, seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012).
Menindaklanjuti saran-saran Pdt Aritonang, seyogyanya, kaum Kristen sendiri aktif menangani masalah yang disarankan oleh Pdt Aritonang, agar kaum Muslim tidak memahami kaum Kristen secara “gebyah uyah”. Kita paham, bahwa pendapat dan saran Pdt Aritonang belum tentu diapresiasi oleh kalangan Kristen sendiri, apalagi oleh kalangan “New Christian Right” yang berafiliasi dengan kalangan Gereja Kristen fundamentalis di AS. Kalangan ini sangat bersemangat – dengan dana yang melimpah ruah – mengkristenkan Indonesia, seperti ambisi mereka membangun sebuah Menara Doa di Jakarta.
Meskipun secara umum, saran-saran Pdt Aritonang patut diapresiasi dan ditelaah oleh kaum Muslim lebih lanjut, namun banyak juga hal bisa dicatat dan dikritik dari buku Pdt Aritonang ini. Misalnya penggunaannya terhadap istilah “Islam garis keras” terhadap beberapa kelompok Islam. Penggunaan istilah itu sesungguhnya bermasalah. Siapa yang keras dan siapa yang lunak? Apanya yang keras dan apanya yang lunak? Juga, sarannya kepada kaum Kristen dan Islam, agar “di dalam kedua umat ini terbangun kesediaan untuk mengakui keterbatasan masing-masing dalam hal agama, bahkan dalam memahami wahyu, firman, dan kehendak Tuhan Allah. Dengan demikian bisa membebaskan diri dari sikap memutlakkan.” Untuk memperkuat pendapatnya, Aritonang mengutip pendapat Djohan Effendi, tokoh Islam Liberal: “Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengatahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh.”
Saran Pdt. Aritonang ini bertentangan dengan sarannya agar kaum Kristen jangan meragukan bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Tampak di sini, Pdt Aritonang tidak begitu yakin dengan pendapatnya sendiri. Saran ini pun tidak patut disampaikan kepada kaum Muslim, sebab, kaum Muslim diperintahkan meyakini kebenaran dari Allah dari sekali-kali tidak boleh meragukan kebenaran itu. Pendapat Djohan Effendi adalah pendapat kaum Skeptik – dengan tokohnya Sextus Empiricus – yang tidak pernah meyakini sesuatu hal, yang selalu “delaying judgement”. Pendapat kaum skeptic ini selalu kontradiktif. Jika manusia nisbi dan tidak mampu memahami kebenaran secara menyeluruh, maka artinya, dia sendiri juga harus ragu terhadap statemen yang dibuatnya sendiri.
Dalam pandangan Muslim, pendapat kaum Skeptik ini sebenarnya menghina Allah. Sebab, itu berarti Allah menurunkan wahyu yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Ketika menurunkan al-Quran, Allah paham, bahwa al-Quran diturunkan kepada manusia, dan manusia pasti mampu memahami sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan. Namun, Allah juga memerintahkan agar kaum Muslim meyakini kebenaran al-Quran, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akal manusia mampu memahami kebenaran secara menyeluruh, dalam batas manusia. Karena itu, ada haq dan ada bathil. Jika orang tidak pernah yakin mana yang haq dan mana yang bathil, maka dia sendiri masuk dalam golongan bingung (golbin). Justru al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk, untuk menjadi furqan, yang membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kaum Muslim diperintahkan meyakini bahwa Nabi Isa bukan Tuhan atau anak Tuhan. Beliau a.s. adalah manusia, Utusan Allah. Perintah itu begitu jelas dan gamblang. Kaum Muslim diharamkan memakan daging babi dan meminum khamr. Larangan itu juga jelas dan tidak perlu diragukan. Zina adalah haram. Keputusan Allah ini sangat jelas. Yang haq dan bathil itu jelas. Yang haram itu jelas, yang halal juga jelas. Diantara keduanya ada perkara syubhat. Agama Islam adalah agama yang jelas dan kebenarannya dapat dipahami oleh umat manusia. Dari dulu sampai sekarang milyaran umat manusia yang memeluk Islam tidak bingung. Jika Djohan Effendi dan sejenisnya bingung dan tidak paham kebenaran, itu adalah urusannya sendiri. Biarlah di akhirat nanti dia melaporkan kepada Tuhannya, bahwa selama hidup di dunia, dia tidak dapat menjangkau kebenaran. Padahal, Allah sudah berfirman: “Al-Haqqu min Rabbika falaa takuunanna minal mumtarin.” Al Haq itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk dari golongan yang ragu. (QS 2:147). Wallahu A’lam. (KL, 20 November 2005/Hidayatullah.com).

