Minggu, 19 Agustus 2012

Diskriminasi di Indonesia terhadap Minoritas (2)




Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telahmendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati,untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendakmendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahunpengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, JawaTengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu disebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambiltangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkatadengan lantang: "Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!" Mendengar itu jantung sayaterkesiap, lalu saya tanya: "Cina yang mana Pak Fadel???" Jawabnya: "Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!" Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orangCinan ya (Ya saya ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya:
"Pak Fadel! Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!" katanya. Mendengar itu PakFadel menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu,saya lalu bertanya pada Pak Fadel: "Pak Fadel suku bangsa apa?" Jawabannya dengansuara kurang mantap: "saya orang Arab!". Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semuakan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok[intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa), tetapi
dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapatmenggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolongminoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu jugatergolong minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jaditergolongnya "pribumi" sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang
memang kedudukan sosial politik adalah tergolong minoritas, yang "non pribumi" apa lagimenurut ia semua orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim)dan Edi Tansil. Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulantidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karenasebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memangdemikian, karena kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh
Jaksa Agung, namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo.
Bukan main! Aneh bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masihdapat terjadi dalam jaman Reformasi ini.
Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukungpolitik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politikpembauran yang bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet sayadahulu, bernama Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretarisPaguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersediamembantu paguyuban mereka.


Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa darisegala agama diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahiBakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izinmempertunjukan Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu.
Kami semua sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaankeamanan dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depansaja. Namun ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnyamerasa sudah tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah TinggiSeni Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarakLian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat "Pribumi",
yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapatsambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa.
Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, sepertiMayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog MantanRektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokohMuslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten.
Selain itu juga wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Padakesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsaTionghoa dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi inidapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis.
Menurut beliau dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina.melainkan karena merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunanCina, karena mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikankambing hitam dan dibunuh. Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di
mana mereka berdiam.
Mendengar pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak PakJenderal, namun akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia-Tionghoa, karena mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknumpejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapatdisuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya,namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikankambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnyabeberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terussurvive dalam jaman Reformati ini.Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi initelah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masareformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu harirayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telahdisahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun dilain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhiaspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwaumat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga negaraIndonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivispenghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telahmengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah pirantihukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul
Kafir.Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.
Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminologi
kafir tidak dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini tidak sehat dalam hidup bernegara. Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakatmemperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."
Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998,di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya hidup-hidup. Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei1998 di restoran Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang
diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa. Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada
permerkosaan, karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja.
Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa. Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan
bahwa Komnas HAM sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan. Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hatihati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu
diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4).
Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.
Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi
pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka
waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh mencantum nama marganya.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas,khususnya suku bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus.Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
Sumber: Prof. Dr. James Danandjaja MA.(Universitas Indonesia)






Tidak ada komentar:

Nonton TV

Halaman