Rabu, 31 Oktober 2012

Kisah Simamora (Bagian Kedua)



Bulan Menjadi Dua
Di perbatasan Silindung dengan Pahae, tinggallah seorang pemilik kebun yang kaya raya. Dia dipanggil Nalobian. Menurut pengakuannya, dialah yang paling kaya di daerah tersebut. Selain kaya, Nalobian juga mengklaim dirinya paling pintar, paling tampan, paling segalanya. Paling ditakuti dan paling berpengaruh di Desa Pahae.
Na lobian, dalam bahasa setempat berarti “yang berlebih” adalah gelar yang sangat dibanggakannya. Banyak penduduk desa dan pemuda rantau yang bekerja di kebunnya.Adayang menggarap tanahnya dengan system bagi hasil, banyak pula yang bekerja sebagai buruh upahan.  Orang –orang desa sebenarnya tidak senang melihatnya. Tapi tidak ada yang berani menentangnya.

Adalah sebuah kebiasaan buruk yang sudah berlaku lama di desa itu. Apabila Nalobian sedang minum di warung manapun, tidak ada yang berani memesan apapun. Dan tukang warung pun tidak berani melayani mereka. Mereka harus menunggu Nalobian selesai. Selama Nalobian masih berada di warung, biasanya tidak seorangpun yang berani mengangkat bicara. Mereka hanya boleh mendengar Nalobian membual tentang kelebihannya.  Setelah ia pergi barulah orang – orang memesan dan suasana warung boleh ramai, bebas dan santai.
Pada suatu sore, Simamora singgah di warung dimana Nalobian sedang minum kopi. Ketika itu banyak orang desa yang duduk di bangku – bangku panjang dengan sikap tegang.  Mereka mendengar Nalobian membual tanpa berani member tanggapan. Hanya terlihat beberapa orang yang sesekali mengangguk – angguk. Itupun bukan berarti mereka memahami atau mengamini ucapannya. Anggukan mereka hanya gerakan kepala biasa tanpa makna.
Meja disamping mereka kosong. Simamora langsung bergabung dengan mereka setelah menambatkan kudanya di salah satu pohon di samping warung dan meletakkan bakulnya agak di bagian dalam warung. Sore itu cuaca panas. Simamora merasa haus setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Sebelum duduk ia memesan minumannya,
“Kopi satu !”
Pelayan warung tidak bereaksi. Hanya terlihat kikuk mendengar suara Simamora.
“Kopi!” Simamora mengulangi pesanannya dengan suara yang lebih keras dan lebih tegas.
“Oh… ia Kata pelayan warung itu tanpa bergeming dari tempat duduknya.
“Pelayanannya kok lambat benar…” gerutu Simamora.
“Bukan lambat, anda saja yang tidak mengerti.” Bisik pelayan tersebut sembari meletakkan kopi pesanan Simamora di mejanya.
“Maksudmu?” Tanya Simamora yang kebingungan.
“Apa anda tidak melihat Nalobian sedang minum?” Tanya penjaga warung sambil megarahkan pandangannya kepada orang yang dimaksud.
“Apa hubungannya?” simamora kembali bertanya.
“Disini tidak ada yang berani minum selama Tuan Nalobian belum selesai.” Jawab seseorang dari kumpulan yang sedang minum itu.
Mendengar itu, Simamora merasa jengkel juga. Ingin rasanya memberi pelajaran kepada orang yang dipanggil Nalobian itu. Nalobian sendiri dengan sengaja memperlambat menghabiskan minumannya. Setelah meneguk sedikit kopinya, ia kemudian meletakkannya lalu merentangkan kedua tangannya. Nalobian bersantai.
“Kenapa mesti begitu?” Simamora bertanya lagi.
Pelayan warung lalu menjelaskan, “Siang harikanhanya ada satu matahari.”
“Terus…?” Tanya Simamora
“Malam hari juga hanya ada satu bulan. Dan disini juga hanya ada satu Nalobian….”
Sebelum pelayan selesai bicara, Simamora langsung memotongnya.
“Pantas…Ternyata desa ini orang – orangnya masih kolot.”sela Simamora sambil meluruskan kakinya setengah bersandar.
“Apa Maksudmu ?” Nalobian yang dari tadi hanya diam sekarang angkat bicara.
“Maksudku orang – orang disini masih sulit maju karena belum pernah melihat bulan ada dua” Sahut Simamora.
“Bulan ada dua?”
“Iya…”
“Sekaligus ?”
Ya… Bulan ada dua sekaligus.” Simamora mempertegasnya. Mendengar itu, Nalobian merasa tertantang.i desa ini belum pernah ada yang lebih pintar dari dirinya. dia merasa dipermalukan di depan warganya sendiri.
“Orang desa ini yang kolot, Apa kau yang bodoh?” Tanya Nalobian dengan suara lantang.
“Aku sanggup membuktikan apa yang aku katakana.” Sahut Simamora datar.
“Berani taruhan?”
“Aku tidak punya barang berharga untuk dipertaruhkan.”
“Baik, Begini saja.” Kata Nalobian penuh nafsu. “Kalau kau tidak sanggup memperlihatkan dua bulan sekaligus, kuda dan semua barangmu aku ambil. Dan kaupun akan menjadi budakku. Selamanya !” tawar Nalobian.
“Kalau aku sanggup? Bagaimana?” Tanya Simamora.
“Semua hartaku menjadi milikmu.” Sahut Nalobian.
Mendengar itu semua orang yang berada di warung terperanjat. Mereka sepertinya tidak percaya apa yang mereka dengar. Masing – masing membetulkan cara duduknya sambil memasang telinga.
“Baik. Malam ini akan aku buktikan.” Janji Simamora.
Dengan muka merah padam dan wajah penuh dendam Nalobian meninggalkan warung tersebut sambil berpesan agar warga dating sebagai saksi.
“Pasti !” Teriak mereka serentak.
*   *   *
Malam itu bulan berada di atas kepala. Orang – orang sudah berkumpul di sekitar warung. Jumlahnya jauh lebih banyak dari pagi tadi. Mereka ingin menyaksikan pertarungan dua orang pintar dengan pertaruhan yang cukup menakjubkan. Apalagi yang bertaruh pada malam itu adalah Nalobian yang mereka kenal memiliki banyak harta berlebih namun pelit dan angkuh. (Ya ialah, masa ada orang kaya minum kopi di warung?)  Hampir seluruh warga mendengar bahwa Nalobian mempertaruhkan seluruh hartanya. Sebagian orang merasa pesimis Simamora bisa memenangkan pertaruhan ini karena mereka tidak pernah melihat bulan muncul dua buah sekaligus.
“Apa menurutmu Simamora itu bisa membuktikan kata – katanya?” Tanya seseorang diantara kerumunan kepada seorang lain.
“Ya, berharap saja besok kita tidak kolot lagi…” Jawabnya setengah meledek.
Setelah Nalobian tiba di warung tersebut, para warga langsung meminta Simamora membuktikan kata – katanya. Bahwa bulan terbit dua buah sekaligus.
Dengan tenang Simamora mengeluarkan sebuah ember besar yang ditutupinya dengan pohon pisang. Dia meletakkan ember tersebut diatas meja yang terletak di luar warung. Para warga yang hadir mengerumuni meja tersebut. Simamora dan Nalobian berdiri berhadapan di kedua sisi meja. Orang – orang semakin mendekat tetapi tidak  seorangpun yang berkomentar. Mereka menunggu siapa diantara mereka yang akan menanggung malu. Tanpa ekspresi yang berarti Simamora menunjuk bulan di langit dengan satu jari. Dengan spontan orang – orang yang hadir di sana berteriak;
“Satu !”
“Iya,” Sahut Nalobian geram. Setelah membuka daun pisang, Simamora menunukkan ke arah ember dengan dua jari. Nalobian kaget ! Dia mundur selangkah, Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Selang beberapa detik ia mendengar warga berteriak, “Dua !!!”
Serentak seluruh warga yang hadir bertepuk tangan menyambut kemenangan Simamora. Melihat kenyataan itu, Nalobian tertunduk lemas di kursinya. Dia hampir pingsan.
“Sita … ! Sita … !” Teriak sebagian warga. Mereka meluapkan kedongkolan yang selama ini terpendam di hati mereka. Inilah saat yang tepat untuk menghapus kesombongan Nalobian dari desa itu.
Simamora mengangkat kedua tangannya menentramkan massa yang berjubel itu.
“Aku tidak punya bakat menjadi orang kaya. Biarlah ia mengurus sebagian hartanya. Akan tetapi hak atas tanah, hutan kemenyan harus dilepas. Menjadi milik umum. Tanah yang disewakan diserahkan kepada orang yang menggarapnya. Dan yang terpenting,” Tambah Simamora.  “Hak untuk dilayani sendiri di warung harus dihapuskan !”
“Setuju ! Setuju ! Setuju !” Warga berteriak kegirangan menyambut keputusan Simamora.
Dan sejak itu warga desa mempunyai hak yang sama atas tanah, kebun, hutan dan lain – lain. Suasana di warung pun sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang mereka bebas memesan minuman dan bebas berbicara tanpa ada yang harus ditakuti. Sedangkan untuk Nalobian ? Hmmm……. Anda sendirilah yang tebak.
Dikutip dari : Roha 3 – Kisah Simamora Karya B.H Situmorang

Kisah Simamora (Bagian 1)

Kisah Simamora adalah kisah yang sangat menarik dan mendidik. Banyak cerita dari Simamora yang diketahui oleh masyarakat. Mungkin sebagian dari pembaca pernah mendengar istilah “Simamora Na oto” atau Simamora yang bodoh. Artikel ini tidak bermaksud menghina atau melecehkan marga tersebut, Sayangnya banyak versi yang beredar di masyarakat yang terkadang malah berbau negatif.
Artikel kali ini mencoba mengupas salah satu cerita mengenai Simamora yang menjadi asal usul istilah “Simamora Na oto” yang sering dilekatkan pada marga tersebut. Bagaimana sebenarnya hal ini bisa terjadi? Berikut ini, Kisah Simamora Bagian Pertama.