image

Rabu, 21 April 2010

Mengenal Islam pada era Tuanku Rao (2)

Mengapa perlu kita bahas topik tersebut diatas, tidak lain semata-mata hanya mencoba menyibak tabir kesimpang siuran penafsiran tentang Islam di Tapanuli khususnya toba. Akhir dari tulisan ini saya mencoba memaparkan beberapa tanggapan tentang Tuanku Rao alias Pongki nangolngolan Sinambela.

Syi'ah vs Wahabi di Minangkabau

image

Aliran Syi'ah menjalar dari Aceh ke daerah Minangkabau, yang persebarannya dimulai sejak 1128. Pada waktu itu, laksamana Nazimudin Al-Kamil mengadakan gerakan militer dari pantai Aceh ke sungai Kampar Kanan dan Kiri, untuk menguasai hasil lada di daerah tersebut. Nazimudin gugur saat ekspedisi pada 1128. Daerah sungai Kampar dikuasai oleh pedagang-pedagang asing yang menganut aliran Syi'ah, dan disokong oleh dinasti Fathimiah di Mesir. Mereka ingin memonopoli hasil lada. Hasil lada itu diangkut ke bandar Perlak, terus dibawa ke pasaran Gujarat.
Pada 1513, Tuanku Burhanudin Syah di Pariaman yang dikuasai Aceh, mulai mengislamkan daerah Minangkabau secara intensif. Burhanudin adalah putra sultan Syamsul Syah dari Mahkota Alam, yang ikut mendirikan kesultanan Aceh. Para tokoh setempat dididik menjadi ulama yang kemudian akan menyebarkan ajaran Syi'ah di antara penduduk Minangkabau. Para pengajar didatangkan dari Kambayat, Gujarat. Pengawasan terhadap pendidikan ulama di Pariaman, sampai 1697, dilakukan oleh Tuanku Burhanudin Syah turun temurun. Sementara sebagian tidak senang dengan pengislaman yang dilakukan Tuanku Burhanudin Syah.
Pada 1803, tiga tokoh beraliran Wahabi bermazhab Hambali, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin, membentuk gerakan pembersihan agama. Gerakan mereka disponsori oleh Abdullah ibn Saud di Riyadh. Sebagai catatan, ketiga haji tersebut pernah menjadi tentara di Turki. Timbullah ketegangan antara golongan kaum adat yang menganut aliran Syi'ah dan para pengikut gerakan Wahabi. Akhirnya mereka berhasil membasmi kaum Syi'ah di Minangkabau, nyaris tak tersisa. Di Irak, pada 1801, gerakan Wahabi juga sibuk memberantas kaum Syi'ah, dan berhasil merebut Karbala. Masjid masjid Syi'ah dan makam-makam keturunan Hasan Husein, cucu Nabi Muhammad, dibumihanguskan. Pada 1802, tentara Wahabi di bawah pimpinan Abdullah ibn Saud, putra Abdul Aziz ib Saud, berhasil merebut kota Makah dan Madinah, serta mengusir tentara Turki dari jazirah Arab. Karena pembebasan kota Makah dan Madinah dari kekuasaan Turki yang beraliran Hanafi itu, maka gerakan Wahabi menjadi terkenal di dunia internasional.
Ketiga haji asal Minangkabau yang ikut dalam pasukan Turki yang menduduki Makah dan Madinah, ditangkap kelompok Wahabi. Karena mereka adalah orang asing, bukan orang Turki, mereka tidak dibunuh. Ketiga orang tersebut segera diindoktrinasi dalam gerakan Wahabi, lalu melepas aliran Hanafi-nya. Sekembalinya dari Makah pada 1803, mereka membentuk gerakan Wahabi di Minangkabau.
Timbullah ketegangan antara golongan kaum adat yang menganut aliran Syi'ah dan para pengikut gerakan Wahabi. Puncaknya, meletuslah Perang Padri. Akhirnya mereka berhasil membasmi kaum Syi'ah di Minangkabau, nyaris tak tersisa.
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya,

