Selasa, 16 Juli 2013

sebuah Legenda Batak "Si Boru Natmandi"

 
Dahulu kala sewaktu penduduk yang mendiami Rura (Lembah) Silindung masih memeluk kepercayaan Sipelebegu [1], hiduplah seorang Raja yang kaya, besar dan bersahaja[2]. Mereka hidup dengan damai di sebuah huta [3] di tepi sungai Aek Situmandi [4] yang bersih dan jernih. Tempat tinggal raja itu berada di seberang Huta Siparini sekarang. Huta Siparini terletak di kaki Dolok (Gunung) Siatas Barita. Dolok Siatas Barita adalah tempat “Pamelean” [5] keturunan Guru Mangaloksa sewaktu belum masuk agama Kristen ke Rura Silindung.
Walaupun Dolok Martimbang lebih tinggi dari Dolok Siatas Barita, itu tidak masalah  bagi mereka karena  guru  Mangaloksa pertama sekali mendirikan huta di kaki Dolok Siatas Barita. Dari sanalah awalnya guru Mangaloksa bersama keturunannya  mendiami seluruh Rura Silindung. Oleh karena itu,  Dolok Siatas Barita merupakan tempat  “Dolok Parsaktian” [6] bagi keturunan Guru Mangaloksa sekaligus menjadi tempat Pamelean zaman dahulu.
 Aek Situmandi View of Hasak
Terkabarlah Raja ini karena kekayaannya, kebesaran dan kebersahajaannya. Semua tanaman-tanaman diladang maupun disawah berlimpah ruah, bahkan  tempat penyimpanan yakni “Sopo” [7] tidak bisa lagi menampungnya. Begitu juga dengan ternaknya ( kerbau dan babi ) berlimpah. Sang Raja tinggal di “Rumah Batak“ [8] Tetapi lebih terkenal lagi raja ini karena kecantikan putrinya yang bernama Si Boru Natumandi .
Banyak anak-anak raja yang ingin menjadikan  siboru Natumandi menjadi istrinya. Kabar mengenai kecantikan siboru Natumandi sudah tersebar ke “Desa Naualu” [9]. Keindahan tubuh yang semampai, keindahan  matanya yang teduh, senyum dan tertawanya yang membuat hati damai, kecantikan wajahnya yang mempesona, rambutnya bagaikan mayang terurai sampai ketumitnya, cara bicaranya yang lemah lembut dan sopan, perilakunya membanggakan orang tua dalam bermasyarakat, dan cara berpakaiannya juga sangat sopan. Tidak ada seorangpun yang melebihi karisma yang dimilikinya bahkan diantara kawan-kawan  putri-putri raja yang seumuran denganya di Desa Naualu. Tidak hanya itu, dia pandai mengambil hati kedua orang tuanya, sangat terampil manortor (Tari-tarian suku batak) serta penenun yang handal dan rajin.
Banyak raja-raja dari toba, samosir, humbang, pos-pos, dan angkola datang kepada raja itu untk meminang raja Siboru natumandi menjadi “Parumaennya” [10] (menantunya). Siboru natumandi sangat pandai mengambil hati orang tuanya, sehingga  dia putri kesayangan ayah ibunya. Karena itu, sewaktu raja-raja datang meminang Si Boru Natumandi jadi parumaennya, raja hanya menjawab yakni : molo mangoloi borukku, sipanolopi ma ianggo hami ( kalau putriku mau menerima, kami orang tuanya merestuinya).
Mendengar jawaban raja itu, maka semua raja-raja yang mau meminang Si Boru Natumandi menyuruh  anak-anaknya  menjumpai Si Boru Natumandi untuk  meminta agar dia mau jadi istrinya.
Sungguh lemah lembut jawaban Si Boru Natumandi pada anak-anak raja yang datang menjumpainya. Si Boru Natumandi sangat senang menyambut kedatangan anak-anak raja itu. Bahkan mereka disuguhkan dengan makanan yang lezat dan nikmat. Setelah selesai makan dia memberikan jawaban kepada raja tersebut.
 Aek Situmandi View of Hasak.