***
Simamora menikahi seorang gadis bernama “Tuanlaen”. Dia adalah istri pertama Simamora, namun sayang, keluarga ini tidak memiiki keturunan karena Tuanlaen mandul. Namun demikian, hubungan diantaranya tetap akur. Simamora tidak pernah menuntut banyak dari istrinya. Sedangkan istrinya, Tuanlaen sering merasa sedih karena tidak bisa memberikan keturunan kepada Simamora. Sebagai orang batak yang menganut system kekerabatan Patriliniar, maka kehadiran seorang putra sangatlah diharapkan untuk dapat meneruskan marga pihak laki-laki, karena itu Tuanlaen sering menyesali dirinya yang tidak berguna dan disebutnya sebagai “lapung”.
Beberapa kali , Tuanlaen sering meminta agar Simamora menikah lagi. Namun Simamora tidak pernah tertarik untuk menikah lagi.
“Terima saja. Anggaplah ini sebagai nasib kita.” Jawab Simamora setiap kali Tuanlaen mengajukan sarannya.
“Tapi kalau kau menikah lagi, nasibmu akan berubah.”
“Siapa yang bisa menjamin?”
Mendengar itu, Tuanlaen menjadi senang dan merasa bersyukur telah mendapatkan suami yang setia.
Setelah adik laki-lakinya meninggal, Simamora mengambil usul untuk merawat keempat anak adiknya. Dengan cara menikahi adik iparnya. Cara ini dikenal dengan ganti tikar sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap saudara. Mereka lalu tinggaL di daerah Tipang, Bakkara.
Awalnya kehidupan mereka berjalan baik. Tuanlaen merawat keempat anak nya seperti anak sendiri, sedangkan istri baru Simamora merasa senang karena telah terbantu. Simamora pun tidak pernah pilih kasih kepada kedua istrinya.
Namun setelah anak-anak ini besar, situasi memburuk. Keempat anaknya lebih menyayangi ibu kandungnya. Keadaan membuat hubungan kedua istri ini memburuk, bahkan semakin lama keduanya semakin sulit berkomunikasi.
SIMAMORA DAN PEDAGANG GARAM.
Simamora adalah pedagang garam. Ia sering bepergian untuk waktu yang lama meninggalkan keluarganya untuk berdagang garam. Garam -  garam ini diambilnya pesisir barat Sumatera untuk dijualnya ke beberapa  pasar yang dilaluinya seperti Pahae, Sipirok, Silindung, Doloksanggul dan jika dagangan masih tersisa, ia akan menjualnya di Bakkara di pinggir Danau Toba. Bakul tempat garamnya diletakkan di atas kuda beban yang menjadi tunggangannya.
Simamora adalah orang yang ramah, dan jujur dalam berdagang. Banyak dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa senang berdagang  kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah. Hujan menjadi masalah yang paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan menjadi bebal dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun tidaklah cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga kurang aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua orang yang sama – sama berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin kompak dengan keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri merasa beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain. Terkadang jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk menyebrangi sungai, mereka harus menarik kuda beban karena kuda tidak mau menyebrangi sungai. Terkadang kuda ini sangat bebal sehingga harus ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat pelanggan lebih banyak dari kedua rekannya, karena Simamora dianggap orangnya  lebih jujur dan jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini mengundang kecemburuan bagi kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena tidak mendapat pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan simamora habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua rekannya terpaksa menginap di warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar Doloksanggul karena hujan sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari. Pemiliknya tinggal di kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul garam diturunkan dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung yang dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari kesempatan untuk mencelakai Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk memberinya pelajaran. Mereka berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam Simamora selagi dia tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi. Berkuranglah saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu menyarankan agar sebaiknya mereka bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan seorang lagi jaga. Demikian lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya, garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat. “Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya. Tidak sampai dua menit ia sudah kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan juga?” Usul mereka berdua karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh disembunyikan mengingat waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan lelapnya. Seperti tidak ada yang sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua rekannya yang tidak sabar menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu disembunyikan di dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan membawa kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun. Ingin rasanya cepat – cepat menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk menunjukkan kalau mereka berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun. Setelah simamora bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing menikmatinya tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi. “Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka langsung bergegas. Mereka memulainya dengan menyisir dapur, sekitar rumah, hingga kebun. Dapur penuh dengan barang – barang yang ditumpuk begitu saja. Ternyata tidak ada. Di kebun, sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak ada. Mereka kembali ke dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?” Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu pembatas kampung. Tetapi tetap saja tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah juga tidak lepas dari penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup jauh keluar dari desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora memeriksa. Tetapi rekannya belum kembali juga. Hanya ada tukang warung yang baru sampai dan sedang menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa heran melihat banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat menanyakan tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang berantakan, si pemilik warung tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu menjerangkan air karena pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum kopi.  Tukang warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh siapa. Dan entah untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang hilang. Untuk memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi di lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera melayani langganannya. Tanpa menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua pedagang yang kalah taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora sudah pergi bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas desus antara pengunjung. Keduanya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu saling berpandangan. Seperti akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat duduknya dan memeriksa sumur di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan dua buah bakul berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul tersebut sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” piker orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu. Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini langsung cepat menyebar. Kedua pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.

bersambung-------------------

Rabu, 29 Agustus 2012

Neil Alden Armstrong Telah Tiada

 
Neil Alden Armstrong. Barangkali hampir semua orang di kolong langit ini pernah mendengar namanya khususnya bila dikaitkan dengan era perlombaan antariksa yang dipuncaki keberhasilan pendaratan manusia di Bulan. Pria bertampang kalem, tenang dengan sorot mata penuh selidik dan kalkulatif ini adalah orang pertama yang menapakkan kakinya di Bulan. Peristiwa bersejarah yang berlangsung pada 21 Juli 1969 pukul 09:56 WIB menempatkan kita semua memasuki sebuah era baru, dimana manusia tak lagi sekedar melihat mengamati Bulan dari kejauhan dan tak lagi hanya mengeksplorasi sebentuk planet berukuran sedang bernama Bumi saja.
Bersama dengan Edwin E. Aldrin Jr dan Michael Collins, pria kelahiran Wapakoneta, Ohio (AS) ini menjadi astronot misi antariksa Apollo 11 dan dibebani tugas khusus yang belum pernah terjadi dalam penerbangan-penerbangan antariksa sebelumnya, yakni mendarat di Bulan. Mereka dikukuhkan sebagai kru Apollo 11 sejak 23 Desember 1968 melalui keputusan Deke Slayton, pimpinan korps astronot AS, setelah melalui perdebatan hangat dan penelusuran ketat. Slayton juga menetapkan Armstrong menduduki posisi tertinggi dalam Apollo 11 yakni sebagai komandan misi, yang membawahi Aldrin (pilot modul bulan) dan Collins (pilot modul komando).
Namun siapa yang bakal melangkahkan kaki untuk pertama kali di Bulan baru bisa diputuskan pada Maret 1969 dalam pertemuan yang dihadiri Slayton, George Low, Bob Gilruth dan Chris Kraft. Armstrong terpilih sebab di antara ketiga astronot Apollo 11, ia memiliki ego paling rendah dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Posisi Armstrong sebagai komandan misi, sehingga ia bakal duduk di kursi tengah di antara tiga kursi yang tersedia dalam kabin modul komando Apollo, juga menjadi salah satu pertimbangan. Sebab dengan demikian Armstrong lebih mudah mengakses modul bulan dibanding dua rekannya. Meski demikian pertimbangan ini tidak pernah dipublikasikan hingga 2001 silam. Keputusan inilah yang menentukan posisi mantan penerbang tempur Angkatan Laut AS, yang turut berpartisipasi dalam Perang Korea namun kemudian memilih pensiun dini dan beralih menjadi pilot uji pesawat-pesawat eksperimental NASA sebelum kemudian mendaftar sebagai astronot, dalam pentas sejarah peradaban manusia.
Gambar 1.
Neil Alden Armstrong dengan wajah cerah meski tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya, usai acara jalan-jalan di Bulan yang bersejarah.
Sumber : NASA, 1969.
Maka sejarah pun bergulir. Wahana antariksa Apollo 11 pun disiapkan dengan modul komando diberi nama Columbia, mengikuti nama obyek imajiner yang dilontarkan meriam raksasa dari Florida dalam novel From Earth to Moon dari Jules Verne (1865). Mengikuti saran astronot Jim Lovell, maka modul bulan dinamakan Eagle, merujuk pada burung Bald Eagle yang menjadi lambang nasional AS. Profil burung ini pun muncul dalam emblem misi, rancangan Michael Collins, yang menggambarkan burung elang hendak mendarat di Bulan dengan Bumi nan kebiruan mengapung di latar belakang. Guna mengekspresikan bahwa pendaratan bersejarah ini bukanlah sekedar urusan AS semata, namun lebih dari itu adalah mewakili segenap manusia di dunia dengan peradabannya, maka baik Armstrong, Aldrin dan Collins sepakat tidak mencantumkan nama-namanya dalam emblem misi, sebagaimana tradisi dalam penerbangan antariksa AS.
Apollo 11 akhirnya mengangkasa dengan mulus pada 16 Juli 1969 di bawah dorongan amat kuat dari roket raksasa Saturnus 5, satu-satunya roket di Bumi yang sanggup menempatkan beban seberat 45 ton ke pintu gerbang orbit transfer Bumi-Bulan. Sejarah kemudian mencatat hampir semua tahap penerbangan berlangsung mulus sesuai yang direncanakan, sehingga modul bulan Eagle berisikan Armstrong dan Aldrin pun akhirnya mendarat dengan mulus pada 20 Juli 1969 waktu AS di Laut Ketenangan (Mare Transquilitatis), hanya 3 km dari garis ekuator Bulan. Enam jam kemudian Armstrong pun menapakkan kakinya di tanah Bulan yang halus mirip tepung sembari mengumandangkan kata-kata bersejarah itu,”That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.” Tak lama kemudian Aldrin pun menyusul. Kegembiraan pun merebak dimana-mana, tidak hanya di AS, kala penduduk dunia menyaksikan tapak demi tapak kaki Armstrong dan Aldrin di Bulan melalui siaran televisi hitam putih. Saking gembiranya, Presiden Nixon segera menelpon dan berbincang dengan Armstrong yang sedang bersiap menancapkan bendera AS. Inilah percakapan telepon dengan jarak terjauh sepanjang sejarah.
Hanya 21,5 jam Armstrong dan Aldrin berada di Bulan dan selama waktu itu hanya 2,5 jam diantaranya mereka berdua bisa berjalan-jalan di Bulan untuk melakukan tugas-tugasnya, mulai dari memasang bendera AS, memasang seismometer (pencatat gempa Bulan), memasang cermin retroreflektor (guna mengukur jarak Bumi-Bulan secara sangat teliti menggunakan sinar laser dan teleskop khusus), mengumpulkan batu dan tanah Bulan, mencatat sejumlah fenomena menarik dan berjalan kaki hingga sejauh sekitar 100 meter sembari mencermati tekstur tanah Bulan. Namun semua tahu, sejarah baru telah tercipta. Maka tatkala ketiga astronot itu kembali ke Bumi pada 24 Juli 1969, popularitas segera mengiringi. Setelah harus menjalani karantina 21 hari sesuai peraturan guna mengeliminasi kemungkinan bakteri patogen (bila ada) yang terbawa dari antariksa dan khususnya dari Bulan, ketiga astronot pada umumnya dan Armstrong pada khususnya sontak segera meminta perhatian dunia, kemanapun mereka pergi. Apalagi Presiden Nixon telah menyiapkan penyambutan besar-besaran, mencakup parade di New York, Chicago dan Los Angeles serta tur dunia ke 25 negara sahabat lainnya.
Gambar 2.
Lokasi pendaratan modul bulan Eagle di Mare Transquilitatis. Nampak sisa modul (LM), kamera (camera), cermin retroreflektor (LRRR) dan seismometer Bulan (PSEP) dengan alur-alur memanjang diantaranya yang adalah jejak-jejak kaki Armstrong dan Aldrin di Bulan. Citra diambil oleh satelit Lunar Reconaissance Orbiter pada ketinggian 24 km pada resolusi 25 cm/pixel. Jarak antara LM dan kawah besar di sebelah kanannya adalah 50 meter.
Sumber : NASA, 2012.
Nama Armstrong demikian populer pun di Indonesia, negeri yang tak pernah dikunjungi Armstrong dalam rangkaian tur dunianya seiring transisi rezim Orde Lama menuju rezim Orde Baru yang brutal dengan tumbal sedikitnya setengah juta nyawa manusia. Namun di negeri ini dan secara umum demikian halnya di kawasan Asia Tenggara, kisah tentang Armstrong berubah warna demikian rupa sehingga barangkali bakal membuat Neil Armstrong sendiri tersenyum geli jika mendengarnya. Mulai dari kisah Armstrong mendengan azan di Bulan, kisah Armstrong menjadi Muslim, kisah Armstrong melintas di atas Makkah bersama wahana antariksanya dan menjumpai medan gravitasi nol hingga kisah Armstrong menemukan telur-telur ajaib di Bulan. Di sini juga kisah kebohongan pendaratan di Bulan, yang dianggap hanyalah bagian dari politik tipu muslihat AS di masa Perang Dingin (dengan salah satu cabang perangnya adalah perlombaan antariksa), tumbuh demikian suburnya dan dipercaya banyak orang.
Dengan segala popularitasnya itulah maka tak heran jika dunia demikian terpana kala manusia dengan nama besar ini berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012 waktu AS di RS Columbus, Ohio (AS) dalam usia 82 tahun 20 hari setelah bergulat melawan komplikasi pasca operasi jantung koroner 7 Agustus 2012 lalu. Armstrong berpulang tepat 43 tahun 35 hari pasca langkah kakinya yang bersejarah di Mare Transquilitatis. Tak hanya NASA dan lembaga-lembaga keantariksaan lainnya di berbagai penjuru, para pilot dan astronot di berbagai tempat, hingga para ilmuwan dan insinyur pada umumnya, namun publik secara umum pun mengekspresikan rasa duka dan kehilangannya dengan berbagai cara. Presiden Obama bahkan menyatakan rasa dukanya dengan menyebut Armstrong sebagai “…pahlawan besar AS, bukan hanya di masa kini, namun juga di sepanjang masa.”
Sang Elang kini akhirnya benar-benar terbang untuk berpulang kepada Penciptanya. Ia telah tiada. Namun langkah kakinya masih tercetak jelas di Bulan, hatta telah berselang 43 tahun silam. Demikian pula namanya, yang bakal abadi terpatri sepanjang masa, sebagai sosok pemberani yang membuka kunci menuju era baru peradaban manusia dalam melangkahkan kaki di bagian lain tata surya kita.