image

Kekejaman kelompok Wahabi bermazhab Hambali di Minangkabau

Sejak akhir abad ke sembilan belas, daerah Agam telah memulai usaha gerakan kembali kembali ke syari’at yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo agaknya menjadi tempat yang cocok bagi Haji Miskin dalam menyalurkan ide-ide pembaharuannya. Pelindung Haji Miskin di sini adalah rekan seperguruannya, yakni Tuanku Nan Renceh. Kedua toko Padri ini adalah murid Tuanku Nan Tuo dan keduanya juga ikut terlibat dalam gerkan pembaharuan awal yang dipelopori oleh gurunya pada akhir abad ke delapan belas. Bagi Tuanku Nan Renceh pertemuan dengan Haji Miskin menjadi pemicu keinginannya untuk kembali melakukan gerakan ke syari’at setalah vakum cukup lama. Kekecewaan Tuanku Nan Renceh atas sikap lunak gurunya dalam melancarkan gerakan kembali kepada syari’at menjadi faktor utama mudahnya Haji Miskin mendapat dukungan dan simpati dari tokoh yang dikenal sangat garang ini. Sebelum bertemu dengan Haji Miskin, gerakan pembaharuan Tuanku Nan Renceh masih belum mempunyai tujuan dan wujud yang jelas.

Maka ketika Haji Miskin menyampaikan ide-ide pembaharuannya, Tuanku Nan Renceh segera menyatakan dukungannya. Tujuan perjuangannya pun lebih jelas dan tampak lebih radikal. Setelah mendapat petunjuk dan nasehat dari Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh semakin yakin bahwa usaha pembaharuannya akan mendapat dukungan dari elit-elit agama lainnya di Agam. Bahkan, Tuanku Nan Renceh juga berambisi untuk meluaskan gerakannya hingga ke seluruh wilayah di Pulau Sumatera. Pertemuan kedua tokoh ini pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Akan tetapi dalam perkembangannya, yang paling menonjol adalah Tuanku Nan Renceh yang memulai pekerjaan dari daerah Agam. Sementara ini, Haji Miskin, meskipun tidak mendapat kesempatan untuk berperan lebih jauh ia selalu berusaha untuk memainkan peranan yang tersedia baginya. Dalam hal ini ia lebih berperan sebagai juru dakwah yang mengajak orang-orang untuk menerima ajaran-ajaran Padri. Tuanku Nan Renceh memulai usahanya dengan melobi ulama-ulama yang mempunyai pengaruh besar untuk mendukung gerakannya. Dalam waktu yang tidak lama, tujuh Tuanku dari Candung, Sungai Puar, dan Banuhampu menyatakan dukungannya. Untuk mengorganisir gerakan mereka, Tuanku Nan Renceh membentuk persekutuan dengan Tuanku-Tuanku tersebut.