Anak-anak raja yang datang tidak bisa tenang, mereka selalu penasaran, hati mereka selalu berdebar-debar, apakah saya diterima? kalimat tersebut yang selalu ada dalam pikiran mereka. Kalau tidak diterima kenapa harus repot-repot memasak,  menyuguhkan makanan yang nikmat dan lezat dengan pelayanan yang memuaskan pada saya. Itulah yang menghantui pikiran anak-anak raja setip kali datang meminang. Wajahnya selalu tersenyum tidak menunjukkan ketidak sukaan pada setiap anak-anak raja yang datang. Hal tersebut juga membuat hati setiap anak-anak raja yang datang menjadi gusar dan bertanya-tanya sampai-sampai lupa pada makanan yang disuguhkan itu.
Perasaan ayah dan ibu Si Boru Natumandi ikut juga tidak tenang menunggu jawaban yang diberikan putrinya pada anak-anak raja yang datang itu. Mereka sangat berharap agar putrinya mau menerima  salah satu lamaran dari anak raja yang datang itu.
 
Setelah selesai makan, S Boru Natumandi memberikan jawabannya kepada anak-anak raja yang datang itu dengan sopan dan lemah lembut dia mengatakan : ‘mauliate ma diharoromuna na tu ahu, alai mulak ma hamu ai ndang lomo do pe rohakku mar hamulian’. (terimakasih karena telah datang menjumpai saya, tapi pulanglah kalian, karena saya belum ingin menikah/berumah tangga).
Bagaikan ‘Porhas na manoro di siang ari’ (bagaikan petir yang menyambar di siang hari) perasaan hati anak-anak raja mendengar perkataan Si Boru Natumandi yang singkat itu. Perasaan mereka lemas tak berdaya, tak sanggup lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah karena mendengar jawaban tersebut.
Seperti itulah jawaban yang di berikan Si Boru Natumandi kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Sungguh lemah lembut perkataannya, pelayanannya sangat sopan dan baik. Tapi jawabannya yang singkat itu bagaikan disembelih dengan sembilu, sungguh menusuk jantung.
Biasanya setelah anak-anak raja yang datang menjumpai Si Boru Natumandi pulang, kedua orang tua Si Boru Natumandi langsung menanyakan apakah putrinya itu  sudah menerima salah satu lamaran dari anak-anak raja yang datang tersebut? Tapi jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama yakni : ‘dang lomo do pe rohakku mar  hamulian amang-inang’ (ayah-ibu saya masih belum mau menikah).
Seperti itu juga raja-raja yang menyuruh anak-anaknya datang menjumpai Si Boru Natumandi mereka selalu bertanya-tanya. Setiap anaknya pulang dari rumah Si Boru Natumandi mereka langsung menanyakan : ‘beha do amang, di jalo do hatami? Asa manigor borhat hami mangarangragi’ (“Bagaimana nak, apakaah lamaranmu diterima?” lamaranmu? Supaya kita langsung berangkat menjumpai orang tuanya). Tapi dari pancaran wajah si anak yang lesu tidak bersemangat, mereka sudah tahu bahwa anak mereka tidak di terima Si Boru Natumandi. Semua raja-raja yang menyuruh anaknya itu menjumpai Si Boru Natumandi bertanya-tanya : ‘na behado ulaning, na hurang mora do pe au, nahurang do hasangapon hu?’ (apa gerangan yang terjadi, apakah saya kurang kaya, apakah saya kurang bersahaja?) Padahal kekayaan dan kehormatan saya bahkan sangat melebihi orang tua si perempuan, kata hati setiap raja-raja yang mengirim anaknya menjumpai Si Boru Natumandi.
Siang berganti malam, hari berganti minggu,  bulan berganti  tahun tetapi , jawaban yang    diberikan     Si Boru   Natumandi   selalu   sama  kepada  setiap  anak-anak raja yang datang  melamarnya. Ayah dan  Ibunya  sedih sebab  terdengar  berita  bahwa raja-raja yang menyuruh anaknya  menjumpai   Si Boru Natumandi  merasa   dikecilkan  dan mereka sakit hati. Padahal anak-anak raja tersebut tidak memiliki kekurangan  bahkan bisa dikatakan  sudah sempurna,  wajah  mereka   tampan,  kaya dan jug berkedudukan. Tetapi kedua  orang  tua Si Boru Natumandi  bingung  dan bertanya – tanya  dalam  hatinya.   Apa sebenarnya yang dipikirkan Si Boru Natumandi?