Minggu, 19 Agustus 2012

Diskriminasi di Indonesia terhadap Minoritas (2)




Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telahmendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati,untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendakmendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahunpengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, JawaTengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu disebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambiltangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkatadengan lantang: "Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!" Mendengar itu jantung sayaterkesiap, lalu saya tanya: "Cina yang mana Pak Fadel???" Jawabnya: "Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!" Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orangCinan ya (Ya saya ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya:
"Pak Fadel! Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!" katanya. Mendengar itu PakFadel menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu,saya lalu bertanya pada Pak Fadel: "Pak Fadel suku bangsa apa?" Jawabannya dengansuara kurang mantap: "saya orang Arab!". Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semuakan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok[intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa), tetapi
dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapatmenggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolongminoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu jugatergolong minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jaditergolongnya "pribumi" sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang
memang kedudukan sosial politik adalah tergolong minoritas, yang "non pribumi" apa lagimenurut ia semua orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim)dan Edi Tansil. Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulantidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karenasebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memangdemikian, karena kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh
Jaksa Agung, namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo.
Bukan main! Aneh bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masihdapat terjadi dalam jaman Reformasi ini.
Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukungpolitik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politikpembauran yang bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet sayadahulu, bernama Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretarisPaguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersediamembantu paguyuban mereka.


Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa darisegala agama diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahiBakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izinmempertunjukan Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu.
Kami semua sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaankeamanan dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depansaja. Namun ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnyamerasa sudah tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah TinggiSeni Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarakLian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat "Pribumi",
yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapatsambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa.
Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, sepertiMayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog MantanRektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokohMuslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten.
Selain itu juga wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Padakesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsaTionghoa dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi inidapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis.
Menurut beliau dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina.melainkan karena merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunanCina, karena mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikankambing hitam dan dibunuh. Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di
mana mereka berdiam.
Mendengar pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak PakJenderal, namun akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia-Tionghoa, karena mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknumpejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapatdisuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya,namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikankambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnyabeberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terussurvive dalam jaman Reformati ini.Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi initelah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masareformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu harirayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telahdisahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun dilain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhiaspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwaumat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga negaraIndonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivispenghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telahmengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah pirantihukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul
Kafir.Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.
Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminologi
kafir tidak dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini tidak sehat dalam hidup bernegara. Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakatmemperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."
Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998,di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya hidup-hidup. Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei1998 di restoran Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang
diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa. Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada
permerkosaan, karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja.
Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa. Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan
bahwa Komnas HAM sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan. Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hatihati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu
diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4).
Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.
Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi
pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka
waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh mencantum nama marganya.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas,khususnya suku bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus.Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
Sumber: Prof. Dr. James Danandjaja MA.(Universitas Indonesia)






Diskriminasi di Indonesia terhadap Minoritas (1)

DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA PERLU DITANGGULANGI SEGERA

 

Pendahuluan

Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air.
Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.

Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu ditanggulangi Segera secara Tuntas

Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].

Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam
hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit]. 
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang
berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelaskelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi
terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.

Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau iskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih
tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak
termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik.
Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergrouprelation] .
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial [social problem].
Di dalam makalah ini saya akan memfokuskan diri pada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia. Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian).
Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdekasejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpin pemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai
Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama denganyang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan
Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi
Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA.Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dariORBA.
Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian
penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan danpenyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatanpenyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang samabagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh
peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama initelah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha,keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang
mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudahtukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang
Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15
Mei 1998.
Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama?
Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!".
Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka
didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifatsifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabatpejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga
dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).
Sebagai contoh saya adalah orang keturunan Tionghoa yang sampai pada masa Reformasi adalah penganut politik pembauran yang asimilasi, tetapi sejak mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik pembauran yang bersifat integrasi yang sinergis.
Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telah mendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati, untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendak mendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahun pengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, Jawa
Tengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu di sebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambil tangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkata
bersambung...................

Kamis, 02 Februari 2012

Peristiwa yang berkaitan dengan Kristen (1)

Tahun 64 Roma Terbakar



Image
Nero playing while Rome burns,
lukisan dari seniman Giulio Romano (c.1499-1546),
lukisan ini dibuat antara tahun 1536-1539.


Tanpa kekaisaran Romawi, kekristenan mustahil berkembang dengan sukses. Kekaisaran itu dapat dikatakan sebagai born waktu yang menanti pemicuan iman Kristen.
Unsur-unsur pemersatu kekaisaran itu memhantu penyebaran berita Injil: jalan raya yang dibangun orang Romawi membuat perjalanan dari situ tempat ke tempat lain lebih mudah; di seluruh kekaisaran orang-orang dapat berkomunikasi dalam bahasa Yunani; dan pasukan Romawi yang tangguh itu menjaga kedamaian. Sebagai akibat mobilitas yang meningkat, kelompok-kelompok pengrajin pun bermigrasi mencari permukiman sementara di kota-kota besar — Roma, Korintus, Athena atau Alexandria -- kemudian berlanjut ke kota-kota lainnya.

Kekristenan memasuki iklim yang terbuka secara religius. Dalam gerakan "zaman baru" itu, banyak orang mulai menganut agama-agama Timur – seperti menyembah Isis (dewi alam), Dionisus (dewa anggur), Mithras (dewa cahaya), Kibele (dewi alam), dan sebagainya. Para pemuja mencari keyakinan baru, namun beberapa agama tersebut dilarang, karena dicurigai melakukan upacara-upacara penghinaan. Keyakinan lain secara resmi diakui, seperti Yudaisme, yang dilindungi sejak zaman Julius Caesar, meskipun monoteismenya dan penyataan alkitabiahnya telah memisahkannya dari Cara pemujaan lain.

Melihat kesempatan baik ini, para pekabar Injil mulai menelusuri seantero kekaisaran. Di sinagoge (rumah ibadah) orang Yahudi, di ternpat-tempat penampungan para pengrajin, di pondok-pondok kumuh, mereka menyebarkan berita Injil dan memenangkan jiwa-jiwa baru. Tidak lama kemudian berdirilah gereja di kotakota besar, termasuk ibu kota kekaisaran.

Kota Roma, pusat kekaisaran, menarik orang-orang seperti magnet. Paulus sendiri pernah menginginkan kunjungan ke kota tersebut (Rm. 1:10-12); dan pada akhir suratnya kepada jemaat di Roma, ia sudah mengenal banyak orang Kristen di sana (Rm. 16:13-15). Mungkin ia pernah bertemu mereka dalam perjalanannya.
Ketika Paulus tiba di Roma, ia dalam keadaan dirantai. Kisah Para Rasul pada bagian penutupannya menyatakan bahwa akhirnya Paulus mendapat kelonggaran untuk menjadi tahanan rumah di sebuah rumah sewaan. Di sana ia dapat menerima tamu dan mengajar mereka.

Menurut tradisi, Petrus pun pernah bergabung dengan Gereja Roma. Meskipun kita tidak mempunyai kurun waktu yang pasti, namun kita dapat menduga bahwa dengan pimpinan kedua tokoh ini, jemaat tersebut bertumbuh kuat, termasuk para bangsawan dan prajurit serta para pengrajin dan pelayan.

Selama tiga dekade, para pejabat Romawi beranggapan bahwa kekristenan adalah cabang agama Yahudi - agama yang sah - dan tidak bermaksud membuat "sekte" baru agama Yahudi. Namun banyak orang Yahudi yang tersinggung karena kepercayaan baru ini mulai menyerangnya. Ini juga merupakan ancaman bagi Roma. Kelalaian Roma atas keadaan tersebut ditunjukkan oleh laporan sejarawan Tacitus. Dari salah satu rumah petak di Roma, ia melaporkan adanya gangguan di kalangan orang-orang Yahudi karena "chrestus". Tacitus mungkin salah dengar; orang-orang mungkin memperdebatkan tentang Christos, yang adalah Kristus.

Menjelang tahun 64 Masehi, beberapa pejabat Romawi mulai sadar bahwa kekristenan sama sekali berbeda dengan Agama Yahudi. Orang-orang Yahudi menolak orang-orang Kristen dan lebih banyak melihat kekristenan sebagai agama yang tidak sah. Jauh sebelum kebakaran kota Roma, masyarakat telah mulai memusuhi keyakinan yang masih muda ini. Meskipun sifat orang Romawi ingin menerima dewa-dewa baru, namun kekristenan tidak mau mengakui kepercayaan-kepercayaan lain. Karena kekristenan menentang politeisme kekaisaran Romawi yang telah berakar, maka kekaisaran itu pun mulai membalas.

Pada tanggal 19 Juli, kebakaran berkobar di sebuah sektor kumuh di Roma. Selama tujuh hari api yang tak kunjung padam itu memusnahkan perumahan yang padat. Sepuluh dari empat belas blok perumahan musnah, dan banyak penduduk yang tewas.

Menurut legenda, Kaisar Nero sedang bermain biola ketika Roma terbakar. Banyak orang sezamannya menduga bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Ketika kota itu dibangun kembali dengan dana dari masyarakat, Nero mengambil sebidang tanah yang cukup luas untuk membangun Istana Emasnya. Kebakaran itu merupakan jalan pintas bagi pembaruan perkotaan.

Untuk mengelakkan tuduhan atas dirinya, Kaisar itu mengkambinghitamkan orang-orang Kristen. Ia menuduh bahwa merekalah yang memicu kebakaran tersebut. Akibatnya Nero bersumpah untuk memburu dan membunuh mereka.