Persekutuan inilah yang dalam sejarah Minankabau dikenal sebagai Harimau Nan Salapan, mereka itu adalah: Tuanku Lubuk Aur (Candung), Tuanku Berapi di Bukit (Candung), Tuanku Galong (Sungai Puar), Tuanku Padang Laweh (Banuhampu), Tuanku Banesa (Agam), Tuanku Kapau (Agam), dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kamang). Keberadaan Harimau Salapan pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Sebelum memulai gerakannya, Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan mendatangi Tuanku Nan Tuo untuk memohon restu dari ulama kharismatik ini. Dihadapan guru yang telah membawanya untuk mengenal Islam lebih mendalam lagi, Tuanku Nan Renceh menjabarkan ide-ide pembaharuannya yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis dan menentang segala praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan itu, yakni tindakan kekerasan bagi yang menentang, juga dipaparkan secara panjang lebar. Tanpa diduga ternyata pertemuan elit-elit agama itu justru menimbulkan perdebatan yang sengit. Tuanku Nan Tuo yang merupakan guru dari beberapa anggota Harimau Nan Salapan pada dasarnya menyetujui ide-ide pembaharuan Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan tetapi menolak keras cara-cara kekerasan dalam pelaksanaannya. Bagi Tuanku Nan Tuo, dakwah yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan selain tidak bijaksana juga bertentangan dengan ajaran Islam. Tuanku Nan Tuo mengajukan argumentasi bahwa ”....Nabi berjiwa suka damai dan suka mengampuni, yang menekankan bahwa orang patut dihukum mati adalah orang yang dengan sadar mengingkari Islam, dan bahwa desa yang mempunyai seorang mu’min (orang beriman) pun tidak boleh diserang". Oleh karenanya Tuanku Nan Tuo tidak bersedia untuk bergabung dengan mantan muridnya itu. Akan tetapi Tuanku Nan Renceh tetap pada pendiriannya. Bagi Kaum Padri, membunuh orang yang tidak mematuhi aturan-aturan agama bukanlah perbuatan dosa.

Menyadari bahwa sulit untuk mendapat restu dari ulama besar Agam itu, Haji Miskin mengajak Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan pergi ke Koto Laweh untuk menemui Tuanku Mansiangan. Kepada ulama ini kelompok Harimau Nan Salapan memintanya sebagai pelindung dan pemimpin gerakan. Ulama yang terkenal karena pengetahuannya yang luas dan cukup berpengaruh di Koto Laweh ini menyatakan kesediaannya. Kesediaan Tuanku Mansiangan bersedia untuk bergabung dengan kaum Padri agaknya lebih didasarkan atas pertimbangan bahwa ia telah mengenal secara baik Haji Miskin dan pernah menjadi pelindungnya sehingga ia tidak merasa asing dengan ide-ide pembaharuan Islam yang diusung Kaum Paderi. Kecuali itu, Tuanku Mansiangan adalah orang yang gila hormat, sementara popularitasnya tidak seluas Tuanku Nan Tuo yang juga adalah murid dari ayahnya. Popularitasnya hanya sebatas Koto Laweh, sedangkan Tuanku Nan Tuo tidak hanya di seluruh Agam tetapi juga ke wilayah lain di luar Agam. Keputusannya untuk bergabung dan menjadi pemimpin Kaum Padri diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan dapat menaikkan gengsinya di kapangan ulama khususnya di Agam. Sebagai tanda terima kasih atas kesediaannya bergabung dengan Kaum Padri, Tuanku Nan Renceh memberinya gelar Imam Besar. Meskipun pimpinan kaum Padri berada di tangan Tuanku Mansiangan namun aktor sesungguhnya adalah Tuanku Nan Renceh. Orang yang disebut kemudian inilah yang lebih menonjol dalam menentukan arah perjalanan gerakan Kaum Padri.

Dalam suatu pertemuan dengan masyarakat di Kamang Tuanku Nan Renceh menagajak masyarakat untuk ikut mendukung gerakan pembaharuannya. Kepada masyarakat diperintahkan untuk menjalankan syari’at Islam dan sholah 5 waktu harus dijalankan. Makan sirih, merokok, minum minuman keras, dan madat diharamkan. Kepada kaum laki-laki dianjurkan untuk memakai pakaian putih dan memelihara jenggot. Memakai pakaian dari sutera dan perhiasan emas hanya dibolehkan kepada kaum perempuan. Kaum ibu juga diharuskan memakai cadar. Bagi yang bersalah atau melanggar sebuah dari aturan-aturan tersebut akan dikenakan hukuman mati dan harta bendanya dirampas. Keseriusan Tuanku Nan Renceh memberikan hukuman mati bagi yang melanggar aturan-aturan yang dibuatnya dicontohkan dengan membunuh bibinya lantaran adik kandung ibunya itu kedapatan sedang mengunyah sirih.