Kadang-kadang hati kedua orang tua Si Boru Natumandi sedih memikirkan itu, tapi mereka tidak mau memaksakan kehendak,takut putrinya tersinggung, sedih atau menangis,mereka juga takut putrinya nanti sakit hati pada mereka. Karena Pada dasarnya marga Hutabarat sangat baik dan sayang  pada anak perempuannya, bahkan sampai sekarang pun bisa kita lihat dalam kehidupan sehari- hari dan boru hutabarat sangat baik marhula-hula.
Ada kebiasaan sehari-hari Si Boru Natumandi yakni : dia tidak suka martua aek[11] dan mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai. Dia suka martua aek dan mandi di siang hari. Biasanya diwaktu  mandi dia marhatobung [12] di sungai. Setiap dia marhatobung, selalu terdengar sampai ke kampung, ladang dan sawah. Bahkan orang yang bekerja di sawah dan di ladang menghentikan  pekerjaanya hanya untuk mendengar hatobung Si Boru Natumanding. Entah kenapa, semua hasil pekerjaan Si Boru Natumandi lain daripada yang lain. Seperti hasil tenunannya sangat cantik dan indah lain dari tenunan putri-putri raja. Setiap orang memegang tenunannya, sepertinya ada satu kekuatan yang tidak nampak dan mampu menarik hati orang untik membelinya. Masakannya juga enak dan selalu nikmat, apa yang dikerjakannya selalu cocok  bagi orang yang melihatnya.
Banyak orang bertanya-tanya dalam hati mereka tentang kelebihan yang dimiliki Si Boru Natumandi terutama para tua-tua,dan kelebihan itu   tidak membawa keburukan sehingga membuat kaum muda dan orang tua tidak melanjutkan pertanyaan yang selama ini mereka tanyakan dalam hati mereka.
Disuatu hari, ibunya mendengar Si Boru  Natumandi sedang berbicara di tempat dia menenun. Ibunya mendekat dan ingin melihat siapa teman putrinya berbicara. Si Boru Natumandi sangat serius berbicara sambil mengerjakan tenunannya. Dari pembicaraan itu  terdengar suara  seorang pemuda yang menemani putrinya. Terkadang Si Boru Natumandi  tersenyum malu, dan kadang-kadang bukan dia yang menenun tenunannya. Ibunya terkejut melihat kejadian itu, sebab di sekeliling tempat putrinya bertenun tidak ada orang yang sedang berbicara dengannya.
Dihapusnya wajah dan dadanya,lalu si ibu tersadar setelah melihat kejadian  aneh yang menimpa putrinya. Dia bertanya dalam hatinya “apakah saya  sedang bermimpi?” “tapi saya tidak tidur”. Dia kembali melihat putrinya itu, tetapi tetap saja sama seperti yang pertama dilihatnya itu.
Setelah  beberapa hari kemudian dia memberitahukan kejadian  aneh yang menimpa putrinya   itu pada suaminya.  “Bibir saya bukan diretak panas……?” ( Apa yang saya katakan itu benar ) “Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!” Ujar sang ibu kepada suaminya. Tetapi  raja itu tidak menanggapi celotehan istrinya dan juga tidak menanggapi    kejadian aneh yang menimpa  putrinya itu  dengan serius.   Malah sang raja menjawab , “ah, atik tung na marnipi do ho boru ni raja nami, nabisuk marroha do borunta i, sodung disurahan pangalahona, tung heama i ?” ( “ah, mungkin dinda sedang bermimpi, putri kita kan orangnya sopan, dan dia tidak pernah berbuat hal- hal yang yang buruk) Akhirnya kedua orang tuanya tidak   mempertanyakan masalah itu lagi.
Mungkin  Si Boru Natumandi sudah jatuh cinta pada pemuda yang datang menjumpainya itu, sebab disuatu hari dia memberitahukan kepada kedua orang tuanya  bahwa dia sudah menemukan pemuda pujaan hatinya.  Orang tuanya sangat senang mendengarkan apa yang diberitahukan putrinya.
Biasanya, jika seorang putri sudah menemukan tambatan hatinya. sudah lumrah bagi orang tuanya untuk menanyakan perihal  pemuda yang menjadi tambatan hati putrinya. Bagaimana kelahirannya, bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana kekayaannya, dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan orang tua pada putrinya perihal pemuda yang menjadi tambatan hatinya. Supaya nantinya putrinya bahagia dan tidak terlantar, serta menantu itu nantinya bisa menjadi kawan yang dapat diandalkan di waktu terjadi hal-hal yang tidak diingainkan terlebih waktu berperang.