Gelombang pertama penganiayaan orang Romawi terhadap orang Kristen dimulai tidak lama setelah kebakaran itu dan berakhir sampai tahun kematian Nero, tahun 68. Dengan haus darah dan biadab, orang-orang Kristen disalibkan dan dibakar. Jasad-jasad mereka berjejer di jalan-jalan Roma, disediakan bagi pencahayaan obor. Orang-orang Kristen lainnya dikenakan pakaian hewan dan dimasukkan ke dalam kandang untuk dicabik-cabik anjing-anjing. Menurut cerita, Petrus dan Paulus menjadi martir akibat penyiksaan Nero. Paulus dipenggal kepalanya sedangkan Petrus disalibkan terbalik.

Penganiayaan berlangsung secara sporadis, dan tetap terlokalisasi. Seorang kaisar mungkin telah memicunya dan berlanjut selama lebih kurang sepuluh tahun. Namun, masa damai akan menyusul sampai ada seorang gubernur yang memulai penganiayaan terhadap orang Kristen di wilayahnya — tentu dengan restu dari Roma. Hal semacam ini berlangsung dua setengah abad lamanya.

Tertullianus, seorang penulis Kristen abad kedua pernah berkata, "Darah para martir adalah benih Gereja." Anehnya, setiap kali penganiayaan merebak, orang Kristen yang menjadi korban makin bertambah. Dalam suratnya yang pertama Petrus menguatkan orang-orang Kristen untuk bertahan, percaya diri akan kemenangan dan kuasa Kristus yang akan diteguhkan (1 Ptr. 5:8-11). Kata-katanya ini telah terbukti dengan pertumbuhan Gereja di tengah-tengah penekanan.


Titus Menghancurkan Yerusalem






Gessius Florus mencintai uang dan membenci orang-orang Yahudi. Sebagai wakil Roma, ia memerintah Yudea, dengan tidak memandang kepekaan mereka akan agama. Ketika pemasukan pajak menurun, ia pun mulai merampas benda-benda perak dari Bait Allah. Pada tahun 66, ketika kerusuhan menentang dia merebak, ia mengirim pasukan ke Yerusalem untuk menyalib dan membantai sejumlah orang Yahudi. Tindakan Florus ini memicu meledaknya pemberontakan yang selama ini merupakan api dalam sekam.

Pada abad sebelumnya, Roma tidak pernah menangani orang-orang Yahudi dengan baik.
Pertama, Roma telah mendukung Herodes Agung, perampas kekuasaan yang dibenci. Dengan semua bangunan unik yang indah, ia tidak dapat meraih hati rakyat.
Arkhelaus, putra dan penerus Herodes, adalah pemimpin yang keji sehingga rakyat meminta pertolongan Roma untuk menggantinya. Roma pun menolong mereka dengan mengirimkan sejumlah Gubernur secara bergilir – Pontius Pilatus, Feliks, Festus dan Florus. Tugas mereka menjaga ketenteraman di daerah yang tidak stabil itu.

Ketegangan dalam diri masing-masing orang Yahudi tidak mereda. Mereka masih terbuai kenangan masa-masa Makabe, saat mereka terbebas dari penindasan orang-orang Siria. Sekarang, jumlah mereka yang kecil ditambah kebangkitan Roma membuat mereka kembali di bawah kekuasaan orang-orang asing.

Sejak pemerintahan Herodes, denyut jantung revolusi mereka senantiasa berdetak. Orang-orang Zelot dan Farisi, masing-masing dengan caranya sendiri, menantikan perubahan. Mereka menantikan dengan semangat datangnya seorang Mesias. Ketika Yesus memperingatkan bahwa orang-orang akan berkata, "Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana!" Ia tidak main-main. Sesungguhnya, seperti itulah semangat masa itu.

Di Masada (sebuah bukit karang yang menghadap Laut Mati, tempat Herodes membangun istananya dan orang-orang Romawi mendirikan benteng), bermulalah pemberontakan orang Yahudi yang berakhir dengan pahit.

Terinspirasi kekejaman-kekejaman Florus, beberapa orang Zelot memutuskan menyerang benteng itu. Yang mengherankan, mereka menang dan membantai tentara Romawi yang berkemah di sana.

Di Yerusalem, kepala Bait Allah menyatakan pemberontakan terbuka melawan Roma dengan menghentikan persembahan harian untuk Kaisar. Tidak lama kemudian seluruh Yerusalem menjadi rusuh; pasukan Romawi diusir dan dibunuh. Yudea memberontak, kemudian Galilea. Untuk sementara waktu tampaknya orang-orang Yahudi unggul.

Cestius Gallus, Gubernur Romawi untuk daerah itu berangkat dari Siria dengan 20.000 tentara. Ia menguasai Yerusalem selama enam bulan namun gagal dan kembali. Ia meninggalkan 6.000 tentara Romawi yang tewas dan sejumlah besar persenjataan yang dipungut dan dipakai orang-orang Yahudi.

Kaisar Nero mengirim Vespasianus, seorang jenderal yang dianugerahi banyak bintang jasa, untuk meredam pemberontakan. Vespasianus pun melumpuhkan kelompok pemberontak tersebut secara bergilir. Ia memulainya di Galilea, kemudian di Transyordania, dan berikutnya di Idumea. Setelah itu, dia mengepung Yerusalem.

Akan tetapi sebelum menjatuhkan Yerusalem, Vespasianus dipanggil pulang ke Roma. Nero wafat. Pergumulan untuk mencari pengganti Nero berakhir dengan keputusan Vespasianus sebagai Kaisar. Titah kekaisaran pertamanya ialah penunjukan anaknya, Titus, untuk memimpin Perang Yahudi.

Maka Yerusalem pun menjadi sasaran empuk setelah terpisah dari daerah-daerah lain. Beberapa faksi (kelompok) dalam kota itu sendiri berebut mengatur strategi pertahanan. Ketika pengepungan sedang berlangsung, penduduk kota pun satu demi satu mati karena kelaparan dan wabah penyakit. Istri imam kepala yang biasanya menikmati kemewahan, turun ke jalan untuk memungut sisa makanan.

Sementara itu, pasukan Romawi menggelar mesin-mesin perang baru, yaitu mesin pelontar batu untuk meruntuhkan tembok-tembok yang melindungi kota. Balok pendobrak pintu gerbang merobohkan benteng pertahanan. Orangorang Yahudi berperang sepanjang hari, dan pada malam hari mereka berjuang untuk membangun kembali tembok-tembok yang runtuh.

Akhirnya, orang-orang Romawi merobohkan tembok lapisan luar, kemudian lapisan kedua
dan akhirnya yang ketiga. Namun orang-orang Yahudi masih berperang sambil merangkak menuju Bait Allah sebagai garis pertahanan terakhir.

Itulah akhir bagi para pejuang Yahudi yang gagah berani dan Bait Allah mereka. Sejarawan Yahudi, Josephus menjelaskan bahwa Titus ingin melindungi Bait Allah tersebut, tetapi prajurit-prajuritnya begitu marah terhadap musuh mereka sehingga mendorong mereka membakar Bait Allah.

Jatuhnya Yerusalem mengakhiri pemberontakan. Orang-orang Yahudi dibantai atau ditangkap serta dijual sebagai budak. Gerombolan orang Zelot yang menduduki Masada bertahan di situ selama tiga tahun. Ketika orang-orang Romawi membangun lereng pengepungan dan menyerbu benteng pegunungannya, mereka menemukan orang-orang Zelot mati bunuh diri sebagai penolakan menjadi tawanan orang asing.

Pemberontakan orang-orang Yahudi ini menandai berakhirnya negara Yahudi sampai zaman modern.

Penghancuran Bait Allah (yang dipugar Herodes) mengubah tata cara peribadahan orang-orang Yahudi. Mereka tidak lagi mempersembahkan korban sembelihan, tetapi memilih dan mengutamakan sinagoge yang didirikan pendahulu mereka ketika Bait Allah (yang didirikan Salomo) dihancurkan orang-orang Babel pada tahun 586 sM.

Kemanakah perginya orang-orang Kristen ketika pemberontakan orang Yahudi itu berlangsung? Sesuai peringatan Kristus (Luk. 21:20-24), mereka lari ketika melihat Yerusalem dikepung pasukan Romawi. Mereka menolak mengangkat senjata dan melawan orang-orang Romawi. Mereka melarikan diri ke Pella di Transyordania.

Setelah bangsa Yahudi serta Bait Allah mereka hancur, orang-orang Kristen pun tidak dapat lagi bergantung pada perlindungan terhadap Yudaisme yang pernah diberikan kekaisaran. Karenanya, tidak ada tempat lagi bagi orang-orang Kristen untuk berlindung dari penyiksaan orang-orang Romawi.

±150 Yustinus Martir Menulis Apologynya


Filsuf muda itu berjalan-jalan sepanjang pantai, dengan pikirannya yang aktif, selalu aktif mencari kebenaran baru. Ia telah mempelajari ajaran-ajaran Stoa, Aristoteles dan Phythagoras tetapi sekarang ia menganut sistem Plato. Plato pernah menguraikan bahwa penglihatan akan Tuhan dikaruniakan kepada mereka yang mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Itulah yang dihendaki Yustinus, sang filsuf.

Ketika berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang Kristen. Yustinus tersentak melihat wibawa dan kerendahan hati orang tersebut. Orang itu mengutip nubuat Yahudi yang menunjukkan bahwa cara-cara orang Kristen itulah yang benar, dan Yesus adalah pernyataan Allah yang sesungguhnya.

Peristiwa itulah yang menjadi titik balik Yustinus. Dengan merenungkan tulisan-tulisan Taurat, membaca Injil dan surat-surat Paulus, maka ia pun menjadi orang Kristen sejati. Selama sisa hidupnya, lebih kurang tiga puluh tahun lamanya, ia mengadakan perjalanan, melakukan pekabaran Injil dan menulis. Ia telah rnemainkan peranan penting dalam perkembangan teologi gereja, dalam memahami dirinya sendiri dan dalam citranya yang ditampilkan kepada dunia.

Sejak awal, Gereja berperan di dua dunia yang berbeda, dunia orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi. Kisah Para Rasul menggambarkan lambannya dan terkadang sakitnya perkembangan kekristenan di kalangan orang-orang bukan Yahudi. Petrus dan Stefanus mengadakan pekabaran Injil kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus kepada filsuf-filsuf Athena dan para penguasa Romawi.

Dalam banyak hal, kehidupan Yustinus mirip dengan kehidupan Paulus. Rasul ini adalah orang Yahudi yang lahir di daerah bukan Yahudi (Tarsus), sedangkan Yustinus adalah orang bukan Yahudi yang lahir di daerah Yahudi (Sikhem kuno). Keduanya terpelajar dan tangguh berargumentasi untuk meyakinkan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi akan kebenaran Kristus. Keduanya mati syahid di Roma karena keyakinan mereka.

Pada pemerintahan para kaisar abad pertama, seperti Nero dan Domitianus, tujuan gereja hanya untuk dapat bertahan hidup dengan meneruskan tradisi mereka, yaitu menampilkan cinta kasih yang menyerupai kasih Kristus sendiri. Sedangkan bagi orang luar, kekristenan merupakan sekte primitif agama Yahudi dengan berbagai ajaran dan praktiknya yang aneh.

Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius, gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya. Yustinus menjadi salah seorang apologist (orang yang mempertahankan pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu.

Karya tulis Yustinus, The Apology, ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk mmnunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa.

Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah diilhami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyitir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. la mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia yang jahat — tentang hal ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja.).

Meskipun Yustinus bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui di pantai. Tetapi ia pun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho), ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.

Di samping menulis, Yustinus mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya. Di Efesus, ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalanannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.

Ia pernah menulis, "Anda dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami." Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang disandangnya sepanjang masa: Yustinus Martir.

Tahun ±156 Kemartiran Polikarpus



Polikarpus


Keadaan sangat memanas. Polisi Smyrna sedang memburu Polikarpus, uskup yang disegani di kota itu. Para polisi itu sudah mengirim orang-orang Kristen lainnya untuk dibunuh di arena, kini mereka menghendaki sang pemimpin.

Polikarpus telah meninggalkan kota itu dan bersembunyi di sebuah ladang milik teman-temannya. Bila pasukan mulai menyergap, ia pun melarikan diri ke ladang lain. Meskipun hamba Tuhan ini tidak takut mati, dan memilih berdiam di kota, teman-temannya mendorongnya bersembunyi. Mungkin karena mereka takut kalau-kalau kematiannya akan mempengaruhi ketegaran gereja. Jika itu alasannya, maka mereka salah tafsir.

Ketika polisi mendatangi ladang pertama, mereka menyiksa seorang budak untuk mencari tahu tentang Polikarpus. Kemudian mereka menyerbu dengan senjata lengkap untuk menangkap uskup itu. Meskipun ada kesempatan lari, Polikarpus memilih tinggal di tempat, dengan tekad, "Kehendak Allah pasti terjadi." Di luar dugaan, ia menerima mereka seperti tamu, memberi mereka makan dan meminta izin selama satu jam untuk berdoa. Ia berdoa dua jam lamanya.

Beberapa penangkap merasa sedih menangkap orang tua yang hegitu baik. Dalam perjalanannya kembali ke Smyrna, kepala polisi yang memimpin pasukan itu berkata, "Apa salahnya menyebut 'Lord Caesar' (Tuhan Kaisar) dan mempersembahkan bakaran kemenyan?"

Dengan tenang Polikarpus mengatakan bahwa ia tidak akan melakukannya.

Para pejabat Romawi yakin bahwa roh kaisar, ilahi adanya. Bagi orang Romawi pada umumnya, dengan sejumlah dewa, menyembah kaisar bukanlah masalah. Mereka melihat hal itu sebagai loyalitas kebangsaan. Namun orangorang Kristen tahu bahwa itu adalah penyembahan berhala.

Karena orang-orang Kristen menolak menyembah kaisar dan dewa-dewa Romawi, tetapi memuja Kristus secara sembunyi-sembunyi di rumah masing-masing, mereka dianggap orang kafir. Orang-orang Smyrna memburu orang-orang Kristen dengan pekikan, "Enyahkan orang-orang kafir." Karena mereka tahu bahwa orang-orang Kristen tidak pernah berperan serta dalam berbagai perayaan mereka yang memuja bermacam-macam dewa dan karena tidak pernah mempersembahkan korban, maka mereka menyerang kelompok yang mereka anggap tidak patriotik serta tidak beragama ini.

Maka, Polikarpus pun masuk dalam arena yang penuh dengan kumpulan orang beringas. Tampaknya, gubernur Romawi di sana menghormati usia uskup tersebut. Seperti Pilatus,
tidak ingin dianggap keji, jika mungkin. Hanya jika Polikarpus mau melakukan persembahan korban, maka semuanya dapat pulang kembali dengan selamat.

"Hormatilah usiamu, Pak Tua," seru gubernur Romawi itu. "Bersumpahlah demi berkat Kaisar. Ubahlah pendirianmu serta berserulah, "Enyahkan orang-orang kafir!"

Sebenarnya, gubernur Romawi itu ingin Polikarpus menyelamatkan dirinya sendiri dengan melepaskan dirinya dari orang-orang Kristen yang dianggap "kafir" itu. Namun, Polikarpus hanya memandang kerumunan orang yang sedang mencemohkannya. Sambil mengisyaratkan ke arah mereka, ia berseru, "Enyahkan orang-orang kafir!"

Gubernur Romawi itu berusaha lagi: "Angkatlah sumpah dan saya akan membebaskanmu. Hujatlah Kristus!"

Uskup itu pun berdiri dengan tegar. Ia berkata, "Selama delapan puluh enam tahun aku telah mengabdi kepada-Nya dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku dapat mencaci Raja yang telah menyelamatkanku?"

Menurut kisah, Polikarpus pernah menjadi murid Rasul Yohanes. Jika demikian, mungkin ialah orang terakhir yang berhubungan dengan gereja para rasul. Kira-kira empat puluh tahun sebelumnya, ketika Polikarpus memulai pelayanannya sebagai uskup, Bapa Gereja Ignatius telah menulis surat khusus untuknya. Polikarpus sendiri telah menulis suratnya untuk orang-orang Filipi. Meskipun surat tersebut tidak begitu cemerlang ataupun merupakan pendapatnya sendiri, namun mengandung unsur-unsur kebenaran yang ia pelajari dari para gurunya. Polikarpus tidak mengulas Perjanjian Lama, seperti orang-orang Kristen yang muncul kemudian, tetapi ia menyitir para rasul dan pemuka gereja lainnya untuk meyakinkan orang-orang Filipi.

Kira-kira satu tahun sebelum kemartirannya, Polikarpus berkunjung ke Roma untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang tanggal Hari Raya Paskah dengan uskup Roma. Ada cerita yang mengisahkan bahwa ia terlibat dalam perdebatan dengan Marcion, yang ia juluki "Anak sulung setan". Ajaran-ajaran para rasul yang ditampilkannya telah membuat beberapa pengikut Marcion bertobat.

Itulah peranan Polikarpus: saksi yang setia. Para pemimpin yang muncul kemudian hari mengadakan pendekatan-pendekatan kreatif untuk mengubah keadaan, namun pada zaman Polikarpus, yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan. Ia setia sampai mati.

Di arena perdebatan, pertukaran pendapat antara sang uskup dan gubernur Romawi berlanjut. Pada suatu saat, Polikarpus menghardik lawan bicaranya: "Jika kamu... berpura-pura tidak mengenal saya, dengarlah baik-baik: Saya adalah seorang Kristen. Jika Anda ingin mengetahui ajaran Kristen, luangkanlah satu hari khusus untuk mendengarkan saya."

Gubernur Romawi itu pun mengancam akan melemparkan dia ke binatang-binatang buas. "Panggil binatang-binatang itu!" seru Polikarpus. "Jika hal itu akan mengubah keadaan buruk menjadi baik, tetapi bukan keadaan yang lebih baik menjadi lebih buruk."

Ketika ia diancam akan dibakar, Polikarpus menjawab, "Apimu akan membakar hanya satu jam lamanya, kemudian akan padam, namun api penghakiman yang akan datang adalah abadi."

Akhirnya Polikarpus dinyatakan sebagai orang yang tidak akan menarik kembali pernyataan-pernyataannya. Rakyat Smyrna pun berteriak: "Inilah guru dari Asia, bapa orang-orang Kristen, pemusnah dewa-dewa kita, yang mengajar orang-orang untuk tidak menyembah (dewa-dewa) dan mempersembahkan korban sembelihan."

Gubernur Romawi menitahkan agar ia dibakar hidup-hidup. la diikat pada sebuah tiang dan dibakar. Namun, menurut seorang saksi mata, badannya tidak termakan api. "la berada di tengah, tidak seperti daging yang terbakar, tetapi seperti roti di tempat pemanggangan, atau seperti emas atau perak dimurnikan di atas tungku perapian. Kami mencium aroma yang harus, seperti wangi kemenyan atau rempah mahal." Ketika seorang algojo menikamnya, darah yang mengalir memadamkan api itu.

Kisah ini tersebar ke jemaat-jemaat di seluruh kekaisaran. Gereja menyimpan laporan-laporan semacam itu dan mulai memperingati hari-hari kelahiran serta kematian para martir. Bahkan mereka juga mengumpulkan tulang-tulangnya serta peninggalan lainnya. Setiap tanggal 23 Februari, diperingati hari "kelahiran Polikarpus" masuk ke surga.

Dalam kurun waktu satu setengah abad berikutnya, ratusan martir menuju kematian mereka dengan setia, dan banyak di antara mereka maju dengan semangat. Ini didasarkan pada laporan saksi mata uskup Smyrna itu.


Tahun 177 Irenaeus Menjadi Uskup Lyons





"Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari" bunyi Pengkhotbah 1:9. Namun ajaran-ajaran sesat yang bermunculan di dalam dan di sekitar gereja tetap saja berjalan.
Bukannya berpaling pada karya penebusan Kristus, banyak yang mencari ilmu mistik bagi keselamatan pribadi. Dalam gereja abad-abad permulaan, paham ini muncul dalam sekelompok pengikut yang menamakan dirinya Gnostik (gnosis dalam bahasa Yunani artinya "pengetahuan" ).

Sebelum Gereja didirikan, aliran semacam Gnostisisme memang sudah pernah ada. Ketika Yohanes menulis suratnya yang pertama, ia mengecam ajaran sesat ini. Namun, ajaran tersebut masih berlanjut pada abad kedua.

Kita tidak banyak mengenal Irenaeus, seorang penentang Gnostisisme pada akhir abad kedua. Mungkin ia dilahirkan di Asia Kecil lebih kurang pada tahun 125. Perdagangan yang lancar antara Asia Kecil dan Gaul (Perancis) memberi peluang bagi orang-orang Kristen untuk membawa agamanya ke Perancis, tempat mereka mendirikan sebuah gereja yang tangguh di kota Lyons.

Sebagai imam di Lyons, Irenaeus hidup sesuai namanya, yang artinya 'damai', dengan berkunjung ke Roma untuk meminta kepada uskup kelonggaran bagi kaum Montanis di Asia Kecil. Ketika itulah pembantaian orang-orang Kristen sedang marak di Lyons, dan dalam peristiwa ini uskup Lyons terbunuh.

Irenaeus diangkat menjadi uskup untuk menggantikan uskup yang terbunuh. Ketika itu terdapat banyak orang yang telah menganut Gnostisisme di Perancis. Penyebaran aliran ini sangat pesat karena kaum Gnostis menggunakan istilah orang-orang Kristen — meskipun mereka memberikan interpretasi yang berbeda secara radikal. Penyerapan istilah-istilah Kristen dengan berbagai konsep dari filsafat Yunani dan agama orang-orang Asia, sangat menggiurkan orang-orang yang "mau" percaya bahwa mereka dapat memperoleh keselamatan tanpa bergantung pada anugerah Bapa Yang Mahakuasa.

Irenaeus pun mempelajari bentuk-bentuk ajaran Gnostik. Meskipun sangat berbeda, secara umum mereka mengajarkan bahwa dunia fana ini jahat; bahwa dunia ini diciptakan dan diperintah oleh kuasa malaikat, bukan Tuhan; bahwa Tuhan berada jauh dan tidak ada hubungannya dengan dunia ini; bahwa keselamatan dapat diraih dengan mempelajari ajaran-ajaran rahasia khusus; bahwa kaum Gnostik itulah orang-orang rohani (pneumatikoi) yang lebih unggul daripada orang-orang Kristen (psychikoi) biasa. Para guru aliran Gnostik sangat mendukung pendapat ini dengan Injil Gnostiknya – buku yang biasanya membawa-bawa nama para rasul dan menggambarkan Yesus yang mengajarkan doktrin-doktrin Gnostik.

