Kamis, 01 Agustus 2013

Raja Biak - Biak

Raja Biak-biak, dengan nama raja Gumelenggeleng. Seorang yang cacat yang tidak punya tangan, kaki sehingga dia tidak bisa duduk. Dia berkecil hati di dalam hatinya karena adik-adiknya tidak cacat.
Kabarnya: Pertama kali datang MULAJADI NABOLON, naik ke Sianjur Mulamula terus ke Guru Tateabulan mengetuk hati dan memina anaknya Sariburaja oli di potong.” Terserah Ompung! ” jawab Guru Tateabulan. Mendengar itu, Raja Biak-biak berkata kepada ibunya : ” O, ibu! Kudengar bapak mengijinkan di bunuh Ompunta MULAJADI NABOLON si Sariburaja, dalam hatiku, akulah yang mau di bunuh, apalah aku di bandingkan Sariburaja yang tidak cacat itu?, kalau boleh permintaanku suruhlah bapak menyembunyikan aku, biarpun kelahiranku begini akulah anak yang paling besar.
Mendengar perkataan Raja Biak-biak ibunya menyuruh Guru Tateabulan menyembunyikan Raja Biak-biak ke Bukit Pusukbuhit. Setelah MULAJADI NABOLON naik ke atas, diminta Sariburaja di bunuhnya. Lalu di berikan ibunya.
Kata MULAJADI NABOLON : ” Pegang kakinya!”.
Jadi dipeganglah kakinya. Setelah itu di potong lalu di cincang.Sudah di sediakan api sebelumnya. Setelah selesai di cincang lalu di masak di atas api.
Setelah asap datang, berserulah MULAJADI NABOLON katanya : ” Yang mau menjadi Sariburaja keluarlah dari situ.
Lalu terangkatlah sariburaja dari sana kemudian duduk. Dia seperti Garaga, seperti garugu yang satu menjadi tujuh puluh.
Mengikuti kata orang, yang tinggal disana beraneka ragam binatang piaraan.
Ketika MULAJADI NABOLON kembali keatas dari Bukit Pusukbuhit ia naik. Lalu bertemulah dengan Raja Biak-biak : ” Siapa membawa kamu kesini “, kata MULAJADI NABOLON.” Kalau di lihat Ompung, aku ketakutan, takut di ketakutanku!, tadi kudengar kau ancam ompung membunuh Sariburaja, maunya akulah kau bunuh karena aku cacat. Aku memohon kepada ibu supaya bapak mengantarkan aku kesini. Akulah anak yang sulung ibu.
“Jadi maksudmu semua keturunan adikmu dan kakakmu bersembah sujud kepadamu”, kata MULAJADI NABOLON. “Tentu, karena aku paling besar, akulah yang pantas raja mereka”, kata Raja Biak-biak.
“kalau begitu, bagaimana, maukah kau ku ubah?”
“Ya, aku mau, kalau keturunan adik ku dan kakak ku mau bersembah kepada ku” kata Raja Biak-biak.
Jadi di berkati MULAJADI NABOLONlah Raja Biak-biak di Bukit Pusukbuhit itu. Jadi, dia punya kaki, tangan tetapi moncongnya seperti moncong babi.Sebagian berkata, dia punya sayap makanya di sebut namanya Tuan Rajauti, raja yang takkan pernah mati, raja yang takkan pernah tua.
Dari Bukit Pusukbuhit itu, diterbangkan MULAJADI NABOLONlah ia ke ujung Aceh.