Peristiwa pembunuhan tersebut ternyata mengundang banyak ulama dari berbagai tempat untuk menggabungkan diri dengan Tuanku Nan Renceh. Tindakan kekerasan Tuanku Nan Renceh dianggap sebagai wujud dari keseriusan dalam menjalankan syari’at Islam. Siapapun yang bersalah harus dihukum meski itu keluarga sendiri. Dukungan terhadap Kaum Padri juga semakin luas. Pada saat inilah kaum Padari mulai berusaha merombak masyarakat Padang darat, sementara Tuanku Nan Renceh memperoleh dukungan masyarakat yang makin besar sehingga tampaklah saat yang baik bagi dia untuk melanjutkan pelaksanaan maksudnya. Desanya sendiri sudah diletakkannya di bawah kekuasaan alim ulama. Dalam hitungan hari banyak nagari-nagari yang mengakui kekuasaan Kaum Padri dan mengikuti ajaran-ajarannya. Seluruh kekuatan wilayah Agam menjadi daerah kekuasaan Padri. Kaum Paderi muncul sebagai kekuatan politik baru di pedalaman Minangkabau. Keberhasilan kaum Paderi menguasai wilayah Agam merupakan point history dimulainya penyusunan pemerintahan nagari yang bercorak agama (nagari a-la Paderi/pemerintahan a-la Paderi) dan menitikberatkan pada ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh kaum Paderi. Pada setiap nagari yang telah dikuasai oleh kaum Paderi, diangkat dua orang ulama sebagai pimpinan (kepala) dengan panggilan Tuanku Imam (Imam) dan Tuanku Qadhi (Qadhi). Bila dihubungkan dengan berbagai teori politik maupun teori sosiologi, terlihat secara gamblang bahwa pemegang otoritas agama, pada umumnya tidak bisa melepaskan diri mereka dengan politik.

Dalam kasus gerakan Paderi, keterpinggiran pengaruh dalam realitas sosial membuat kalangan agamawan merasa tidak bisa berimprovisasi secara luas dalam realitas sosial. Maka jalan yang paling baik adalah merebut atau menciptakan sistem otoritas politik sendiri. Kasus Gerakan Wahabi di tanah Hejaz juga bisa dilihat dari perspektif ini. Walaupun, untuk kasus Paderi, kalangan elit agama ini hanya ingin mengembalikan posisi dan peran sosial mereka dalam entitas sosial masyarakat Minangkabau yang sejajar dengan elit adat. Namun dalam sistem kepemimpinan, kesejajaran dalam struktur kepemimpinan tersebut sangat sulit terwujud, pasti ada yang berada dalam posisi hegemoni. Dalam kasus kaum Paderi ini, elit agama yang selama ini terpinggirkan, ingin mengembalikan peranannya sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama, sejajar dengan kekuasaan penghulu sebagai pemegang pucuk pemerintahan nagari. Namun bila kita lihat secara teoritik, dalam sejarah pemikiran intelektual Minangkabau, pemegang otoritas agama sejak Islam sudah eksis di Minangkabau, tidak pernah lepas dari elit agama, dan tidak pernah diambil alih oleh elit adat misalnya, karena elit adat merasa tidak memiliki otoritas dan kapabilitas keilmuan. Akan tetapi reduksi pengaruh bisa terjadi. Setiap elit memiliki domain keilmuan atau otoritas sendiri, akan tetapi otoritas pengaruh bisa melintasi domain otoritas lain. Misalnya, elit adat yang memiliki otoritas dalam bidang adat dan elit agama dalam bidang agama. Itu domain mereka masing-masing.