Setelah uskup Lyons itu mempelajari ajaran sesat itu, ia menulis Against Heresies, suatu karya besar yang membeberkan kebodohan "ajaran yang secara keliru disebut Gnostik". Dengan menyitir gambaran dari Perjanjian Lama dan Baru, ia membuktikan bahwa dunia diciptakan Allah yang penuh cinta kasih, yang kemudian ternoda oleh dosa-dosa manusia. Adam, manusia pertama yang tak berdosa, menjadi orang yang berdosa karena menyerah pada godaan. Tetapi kejatuhannya telah ditanggulangi oleh karya manusia tak berdosa yang kedua, yaitu Kristus, Adam baru. Tubuh tidaklah jahat. Pada hari penghakiman, tubuh dan jiwa orang-orang percaya akan diangkat, mereka akan tinggal bersama-sama Allah untuk selamanya.

Irenaeus paham bahwa ajaran Gnostik memikat kecenderungan manusiawi yang ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui orang lain. Tentang orang-orang Gnostik ia menulis, "Segera setelah seseorang dimenangkan, orang tersebut menjadi sombong dan merasa dirinya begitu penting, ia pun berjalan mengangkat dada dengan gaya seekor ayam jantan." Tetapi orang-orang Kristen seharusnya menerima anugerah Allah dengan rendah hati, dan tidak mengandalkan kegiatan-kegiatan intelektualnya yang akan membuat ia sombong.

Sepanjang hidupnya, Irenaeus dengan gembira mengenang perkenalannya dengan Polikarpus, yang pernah akrab dengan Rasul Yohanes. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa ia berpegang pada keabsahan para rasul ketika ia menolak paham Gnostik. Sang uskup menegaskan bahwa para rasul mengajar di tempat-tempat umum dan tidak ada satu pun yang dirahasiakan. Di seluruh kekaisaran, Gereja-gereja berpegang pada ajaran-ajaran yang hanya disampaikan para rasul Kristus, dan hanya inilah satu-satunya dasar keyakinan. Irenaeus menyatakan bahwa para uskup yang merupakan pelindung iman
(Kristen) adalah penerus para rasul. Dengan demikian, ia telah mengangkat martabat para uskup. Dalam bukunya Against Heresies, Irenaeus menetapkan standar bagi teologi gereja. Semua kebenaran yang kita butuhkan sudah tercantum dalam Alkitab. Ia juga membuktikan bahwa dirinya adalah seorang teolog terbesar semenjak Rasul Paulus. Argumentasinya yang tersebar luas merupakan pukulan besar bagi aliran Gnostik pada masanya.


Tahun ±196 Tertullianus Mulai Menulis Buku-buku Kristen




Image
Lukisan Tertullianus


"Darah para martir menjadi benih gereja."
"Hal itu pasti karena tidak mungkin."
"Apa urusan orang-orang Athena dengan Yerusalem?"

Kata-kata kiasan yang tajam seperti ini adalah ciri khas karya Quintus Septimius Florens Tertullianus – atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tertullianus. Ia lahir di Kartago, dibesarkan dalam keluarga berkebudayaan kafir serta terlatih dalam kesusasteraan klasik, penulisan orasi, dan hukum. Pada tahun 196 ketika ia mengalihkan kemampuan intelektualnya pada pokok-pokok Kristen, ia mengubah pola pikir dan kesusasteraan Gereja di wilayah Barat.

Sebelumnya, para penulis Kristen umumnya menggunakan bahasa Yunani – bahasa yang agak fleksibel dan halus, yang cocok digunakan untuk berfilsafat dan berdebat tentang hal-hal sederhana. Acap kali, orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani menggunakan cara berfilsafat seperti ini terhadap keyakinan mereka.

Meskipun Tertullianus, pengacara kelahiran Afrika itu, dapat berbahasa Yunani, ia memilih menulis dalam bahasa Latin, dan karya-karyanya mencerminkan unsur-unsur moral dan praktis orang Romawi yang berbahasa Latin. Pengacara yang berpengaruh ini telah menarik banyak penulis untuk mengikuti gayanya.

Ketika orang-orang Kristen Yunani masih bertengkar tentang keilahian Kristus serta hubungan-Nya dengan Bapa, Tertullianus sudah berupaya menyatukan kepercayaan itu dan menjelaskan posisi ortodoks. Maka, ia pun merintis formula yang sampai hari ini masih kita pegang: Allah adalah satu hakikat yang terdiri dari tiga pribadi.

Ketika dia menyiapkan apa yang menjadi doktrin Trinitas, Tertullianus tidak mengambil terminologinya dari para filsuf, tetapi dari Pengadilan Roma. Kata Latin substantia bukan berarti "bahan" tetapi "hak milik". Arti kata persona bukanlah "pribadi" (person), seperti yang lazim kita gunakan, tetapi merupakan suatu pihak dalam suatu perkara (di pengadilan). Dengan demikian, jelaslah bahwa tiga personae dapat berbagi satu substantia. Tiga pribadi (Bapa, Putra dan Roh Kudus) dapat berbagi satu hakikat (kedaulatan ilahi).

Meskipun Tertullianus mempersoalkan "Apa urusan Athena (filsafat) dengan Yerusalem (gereja)?" namun, filsafat Stoa yang populer pada masa itu turut mempengaruhinya. Ada yang berkata bahwa ide dosa asal bermula dari Stoisisme, kemudian diambil alih Tertullianus dan selanjutnya merambat ke Gereja Barat. Agaknya ia berpendapat bahwa roh (jiwa) itu adalah sebentuk benda: seperti tubuh dibentuk ketika pembuahan, maka roh pun demikian. Dosa Adam diwariskan seperti rangkaian genetik.

Gereja-gereja Barat menyimak ide ini, tetapi ide ini tidak dialihkan ke Timur (yang mempunyai pandangan yang lebih optimistik tentang sifat manusia).

Kira-kira pada tahun 206, Tertullianus meninggalkan Gereja untuk bergabung dengan sekte Montanis, sekelompok orang puritan yang bereaksi melawan apa yang mereka anggap sebagai kelonggaran moral di antara orang-orang Kristen. Mereka berharap kedatangan Kristus kedua kali itu segera terjadi. Mereka juga menekankan kepemimpinan Roh Kudus secara langsung, bukan kepemimpinan para rohaniwan yang ditahbiskan.

Meskipun Tertullianus pernah menekankan ide suksesi para rasul – pengalihan kuasa dan wibawa para rasul kepada para uskup – namun ia tidak dapat menerima bahwa para uskup memiliki kuasa mengampuni dosa. Ia berpendapat bahwa ini akan menjurus pada terpuruknya moral. Sementara itu para uskup terlampau yakin akan kuasa tersebut. Bukankah semua orang percaya adalah imam? Apakah ini Gereja para orang kudus yang dikelola mereka sendiri, ataukah sekumpulan orang kudus dan orang-orang berdosa yang dikelola "kelas" profesional yang dikenal sebagai rohaniwan?

Tertullianus sebenarnya berenang melawan arus. Selama lebih kurang dua belas abad kaum rohaniwan mendapat tempat khusus. Ketika Martin Luther menantang gereja, maka penekanan pada 'imamat semua orang percaya' kembali terangkat.


Tahun ±205 Origenes Mulai Menulis




Image
Profil di dinding : Gambar Origenes bersama muridnya


Pada awalnya, kekristenan dicemooh sebagai agama orang-orang miskin dan tidak terpelajar, dan memang sesungguhnya banyak penganutnya datang dari kalangan rendah. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Rasul Paulus, bahwa di gereja "untuk ukuran manusia, tidak banyak orang bijak, tidak banyak orang berpengaruh, tidak banyak orang terpandang" (1 Kor. 1:26).

Namun menjelang abad ketiga, cendekiawan terhebat pada masa itu adalah seorang Kristen. Baik kafir, penganut ajaran sesat maupun orang Kristen, semuanya mengagumi Origenes. Ia mempunyai pengetahuan luas dan ilmu yang tinggi, yang berpengaruh penting bagi pemikiran Kristen di kemudian hari.

Origenes lahir di Alexandria pada tahun 185. Ia berasal dari keluarga Kristen yang saleh.

Kira-kira pada tahun 201, ayahnya - Leonidas - dipenjarakan dalam satu gelombang penyiksaan oleh Septimus Severus. Origenes pun menulis surat kepada ayahnya di penjara agar tidak memungkiri Kristus demi keluarganya. Meskipun Origenes ingin menyerahkan diri kepada penguasa agar dapat menjadi martir bersama-sama dengan ayahnya, namun ibunya mencegahnya dengan menyembunyikan pakaiannya.

Setelah Leonidas mati sebagai martir, hartanya disita, dan jandanya terlantar dengan tujuh orang anak. Origenes pun mulai menanggulangi keadaan dengan bekerja sebagai guru sastra Yunani dan penyalin naskah. Karena hanyak di antara cendekiawan senior telah meninggalkan Alexandria dalam gelombang penyiksaan, maka sekolah kateketik Kristen sangat membutuhkan tenaga pengajar. Pada usianya yang kedelapan belas, Origenes pun memangku jabatan kepala sekolah tersebut dan memulai karir mengajarnya yang panjang, termasuk belajar dan menulis.

la menjalani kehidupan asketis, menghabiskan waktunya pada malam hari dengan belajar dan berdoa, serta tidur di lantai tanpa alas. Mengikuti titah Yesus, ia memiliki hanya satu jubah dan tidak mempunyai alas kaki. Ia bahkan mengikuti Matius 19:12 secara harfiah; mengebiri dirinya untuk mencegah godaan jasmani. Origenes berhasrat setia pada gereja dan membawa kehormatan bagi nama Kristus.

Sebagai seorang penulis yang sangat produktif Origenes dapat membuat tujuh sekretarisnya sibuk dengan dikteannya. Ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya, termasuk tafsiran-tafsiran atas setiap buku dalam Alkitab serta ratusan khotbah.

Karyanya Hexapla merupakan prestasi dalam bidang kritik teks. Di dalamnya, ia mencoba menemukan terjemahan Yunani yang terbaik bagi Perjanjian Lama, dan dalam enam kolom sejajar ia membentangkan Perjanjian Lama Ibrani, sebuah transliterasi Yunani, tiga terjemahan Yunani dan Septuaginta. Against Celsus adalah karya besar yang merupakan pertahanan bagi kekristenan terhadap serangan kafir. On First Principles merupakan upaya pertamanya dalam teologi sistematis; di sini Origenes dengan saksama meneliti keyakinan Kristen tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Penciptaan, jiwa, kemauan bebas, keselamatan dan Kitab Suci.

Origenes bertanggung jawab atas peletakan dasar-dasar penafsiran alegoris terhadap Kitab Suci yang berpengaruh pada Abad-abad Pertengahan. Pada setiap teks, ia percaya ada tiga tingkat pengertian: pengertian harfiah, pengertian moral, yaitu untuk memperbaiki jiwa, dan pengertian alegoris atau pengertian rohani, yakni pengertian tersirat yang penting untuk iman Kristen. Origenes sendiri mengabaikan makna harfiah atau gramatikal-historis teks dan lebih menekankan makna alegoris.