RAJA BIAK-BIAK
 
Ia Raja Biak-biak, margoar di huhut Raja Gummelenggeleng na songaongumul do ibana ndang martangan, ndang marpa jala so boi hundul. Ibana do na lumea di bagasan ohana, ala so martihas angka anggina.Mangihuthon baritana : Ro do sahali Mulajadi Nabolon, tuat tu Sianjur Mulamula sorang tu Guru Tateabulan mangunjuni rohana, ai dipangido ma anakna Sariburaja seatonna.” Ba saguru di ho do Ompung!” ninna Guru Tateabulan mangalusi. Umbege I, didok Raja Biak-biak ma tu inana : “O inang! Hubege dioloi amanta nangkining seaton ni ompunta Mulajadi Nabolon si Sariburaja, ianggo di rohangku, ahu do na naeng seatonna, ai aha ma ahu martimbangkon Sariburaja na so martihas I?. Asa ianggo siat pangidoanku suru ma damang manabunihon ahu, ai atik pe songon on partubungku ahu do sipultak bajubajumu!”.Umbege hata ni Raja Biak-biak inana I, disuru Guru Tateabulan manabunihon Raja Biak-biak tu Dolok Pusukbuhit.Dung nangkok Mulajadi Nabolon tu bagas, dipangido ma Sariburaja seatonna. Jadi di lehon inana i ma. Didok Mulajadi nabolon ma : ” Tiop ma patna i!”, jadi di tiop ma tutu. Dung i diseat ma jala ditanggoi.Nungan di hodohon hian pangalompaanna. Ia dung sidung di anggoi dipambahen ma tu pangalompaanna i asa pamasahonna.Dung ro di pangalompaanna i, manggora ma Mulajadi nabolon didok ma :” Na olo gabe Sariburaja, ruar ma ho sian i!”, jadi mangangkat ma tutu Sariburaja sian i, laos hundul ma ibana tu halangulu. Nungan songon Garaga ibana, songon Garugu, na sada songon na pitupulu.Mangihuthon pandok ni na deba, sian angka na tinggal i laos manjadi ma ragam ni pahanpahanan.Ia di tingki na laho mulak Mulajadi nabolon tu banua ginjang, sian dolok Pusukbuhit do ibana manaek. Jadi jumpangsa ma disi Raja Biak-biak : ” Ise na mamboan ho tuson?”, ninna Mulajadi nabolon manungkun ibana.” Ianggo i da ompung, na mabiar do ahu di biarhu, matahut di tahuthu!. Hubege nangkining diondam ho da Ompung seaton Sariburaja, anggo di rohangku ahu do na naeng seatonmu, ala na martihas i ahu. Gabe hupangido tu dainang asa disuru damang manaruhon ahu tson. Ai ahu do sipultak bajubaju ni dainang.” Ba naeng marsomba tu ho di roham angka pinompar ni anggimi dohot ibotom?”, ninna Mulajadi nabolon.” Naeng ma tutu, ai ahu do sihahaan, ahu do na patut raja nasida!”, ninna Raja Biak-biak.” Antong molo songon i, beha, olo do ho tumpaonku?”.” Ba olo do ahu, asal ma marsomba tu ahu angka pinompar ni anggingku dohot ibotongku!”, ninna raja Biak-biak.Jadi di tumpa Mulajadi Nabolon ma Raja Biak-biak di dolok Pusukuhit i. Gabe, marpat, martangan, alai songon munsung babi (santabi) do munsung na.Mangihuthon pandok ni na deba marhabong do ibana. Di bahen ma goarna Tuan rajauti, raja na so ra mate, raja na so ra matua. Sian punsu ni dolok Pusukbuhit I, dipahabang Mulajadi Nabolon ma ibana tu ujung Aceh.

Legenda Batu Gantung-Parapat

Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau.
Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.
Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.
Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
 
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.

“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.

“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.

“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.

“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”

“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.

“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.

“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.

“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.

“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.

“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”

“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.

“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.

“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.

“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.

“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.