Tapi bisa saja terjadi, elit adat tidak saja memiliki pengaruh dalam domain mereka masing-masing, namun pengaruh mereka bisa saja hingga ke domain elit lain, bahkan terkadang pengaruh mereka itu jauh lebih besar dibandingkan pemegang otoritas keilmuan dalam domain bersangkutan. Hal inilah yang terjadi sebelum gerakan Paderi muncul. Masing-masing elit memiliki domain sendiri-sendiri. Akan tetapi, dalam seluruh aspek kehidupan, justru domain elit adat jauh lebih besar. Bahkan dalam domain agama yang seharusnya pengaruh elit agama jauh lebih besar, bisa direduksi oleh elit adat. Kaum Paderi menyadari hal ini. Menguasai masyarakat bukanlah menguasai wilayah, akan tetapi yang paling penting adalah menguasai pengaruh. Peran mereka sebagai elit agama yang selama ini tereduksi oleh elit adat ingin mereka kembalikan. Dan mereka juga ingin membentuk sistem kepemimpinan a-la mereka sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka ingin mereproduksi kondisi sosial yang lama, ingin mereduksi pengaruh elit adat.

Dengan membentuk tata nilai yang termanifestasi dalam tata politik yang dibentuk a-la Paderi maka kaum Paderi akan memiliki fleksibelitas dan keleluasaan dalam menjalankan misi dan motivasi dari gerakan mereka sendiri. Dalam arti kata, tata nilai yang dibentuk atau dicita-citakan hanya akan berjalan secara efektif bila tata politik dibentuk atau direbut. Tata politik berkorelasi dengan pengaruh (minimal pengaruh legal-formal). Jadi, merubah masyarakat akan efektif dan memiliki daya pressure and endorse apabila kekuasaan (bahkan lebih efektif bila kekuasaan yang hegemonik) dipegang. Selanjutnya nilai-nilai akan dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi anutan si pemegang kekuasaan. Dalam konteks inilah, diasumsikan gerakan Paderi menyusun atau membuat pola kepemimpinan sendiri yang berbasiskan agama (Islam).

Tata nilai yang terbentuk tersebut, secara teoritis, akan didukung secara maksimal oleh pembuat dan individu yang simpati serta memiliki kepentingan dengan tata nilai tersebut. Namun, akan diterima secara minimal bahkan ditentang secara maksimal oleh kelompok yang merasa dirugikan akan kehadiran tata nilai baru tersebut. Daya tolak ini bisa saja disebabkan oleh dua hal, yaitu karena kehadiran tata nilai baru tersebut mereduksi tata nilai yang mereka miliki selama ini dan ini berkorelasi dengan eksistensi serta harga diri mereka. Kemudian kehadiran tata nilai baru itu akan ditolak apabila membuat mereka tidak bisa lagi menjalankan aktifitas sesuai dengan nilai yang selama ini mereka anut atau diperbolehkan oleh tata nilai dimana mereka hidup dan beraktifitas.

Rakyat awam yang selama ini mendapat kebebasan dalam bertindak dan beraktifitas sesuai dengan kehendak hati mereka masing-masing, karena kehadiran tata nilai baru yang berpotensi mengekang ”kondisi aman dan nyaman” yang selama ini telah mereka rasakan, tidak dapat menerima aturan-aturan yang telah ditetapkan (baca: dipaksakan) oleh kaum Paderi. Terjadi reaksi, atau dalam bahasa sosiologisnya, resistensi sosial. Dalam keadaan seperti ini, maka elit-elit adat akan menjadi tempat yang paling tepat untuk berlindung bagi rakyat awam. Dalam teori kepemimpinan politik dikatakan bahwa suatu kelompok sosial yang (merasa) dikalahkan akan berafiliasi kepada kelompok sosial yang mereka yakini juga dikalahkan, walaupun pra-kondisi sebelumnya, kelompok sosial tersebut awalnya bertentangan dengan kelompok sosial tempat mereka berafiliasi itu.

Sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam nagari dan pemimpin suku dalam kaum, tentu saja elit-elit adat tidak menginginkan kondisi yang demikian tersebut. Ditambah lagi dengan kehadiran tata kepemimpinan (Imam dan Qadhi) yang diperkenalkan oleh kaum Paderi tentu elit-elit adat merasa akan tereduksi pengaruh mereka yang selama ini dominan bahkan hegemonik. Sebagai petinggi adat yang bertugas memelihara anak kemenakan serta seluruh warga sukunya tidak akan membiarkan anak kemenakan serta seluruh warga sukunya menjadi korban kekerasan kaum Paderi. Untuk itu, para penghulu sepakat untuk mempertahankan hegemoni mereka, mempertahankan kekuasaan mereka yang telah ”direbut” oleh kaum Paderi. Akhirnya mereka mencari momentum untuk ”meledakkan” kemarahan mereka terhadap kaum Paderi.