Origenes berupaya menghubungkan kekristenan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat pada masanya. Ia percaya bahwa filsafat Yunani merupakan persiapan untuk memahami Kitab Suci, dan secara analogi, yang kemudian dianut Augustinus, bahwa khazanah pengetahuan orang kafir digunakan oleh orang Kristen, seperti orang Israel "merampasi orang Mesir itu" (Kel. 12:35-36).

Dalam mempelajari filsafat Yunani, Origenes telah mengambil banyak gagasan Plato yang sangat asing dengan kekristenan Ortodoks. Dari kesalahan-kesalahannya, yang paling mencolok adalah paham Yunani bahwa benda dan dunia ini jahat. Ia percaya akan eksistensi roh sebelum lahir dan mengajarkan bahwa keberadaan manusia di atas bumi ini ditentukan oleh perilakunya ketika dalam keadaan praeksistensi (sebelum lahir). Ia menolak paham kebangkitan daging dan mempertimbangkan gagasannya bahwa akhirnya Allah akan menyediakan keselamatan bagi semua manusia dan malaikat. Karena Allah tidak mungkin menciptakan bumi ini tanpa berhubungan langsung dengan zat awal, maka Sang Bapa memperanakkan Putra-Nya untuk menciptakan bumi yang abadi ini. Ketika Sang Putra mati di kayu salib, maka itu hanya kemanusiaan Yesus yang mati sebagai tebusan bagi iblis atas kejahatan dunia.

Karena kesalahan-kesalahan semacam ini, maka Uskup Demetrius dari Alexandria mengadakan sidang yang mengekskomunikasi Origenes dari Gereja. Meskipun Gereja Roma dan Barat menerima ekskomunikasi ini, namun Gereja di Palestina dan sebagian besar Gereja Timur tidak menerimanya. Mereka masih mencari Origenes karena pengetahuan, kebijaksanaan dan kecendekiawanannya.

Dalam gelombang penyiksaan pada masa Decius, Origenes dipenjarakan, disiksa dan diputuskan untuk dihukum mati pada tiang. Tetapi hukurnan itu tidak terlaksana karena kaisar telah meninggal dunia. Karena penderitaan (batin) inilah Origenes jatuh sakit, kemudian meninggal sekitar tahun 251. la telah berbuat banyak, lebih daripada yang orang lain pernah lakukan untuk meningkatkan pemikiran Kristen dan rnembuat Gereja dihormati di mata dunia. Di kemudian hari, Bapa Gereja di Barat maupun di Timur merasakan pengaruhnya. Keanekaragaman pikiran dan tulisannya telah membawa reputasi baginya sebagai bapa ortodoksi dan bapa ajaran sesat.


Tahun 251 Cyprianus Menulis On the Unity of the Church




















Saint Cyprian (Thascius Caecilius Cyprianus)



Hubungan apa yang terjalin antara warga Gereja dan pemimpinnya? Dengan jalan apa Gereja dapat mendisiplinkan warganya? Hal-hal inilah yang harus digumuli gereja pada zaman apa pun.

Pada pertengahan abad ketiga, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas dikemukakan oleh Cyprianus, seorang kaya dan berbudaya, yang lahir, sekitar tahun 200 dalam keluarga kafir. Ketika ia menjadi Kristen, ia menanggalkan pola hidup lamanya, membagi-bagikan uang dan hartanya kepada orang miskin, serta bersumpah akan hidup suci. Tentang perubahan ini ia menulis: "Kelahiran kedua ini telah menciptakan manusia baru dalam diri saya, dengan hembusan Roh dari surga."

Sebagai seorang mantan guru retorika dan orator terkenal, Cyprianus yang fasih berbicara dan saleh ini menanjak melalui jenjang karir di Gereja sampai menjadi Uskup Kartago sekitar tahun 248.

Meskipun ia terlatih dalam sastra Yunani dan Romawi klasik, Cyprianus bukanlah seorang teolog. Tidak seperti Tertullianus, orang yang dia kagumi, Cyprianus adalah orang pragmatic, yang tidak menghiraukan pertengkaran tentang teologi pada masanya. Yang diinginkannya hanyalah persatuan di gereja. Di gereja yang tidak ada kesatuan, ia mencoba menyatukan orang-orang Kristen melalui kuasa para uskup.

Kaisar Romawi, Decius, telah menganiaya orang-orang Kristen dan menyebabkan beberapa orang menyangkal iman mereka. Decius tidak berniat menjadikan mereka martir, karena hal itu akan menarik perhatian yang lebih besar bagi kekristenan. Tetapi, ia menyiksa orang-orang Kristen dengan harapan mereka akan mengakui bahwa "Kaisarlah Tuhan". Mereka yang berbuat demikian dikenal sebagai orang-orang yang telah "murtad".
Orang-orang Kristen yang bertahan, yang disebut 'pengikut setia' itu seringkali memandang rendah orang-orang murtad tersebut. Maka sebuah konsili para uskup dibentuk untuk membuat peraturan-peraturan ketat dalam hal penerimaan kembali para orang murtad tersebut. Akibat ketatnya peraturan ini, seorang imam bernama Novatus memulai sebuah gereja saingan yang memberi kesempatan bagi orang-oring murtad itu menjadi anggotanya.

Meskipun Cyprianus tidak mengalami penyiksaan karena imannya, ia tidak setuju dengan perpisahan ini. Ia yakin bahwa orang percaya sejati harus menjalani hukuman untuk menebus dosa, untuk membuktikan imannya.

Hukuman untuk penebusan dosa itu terdiri dari penyesalan selama suatu masa tertentu dan setelah itu, orang tersebut dapat diterima kernbali dalam Perjamuan Kudus. Begitu ia menyelesaikan "masa penyesalannya", ia akan tampil di hadapan jemaat dengan berpakaian goni serta melumuri badan dengan abu, dan di situlah sang uskup akan menyatakan pengampunan baginya. Cyprianus merumuskan ini sebagai sistem berskala — semakin besar dosanya, maka semakin lama pula masa penyesalannya. Idenya mendapat sambutan dan menjadi disiplin Gereja paling kuat — yang terkadang disalahgunakan.

Pada tahun 251 Cyprianus mengadakan konsili di Kartago dan di situlah ia membacakan On the Unity of the Church (Persatuan di dalam Gereja), karyanya yang terkenal dan yang sangat berpengaruh dalam sejarah gereja. Gereja, katanya, adalah lembaga ilahi, yaitu mempelai Kristus, dan hanya ada satu mempelai. Hanya di dalam gereja manusia akan mendapatkan keselamatan, di luar itu yang ada hanyalah kegelapan dan kebingungan. Di luar Gereja, sakramen dan para rohaniwan — bahkan Alkitab — tidak ada artinya. Seseorang, secara pribadi, tidak dapat menjalankan kehidupan Kristen melalui kontak langsung dengan Allah; ia membutuhkan Gereja. Karena Kristus mendirikan Gereja di atas Petrus, si Batu Karang, Cyprianus berkata bahwa semua uskup dalam arti tertentu adalah penerus Petrus — dan oleh karenanya harus dipatuhi. Meskipun ia tidak menyatakan bahwa uskup Roma berada di atas para uskup lainnya, namun Cyprianus memandang keuskupan itu sebagai sesuatu yang khusus karena hubungan Petrus dengan kota tersebut.

Pernyataan-pernyataan Cyprianus seperti "di luar gereja tidak ada keselamatan" dan "seseorang tidak dapat mengatakan Allah sebagai Bapanya tanpa mengakui Gereja sebagai ibunya", telah mendorong orang-orang memberi tempat yang amat panting bagi para uskup. Seorang uskup dapat menentukan keanggotaan gereja. Akibatnya, ia berkuasa mengatakan "engkau telah diselamatkan", "engkau belum diselamatkan". Bukannya meyakini bahwa Roh (Kudus) bekerja melalui gereja, Cyprianus justru mengisyaratkan bahwa Roh (Kudus) bekerja melalui para uskup.

Dengan diterimanya ide ini, tentu saja, para uskup mendapat kuasa lebih besar. Cyprianus juga mencetuskan ide bahwa misa adalah pengorbanan tubuh dan darah Kristus. Karena para imam menjalankan fungsinya dalam ibadah atas nama Kristus, maka hal ini pun meningkatkan kuasa mereka.

Cyprianus meninggal karena penyiksaan Kaisar Valerianus. Karena ia menolak melakukan persembahan korban bagi dewa-dewa kafir, maka kepala Uskup Kartago itu dipenggal pada tahun 258.

Karena terancam perpecahan, Gereja pada masa Cyprianus berpegang pada ide-idenya. Uskup tersebut tentunya tidak menduga akibat dari cara-cara yang dirintisnya untuk mempersatukan gereja. Pada Abad Pertengahan, beberapa uskup yang rakus dan tidak bermoral menggunakan kuasanya untuk kepentingan pribadi, ketimbang untuk hal-hal rohani. Struktur hierarki yang menciptakan "persatuan" juga telah menyebabkan keretakan di antara rohaniwan dan kaum awam.


Tahun 270 Antonius Memulai Hidupnya sebagai Pertapa



Santo Antonius Meninggalkan Biaranya. DiLukis oleh Sassetta.

Salah seorang pendiri terpenting komunitas biara sebenarnya tidak punya ide untuk mendirikan apa pun. Ia hanya peduli pada kondisi spiritualnya sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya seorang diri.

Antonius lahir di Mesir sekitar tahun 250, dalam keluarga kaya. Ketika ia berumur dua puluh tahun, orang tuanya wafat, meninggalkan seluruh harta untuknya. Sebuah teks khotbah yang merupakan perintah Yesus kepada pengusaha muda yang kaya, "Jika ingin memperoleh hidup yang kekal, pergi dan juallah segala yang kau miliki ...", telah mengubah hidup anak muda ini. Kata-kata tersebut seolah-olah ditujukan kepadanya, dan Antonius pun mengartikannya secara harfiah. Ia membagikan tanah miliknya kepada orang-orang sekampung, menjual harta lainnya dan menyumbangkan uangnya kepada orang-orang miskin. Ia berguru pada seorang Kristen yang sudah berumur, dan belajar tentang sukacita penyangkalan diri. Antonius makan hanya satu kali sehari, yang terdiri dari roti dan air, serta tidur di atas lantai tidak beralas.

Dengan pertobatan Kaisar Konstantinus pada tahun 312, situasi gereja berubah drastis. Kedudukan orang Kristen tidak lagi sebagai kaum minoritas yang buronan, tetapi telah menjadi penganut suatu agama yang terhormat dengan dukungan resmi. Karena besarnya jumlah orang yang masuk gereja, maka tidak mudah lagi untuk mengenal orang-orang yang benar-benar memiliki komitmen pada Kristus dengan mereka yang datang hanya untuk dikenal sebagai bagian dari agama yang populer ini. Mudah percaya, namun belum tentu setia dalam penderitaan.

Orang-orang Kristen sejati pada zaman ini lebih memilih melawan (arus) daripada mengkompromikan keyakinan mereka, dengan meninggalkan (kehidupan) duniawi. Maka Antonius pun memilih sebuah kuburan sebagai tempat tinggalnya. Menurut penulis biografinya, Athanasius, Antonius selama lebih kurang dua belas tahun "ditawan" setan-setan yang mengambil bentuk bermacam-macam binatang buas dan terkadang menyerang dia serta meninggalkannya dalam keadaan hampir mati. Mereka mencoba menggoba Antonius untuk masuk ke dalam dunia maksiat, tetapi Antonius selalu menang.