Si Boru Natumandi memberitahukan perihal idamannya kepada orang tuanya  yakni : “na pat ni gaja  tu pat ni hora, pahompu na raja jala anakni na mora do na manopot ibana” (cucu raja  serta anak orang kaya yang sedang melamar dia ).” Pemuda yang melamar saya  adalah pemuda yang baik, berhati bersih, bertanggung jawab dan dia anak raja, kata Siboru Natumandi  pada kedua orang tuanya dengan kegembiraan   yang terpancar  pada  pada raut wajahnya. Melihat kegembiraan putrinya itu, kedua orang tuanya tahu  bahwa Siboru Natumandi  sudah serius menerima lamaran   yang datang dari pemuda  itu. Kerinduan mereka sudah terpenuhi , sehingga mereka  ikut bergembira mendengar kabar  tersebut dan mereka berkata : ” ba molo songoni do inang patandahon majo  tu hami asa dohot hami mamereng nanaeng ga besirongkap ni tondi mi” (kalau memang seperti itu , pertemukanlah kami padanya, supaya kami dapat melihat pemuda yang menjadi  teman hidupmu nanti).
Disuatu hari Siboru Natumandi mempertemukan pemuda itu kepada orang tuanya. Sungguh tampan di, cara berpakaiannya menunjukkan dia keturunan seorang raja yang bersahaja, bentuk badannya seperti “ ulubalang “[13]. Tidak berselang  beberapa lama,pemuda itu tiba- tiba menghilang bersamaan  kedipan mata kedua orang tua  Si Boru Natumandi . Tiba- tiba mereka melihat seekor  ular keluar  dari rumah mereka. “Apa yang terjadi ?” Kata ayah Si Boru Natumandi  : “pasada ma roha dohot pikkiran mu amang , jala  sonang  ma roha  muna paborhatton ahu  marhamulian  tu silomo ni rohakku” ( satukan hati dan pikiranmu ayah, relakan hati kalian memberangkatkan saya memilih pemuda yang menjadi teman hidupku nanti). Kedua orang tuanya terdiam  tidak bisa berbicara apa-apa, karena Si Boru natumandi putri  yang sangat mereka sayangi dan kasihi.
Pada suatu hari , Si Boru Natumandi memberitahukan kepada orang tuanya  perihal keberangkatannya dan tentang apa saja  yang akan   mereka kerjakan setelah dia  berangkat dari rumah nanti.  Hal-hal yang akan mereka kerjakan dan yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Mereka tidak perlu membuat pesta pemberangkatan,baru setelah 7 hari kemudian baru dibuat pesta yang besar sebab “ sinamot” [14] yang akan diberikan cukup besar. 
  2. Seperti  sinamot dari pihak laki- laki , mereka akan meninggalkannya di suatu tempat dengan jumlah 7 “ampang“ [15]. Sebelum 7 hari 7malam ampang itu tidak bisa dibuka oleh siapapun
  3. Setelah 7 hari 7 malam ampang itu baru bisa dibuka dan didalamnya akan terisi emas, itulah yang menjadi sinamot kami.
  4. Dalam  waktu 7 hari itu setelah kami berangkat, kami akan mengantar “pinahan“ [16] untuk dimakan, dan pada waktu pesta itu kami akan    mengantar kerbau sebagai “panjuhuti” [17]
  5. Tempat tinggal kami nantinya sangat jauh, kalian ikuti aja “sobuan” [18] yang saya jatuhkan mulai dari depan rumah kita. Dimana sobuan itu nantinya berakhir,sampai disitulah kalian mengikuti saya.sebab jalan yang saya lalui harus melalui sebuah gua yang ujungnya sampai ke daerah Toba dan bercabang ke daerah Penabungan.
Kedua orang tua si Boru Natumandi hanya diam mendengar semua yang dikatakan putrinya itu.  Mereka hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada “Mulajadi Nabolon” [19]
Setelah tiba waktu keberangkatan Si Boru Natumandi,lalu dia memasak makanan yang lezat mulai dari pagi hari sampai sore hari. Setelah semuanya siap mereka berdua makan bersama ,kedua orang tua si Boru Natumandi melihat putrinya sedang makan bersama pemuda yang pernah mereka lihat waktu itu.