Setelah berhasil menanamkan pengaruh mereka di daerah Agam, dan meletakkan tata pemerintahan a-la Paderi (memfungsikan secara maksimal peran Imam dan Qadhi), maka usaha kaum Paderi berikutnya adalah mengikis habis feodalisme yang dipersonifikasikan pada pengaruh Kerajaan Pagaruyung yang mereka anggap memiliki potensi besar dalam menghalangi pembaharuan Islam yang mereka lakukan. Penyerangan-penyerangan terhadap beberapa nagari-pun mulai dilakukan. Pendekatan anarkis-radikal-destruktif dianggap pola terbaik dan efektif yang harus dilakukan. Maka banyak kalangan adat yang menyerahkan diri atau melarikan diri ke daerah-daerah lain. Bahkan Tuanku Nan Tuo, ”sang guru ideologis” yang selama ini cenderung persuasif, tidak luput dari penyerangan ”murid-murid ideologisnya”. Surau tempat ia mengajar dibakar. Balairung-balairung adat pun banyak yang menjadi puing-puing. Dibakar oleh kaum Paderi. Dalam setiap penalukkan, kaum Paderi otomatis meletakkan dasar kepemimpinan a-la mereka, disamping tentunya pendekatan Islam yang primordial kepada masyarakat.

Beberapa pimpinan kaum Paderi, seperti Haji Sumanik juga bergerak radikal di wilayahnya, Tanah Datar. Akan tetapi, di daerah pusat kerajaan Minangkabau ini, Haji Sumanik tidak mendapat hasil yang maksimal, bahkan bisa dikatakan gagal. Hal ini dikarenakan, kalangan adat (dalam hal ini penghulu) bersatu menghambat pengaruh yang disebarkan Haji Sumanik. Di daerah kultural Minangkabau ini, penghulu yang primus interpares tersebut, masih memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan kaum Paderi menanamkan pengaruh mereka di daerah-daerah Agam, telah menyadarkan kaum adat di Tanah Datar bahwa kaum Paderi pada prinsipnya berambisi untuk merebut kekuasaan dari penghulu. Karena kondisi sosial yang berbeda dengan daerah-daerah di Agam, maka akhirnya Haji Sumanik terpaksa hijrah ke daerah Lintau.

image

Sementara itu, di daerah-daerah lain seperti di Lintau, Tuanku Pasaman mampu mensosialisasikan misi gerakan Paderi kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat cukup baik, karena fokus Tuanku Pasaman hanya kepada perbaikan moralitas masyarakat dan pola sosialisasinya lebih persuasif, bukan radikal-destruktif sebagaimana yang terjadi di daerah Agam. Atas inisiatif beliau pulalah akhirnya pada tahun 1815, diadakan perundingan antara kaum Paderi dengan keluarga dan pembesar-pembesar kerajaan Minangkabau. Dalam perundingan tersebut, terjadi perbedaan pendapat yang pada akhirnya terjadi perkelahian antara keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau dengan tokoh-tokoh Paderi. Seluruh keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau tewas, kecuali raja beserta cucunya yang dapat meloloskan diri ke Kuantan di Lubuk jambi. Peristiwa ini mengakhiri kekuasaan raja alam Minangkabau. Sentral politik-kultural Minangkabau diruntuhkan oleh kaum Paderi. Nagari-nagari lain secara berangsur-angsur banyak yang menyerahkan diri. Beberapa penghulu yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi, banyak yang lari ke Batipuh, sebuah nagari yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi. Meskipun kaum Paderi berhasil menyingkirkan kekuasaan Minangkabau, mereka tidak segera mengambil alih sentral kekuasaan kultural tersebut. Tampak disini, keinginan kaum Paderi pada prinsipnya adalah ingin menaikkan daya tawar politik mereka di tengah-tengah masyarakat dan tidak murni meraih kekuasaan an-sich.