“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara:

“Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.
Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia

Keladi Tikus


keladitikus 
Beberapa tahun yang lalu beredar kabar heboh di dunia maya. Diberitakan seorang pasien penderita kanker payudara stadium lanjut dapat melewati kemoterapi tanpa efek yang menyiksanya dan dinyatakan sembuh setelah mengkonsumsi keladi tikus (typhonium flagelliforme)
Keladi tikus sebelumnya memang belum setenar herba lainnya seperi sambiloto, temu putih, temu lawak, dan mengkudu. Nama keladi tikus diambil dari nama asing Rodent Tuber (laoshu yu) yang lebih dulu terkenal di Malaysia.
keladi-tikus

Mahkota bunganya berbentuk panjang kecil berwarna putih mirip dengan ekor tikus, dari sinilah nama keladi-tikus diberikan. Hingga saat ini belum banyak peneliti yang mengungkap khasiat keladi-tikus terutama untuk penyakit kanker. Prof Dr Chris K.H. Teo, Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia meneliti tanaman ini, hasilnya ekstrak dari akar keladi-tikus efektif untuk kanker prostat. Selain itu Lam Siew Hong peneliti dari USM menyebutkan bahwa terjadi peningkatkan aktivitas antibakteri dalam darah ikan lele.
Keladi tikus mengandung antineoplastik atau antikanker selain juga bisa berkhasiat sebagai antivirus. Efek farmakologi inilah yang menjadi obat utama untuk mengatasi kanker stadium lanjut. Bagian yang digunakan untuk pengobatan adalah keseluruhan dari tanaman tersebut. Mulai dari akar (umbi), batang, daun hingga bunga. Tentu saja, efek tersebut akan bertambah baik bila diberikan bersama-sama dengan tanaman lainnya, seperti sambiloto, rumput mutiara dan temu putih.
 keladitikus
Ekstrak typhonium flageffiforme clan bahan alami lainnya membantu detoxifikasi jaringan darah. Ramuan ini mengandung ribosome inacting protein (RIP), zat antioksidan dan zat antikurkumin. RIP berfungsi menonaktifkan perkembangan sel kanker, merontokkan sel kanker tanpa merusak jaringan sekitarnya dan memblokir pertumbuhan sel kanker. Zat antioksidan berfungsi mencegah terjadinya kerusakan gen.
 keladi-tikus-detail
Sementara zat antikurkumin berfungsi sebagai antiinflamasi/antiperadangan. Kombinasi bahan alami ini mengaktivasi dengan memproduksi mediator yang menstimulasi untuk menguatkan sel dari sistem kekebalan tubuh untuk bersamasama memberantas sel kanker. Di Cina tanaman ini di teliti oleh Zhong Z, Zhou G, Chen X, dan Huang P dari Guangxi Institute of Traditional Medical and Pharmaceutical Sciences, Nanning. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui efek farmakologis dari typhonium flagelliforme. Diketahui bahwa ekstrak air dan alkohol dari typhonium flagelliforme mempunyai efek mencegah batuk, menghilangkan dahak, antiasmatik, analgesik, antiinflamasi, dan bersifat sedatif. Pada konsentrasi 720 g/kg ekstrak air, 900 g/kg ekstrak alkohol dan 3240 g/kg ekstrak ester tanaman ini dapat meracuni tubuh. MenurutAngela Riwu Kaho PhD, Ahli Kimia Natural peniliti zat anti tumor dari Ohio State University, ekstrak typhonium flagelliforme memang mengandung zat anti kanker namun konsentrasinya lemah. Mengenai hasil penelitiannya pernah di publikasikan dalam jurnal Phytotheraphy Research pada bulan Mei 2001. Namun demikian ia juga tidak memungkiri ada pasien yang sembuh dengan mengonsumsi ramuan ini.
article: Keladi Tikus (Typhonium Flagelliforme)

Selasa, 30 Juli 2013

Legenda Danau Si Losung Dan Si Pinggan

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.

 

Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan
Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau.
Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.

Legenda Tentang Danau Si Losung Dan Si Pinggan
Legenda Tentang Danau Si Losung Dan Si Pinggan


Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk keperluan apa, Dik?”
“Aku ingin berburu babi hutan.”
“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.
Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.”
Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.
“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.
Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:
“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.
Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.
Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
Diambil dari beberapa sumber di internet.

Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak

Picture: 'Bukku lak-lak'

Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang  tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri,  Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris  Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.


Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.

Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. 

Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.

Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON  NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.    
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.  Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.

Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.

Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.

 
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba,  Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan.

Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali.  Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan,  ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu.

Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.

Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.

Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya.

Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Nonton TV

Halaman