Untuk lebih menjauhkan diri dari dunia ini, Antonius pindah ke sebuah benteng yang telah ditinggalkan. Di sana ia tinggal selama dua puluh tahun tanpa menemui seorang manusia pun. Makanan untuknya dilemparkan melalui tembok. Namun orang-orang telah mendengar penyangkalan dirinya dan pergumulannya dengan setan. Beberapa pengagumnya mendirikan pondok-pondok sementara dekat benteng tersebut, dan ia pun dengan rasa segan menjadi penasihat spiritual mereka dengan memberikan petunjuk dalam hal berpuasa, berdoa dan kegiatan-kegiatan amal. Antonius, dengan sendirinya telah menjadi panutan dalam penyangkalan diri.

Pertapa ini tidak pernah dapat melepaskan dirinya secara penuh dari dunia. Pada tahun 311, Maximianus, salah seorang kaisar kafir terakhir, menganiaya orang-orang Kristen, dan Antonius pun meninggalkan kediamannya untuk mati bagi keyakinannya. Tetapi ia akhirnya malah melayani orang-orang Kristen terhukum yang dipekerjakan di tambang-tambang kekaisaran. Pengalaman ini meyakinkannya bahwa hidup secara Kristen pun sama salehnya dengan mati untuknya (agama Kristen). Sekali lagi, pada tahun 350, ia meninggalkan kediamannya untuk membela ortodoksi melawan ajaran sesat Arius, yang dipicu Konsili Nicea (325). Orang-orang, termasuk Kaisar Konstantinus meminta nasihat spiritual dari sang pertapa ini.

Antonius wafat pada usia 105 tahun dan sampai pada akhir hayatnya, ia berada dalam keadaan sehat pikiran dan jasmani. Untuk mencegah berkembangnya pemujaan di kuburannya, ia meminta agar ia dikubur secara diam-diam.

Namun, pemujaan yang ditakutkannya tetap berkembang. Athanasius – teolog berpengaruh yang peranannya penting dalam Konsili Nicea telah menulis buku "Kehidupan Antonius" (Life of Anthony) yang sangat populer. Di dalamnya ia menggambarkan Antonius sebagai seorang rahib ideal, yang dapat melakukan keajaiban dan yang dapat mengenal roh jahat serta roh baik. Tidak lama kemudian, kisah seorang pahlawan spiritual yang telah menjadi rahib dan telah menyangkali dirinya pun mulai mempengaruhi Gereja.

Praktik komunitas rahib yang hidup bersama telah dirintis Pachomius, seorang teman Antonius. Seperti Antonius yang kuat dan ulet, sebagian besar pengikutnya memilih menjadi rahib. Antonius telah menyampaikan ide bahwa pribadi religius yang sejati akan mengundurkan diri dari kehidupan dunia dengan menjauhkan diri dari hidup berkeluarga dan kenikmatan duniawi.

Hingga era Reformasi, ide ini tidak pernah mendapat tantangan serius.


Tahun 312 Pertobatan Konstantinus




Patung Kaisar Konstantinus

Ketika itu bulan Oktober tahun 312. Seorang jenderal muda yang dipatuhi prajurit Roma yang ada di Inggris dan Perancis, berderap menuju Roma untuk menantang Maxentius, yang juga berupaya untuk naik takhta.

Seperti dikisahkan, Jenderal Konstantinus menatap ke langit dan melihat cahaya berbentuk salib. Di situ terdapat tulisan yang berbunyi "Bersama ini taklukkanlah". Prajurit yang percaya takhayul ini sebenarnya sudah enggan memuja dewa-dewa Roma dan memilih memuja dewa tunggal. Ayahnya adalah pemuja dewa matahari. Mungkinkah ini merupakan pertanda dari dewa tersebut pada malam sebelum pertempuran itu?

Di kemudian hari, Kristus muncul dalam mimpinya, dengan tanda yang sama, sebuah salib yang agak lekung di atasnya yang menyerupai huruf-huruf Yunani chi dan rho, dua huruf pertama dari kata Christos. Jenderal tersebut diperintahkan untuk membuat tanda ini pada perisai-perisai para prajuritnya. Ia melakukannya.

Seperti yang dijanjikan, Konstantinus pun memenangkan pertempuran tersebut.
Ini adalah salah satu momentum menentukan bagi perubahan dahsyat dalam kurun waktu seperempat abad. Jika Anda meninggalkan Roma pada tahun 305 M., tinggal di padang pasir, dan dua puluh tahun kemudian Anda kembali, Anda akan mengira bahwa kekristenan telah punah karena penganiayaan. Tetapi ternyata sebaliknya, kekristenan telah menjadi agama yang sangat digemari.

Ketika Diocletianus, salah seorang dari para kaisar yang amat brilian, mengambil tampuk kekuasaan pada tahun 284, ia mulai menata kembali pengaturan kemiliteran, ekonomi dan kepamongprajaan secara besar-besaran. Untuk sementara waktu ia tidak menyinggung orang-orang Kristen.

Salah satu ide Diocletianus yang dahsyat ialah rnenata ulang struktur kekuasaan kekaisaran. Ia membagi wilayah kekaisaran Roma dalam dua wilayah yaitu Timur dan Barat, dan setiap wilayah berada di bawah kekuasaan seorang kaisar serta seorang wakil kaisar. Setiap kaisar akan berkuasa selama dua puluh tahun, kemudian para kaisar yang akan mengambil-alih selama dua puluh tahun, dan seterusnya. Pada tahun 286, Diocletianus mengangkat Maximianus sebagai kaisar wilayah Barat, sedang ia sendiri memerintah wilayah Timur. Para kaisarnya ialah Konstantius Khlorus (ayah Konstantinus) di Barat dan Galerius di Timur.

Galerius sangat anti-Kristen (menurut laporan, ia melempar kesalahan akan kekalahannya pada suatu pertempuran karena seorang prajurit Kristen membuat tanda salib). Mungkin karena hasutan Galerius juga, maka kaisar wilayah Timur mengambil sikap anti-Kristen. Itu semua merupakan bagian dari penataan ulang kekaisaran sehingga Roma mempunyai mata uang yang seragam, sistem politik yang seragam dan harus mempunyai agama yang seragam pula. Untuk itu, orang-orang Kristen merupakan penghalang.

Mulai tahun 298, orang-orang Kristen diberhentikan dari kemiliteran dan jabatan-jabatan pamong praja. Pada tahun 303, pembantaian besar pun dimulai. Para penguasa merencanakan untuk mulai dengan pembantaian orang-orang Kristen pada Hari Raya Terminalia, tanggal 23 Februari. Gereja-gereja dihancurkan, Alkitab dirampas dan kebaktian dilarang. Pada awalnya tidak ada pertumpahan darah, namun Galerius segera mengubah keadaan. Sesuai jadwal, ketika Diocletianus dan Maximianus turun takhta pada tahun 305, Galerius mengadakan pembantaian yang lebih ganas. Konstantius, yang memerintah wilayah Barat, umumnya lunak. Tetapi cerita-cerita yang mengerikan dari Timur amat banyak. Pembantaian tersebut berlanjut sampai tahun 310, dan banyak orang Kristen menjadi martir pada peristiwa tersebut.

Namun, Galerius tidak berhasil menghancurkan Gereja. Anehnya, dalam keadaan sekarat ia berubah pikiran. Pada tanggal 30 April 311, Galerius yang ganas itu menyerah. Ia berhenti memerangi orang-orang Kristen dengan mengeluarkan Edik/Maklumat Kebebasan Beragama (Edict of Toleration). Sebagai seorang politisi, ia menekankan bahwa ia telah berbuat segala sesuatu untuk kekaisaran, namun, "sejumlah besar" orang Kristen ketika itu tetap "berpegang pada tekad mereka". Maka, sekarang sudah waktunya memberi mereka kebebasan berkumpul, selama mereka melakukannya dengan tertib. Selanjutnya ia menyerukan juga bahwa adalah "kewajiban mereka untuk berdoa kepada dewa mereka untuk kebaikan negara kita". Roma membutuhkan semua bentuk pertolongan yang memungkinkan. Galerius wafat enam hari kemudian.

Namun, skema Diocletianus menjadi berantakan. Setelah Konstantius wafat tahun 306, putranya, Konstantinus dinyatakan sebagai penguasa oleh para prajurit yang setia kepadanya. Tetapi, Maximianus yang sudah pensiun berupaya kembali dan memerintah lagi wilayah Barat bersama-sama dengan putranya, Maxentius (yang akhirnya melucuti kekuasaan ayahnya sendiri). Sementara itu, Galerius telah menunjuk Licinius, jenderal kesayangannya, sebagai penguasa wilayah Barat.. Masing-masing calon penguasa ini menuntut hak atas sebagian wilayah Barat ini. Mereka harus berperang untuk itu. Dengan cerdik, Konstantinus bergabung dengan Licinius dan bertempur melawan Maxentius. Pada pertempuran Milvian Bridge, Konstantinus menang.

Di sana, Konstantinus dan Licinius menunjukkan kekuatan berimbang. Konstantinus sangat berhasrat mengucapkan syukur pada Kristus, oleh karenanya ia tergerak untuk memberikan kebebasan dan status bagi Gereja. Pada tahun 313, ia bersama-sama Lucinius secara resmi mengeluarkan Edik Milano (Edict of Milan) yang menjamin kebebasan beragama di seluruh kekaisaran. Instruksi tersebut berbunyi: "Tujuan kita ialah untuk mengizinkan baik orang-orang Kristen maupun yang lain dengan bebas beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing."

Segera Konstantinus menaruh perhatian pada Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang, mengendalikan kontroversi dengan kaum Donatis serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea. la juga berebut kekuasaan dengan Licinius, yang ia gulingkan pada tahun 324.

Dengan demikian Gereja tidak lagi menjadi sasaran serangan, melainkan mendapat perlakuan istimewa. Dalam waktu yang sangat singkat, prospeknya berubah sama sekali. Setelah berabad-abad lamanya sebagai gerakan kebudayaan tandingan, Gereja diharuskan belajar cara menangani kekuasaan. Namun, semuanya tidak dilakukan dengan baik. Kehadiran Konstantinus yang dinamis membentuk Gereja pada abad keempat dan seterusnya. Ia adalah pakar kekuasaan dan politik, dan Gereja pun belajar menggunakan alat-alat tersebut.

Apakah penglihatan Konstantinus itu autentik ataukah ia hanya seorang oportunis yang memperalat kekristenan untuk kepentingannya sendiri? Hanya Allah yang tahu jiwanya. Meskipun dalam beberapa hal ia telah gagal mencerminkan keyakinannya, penguasa itu sesungguhnya telah mengambil perhatian aktif dalam kekristenan yang dianutnya, yang terkadang membahayakan dirinya sendiri.

Allah sesungguhnya memakai Konstantinus untuk memberi kemudahan bagi Gereja; sang kaisar itu menegaskan dan menjamin toleransi resmi bagi keyakinan ini. Namun, ia hanya mengikuti jejak Galerius yang sudah hancur yang sebelumnya telah melakukan hal itu. Dengan demikian, peperangan melawan penyiksaan Kekaisaran Romawi dimenangkan bukan di Milvian Bridge tetapi di arena-arena, ketika orang-orang Kristen dengan berani menyongsong kematian.


Nonton TV

Halaman