Praktis di Minangkabau pada waktu ini, otoritas hegemonik berada di tangan elit agama (baca: kaum Paderi). Elit adat yang selama ini merasa bahwa otoritas sosial berada di tangan mereka, merasa tidak senang dengan kondisi ini. Apalagi setelah kejatuhan kerajaan alam Minangkabau, sebuah institusi supra yang secara kultural melindungi eksistensi mereka. Akhirnya, ”matahari” lain dari kalangan out-group mereka datangkan, kolonial Belanda. Mereka meminta bantuan kepada Belanda untuk memulihkan kembali kekuasaan mereka yang dirampas oleh Paderi. Permintaan tersebut langsung diterima oleh De Puy dan kemudian melanjutkan atau merekomendasikannya ke Batavia. Permintaan pertama ditolak karena mengingat jumlah kekuatan militer Belanda di Minangkabau tidak begitu besar. Kemudian, pada tahun 1821, dibuatlah perjanjian antara kaum adat dengan Belanda. Dari pihak Belanda ditandatangani oleh De Puy, sementara di pihak adat ditandatangani oleh Sutan Bagagarsyah, Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam serta berbagai penghulu dari berbagai daerah di Luhak Tanah Datar.

Permohonan bantuan ini nampaknya dilakukan secara total. Hal ini terlihat dari siapa-siapa saja yang ikut dalam rombongan penandatangan perjanjian tersebut. Menurut data sejarah, rombongan secara keseluruhan berjumlah 20 orang yang mengatasnamakan 103 penghulu di Luhak Tanah Datar, diluar keluarga dan kerabat kerajaan Alam Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu baru saja menerima sebagian kecil wilayah pantai barat Sumatera dari pemerintah sementara Inggris dengan segera menyetujui permintaan bantuan tersebut. Apalagi rombongan tersebut menjanjikan imbalan kepada Belanda. Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian 10 Februari 1821 tersebut kemudian dikukuhkan. Beberapa point-point penting dari perjanjian tersebut antara lain : (1). Kepala-kepala pemerintahan (penghulu) dari kerajaan Minangkabau, secara formal dan mutlak menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso begitu juga daerah-daerah sekeliling Kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda. (2). Penghulu-penghulu tersebut berjanji untuk patuh dan tidak menentang perintah apapun dari Belanda. (3). Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah diserahkan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari kaum Paderi, untuk menghancurkan kaum Paderi dan menciptakan perdamaian di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam. (4). Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara sebaik-baiknya. (5). Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu dengan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam perjanjian.

Selanjutnya, kaum Paderi berhadapan vis a vis melawan Belanda. Perang Paderi pun mulai dicatat dalam sejarah. Gerakan ini kemudian pada tahun 1838 dikalahkan oleh Belanda. Sementara itu, tujuan penghulu meminta bantuan kepada Belanda agar posisi mereka sebagai elit adat dan mengembalikan pengaruh mereka kembali yang telah diambil oleh elit agama, justru kontraproduktif akibat Perjanjian yang telah mereka tanda tangani dengan Belanda. Mereka menjadi ”lebur” dalam mesin kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan semakin aktif dalam menyukseskan eksploitasi ekonomi Belanda. Akibatnya, kekalahan Paderi tidak serta merta menghilangkan pengaruh mereka. Justru yang terjadi adalah kemenangan elit adat membuat mereka tercatat dalam sejarah sebagai ”penjilat” dan merendahkan martabat orang Minangkabau. Politik balas dendam elit adat terhadap bekas pengikut kaum Paderi justru membuat banyak kalangan masyarakat Minangkabau merasa muak dengan tingkah polah mereka, apalagi pemerintah Belanda tidak berupaya menjauhkan diri dari elit agama, bahkan mereka berusaha untuk selalu mendekatinya.

disari dari tulisan Rusydi Ramli & Muhammad Ilham (Khazanah Ulama Minangkabau)

(bersambung …3)

Nonton TV

Halaman