Sesudah mereka selesai makan, kemudian orang tuanya melihat mereka lagi tetapi si Boru Natumandi dan pemuda itu tidak ada lagi di tempat mereka makan. Lenyap seperti ditelan bumi,orang tuanya melihat makanan yang tersaji itu tidak berkurang sedikitpun dan sudah dingin seperti sudah lama ditinggalkan.
Pagi-pagi buta, ibu Si Boru Natumandi bangun bersama ibu-ibu lain melihat sobuan tersebut dan mengikutinya seperti yang di pesankan Si Boru Natumandi pada ibunya. Mereka mengikuti sobuan itu hingga sampai di depan mulut sebuah gua yang berada di tepi  Aek Situmandi dekat aek rangat [20]. Mereka memberanikan diri memasuki gua tersebut,tetapi karena terlalu gelap mereka memutuskan  untuk tidak meneruskannya terlalu dalam lagi. Mereka pulang dan memberitahukan kejadian tersebut. Kabar itu langsung tersebar  di seluruh Lembah Silindung.
Setelah matahari tebit dari atas Dolok Siatas barita, sampailah ke huta itu beberapa ekor “aili” [21] yang besar-besar dan gemuk.Sepertinya ada yang menyuruh mereka turun dari hutan menuju Dolok Siatas Barita. Semua aili itu jinak dan tidak meronta  sewaktu ditangkap dan disembelih oleh orang-orang kampung  untuk digunakan pada acara pesta. Seperti itulah terus menerus aili turun dari hutan  di atas Dolok Siatas Barita selama 7 hari, sampai-sampai semua orang yang datang ke acara pesta itu  membawa sebagian dagingnya ke kampung  masing-masing.
Mungkin sudah kemauan Tuhan Yang Maha Esa, sebab sebelum digenapi 7 hari 7 malam beberapa  orang dari keluarga dekat si Boru  Natumandi secara diam-diam  mengintip isi ampang itu. Padahal Siboru Natumandi sudah memberitahukan  bahwa ampang itu tidak bisa di buka oleh siapapun sebelum tergenapi hari yang dijanjikannya. Mereka melihat isi ampang itu hanya sobuan yang sudah mulai menggumpal seperti emas di dalamnya.
Setelah kejadian itu,ayah dan ibu Si Boru Natumandi bermimpi. Mereka didatangi putrinya dan memberitahukan bahwa sudah ada yang melihat ampang  yang telah dipesannya itu. Ampang dan isinya sudah hambar sebab pesannya sudah dilanggar.
Melihat semua kejadian yang menimpa keluarga dan putrinya,maka raja tersebut mengumpulkan semua raja-raja,tua-tua kampung dan semua penduduk hutabarat  berkumpul “martonggo” [22] ke Mulajadi Na Bolon “Tung naso jadi ma Boru Hutabarat nauli molo marhasohotan tu “Ulok” [23] (Tidak akan pernah ada lagi  boru Hutabarat yang cantik rupawan kalau jadinya kawin sama ular).
Disini kami menegaskan bahwa asumsi masyarakat selama ini tentang si Boru Natumandi (semua boru Hutabarat saat ini) yang sombong adalah salah, dimana menurut cerita selama ini bahwa secantik apapun boru Hutabarat pasti ada cacatnya. Banyak marga Hutabarat membeberkan hal tersebut, tetapi perlu digaris bawahi itu terjadi bukan karena kesombongan namun karena sumpah leluhurnya tersebut.
Namun semua itu dikembalikan kepada penilaian kita masing-masing, kalau kita tinjau dari segi agama mungkin sangat bertolak belakang. Agama pada dasarnya membenarkan  suatu kejadian yang benar-benar terjadi bukan rekaan. Kita bisa membacanya dari kitab yang kita yakini sesuai dengan agama yang kita anut. Tetapi walaupun demikian kita tidak bisa menyalahkan budaya batak terutama pada zaman dahulu. Zaman dahulu masyarakat Silindung masih mempercayai legenda atau cerita rakyat yang bersifat anonim bukan hanya cerita  “Si Boru Natumandi”, masih ada legenda lainnya yang dipercayai orang batak seperti ”Terjadinya Danau Toba di Samosir”. Sedangkan zaman sekarang yang diperlukan adalah perkembangan sumber daya  manusia (pendidikan/keterampilan) berdasarkan moral religius dan etika. Oleh karena itu, dari segi agama maupun budaya kita bisa memilah mana yang bisa kita terima secara logika.

[1] Sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah
[2] Sumber mengatakan Raja itu bernama Raja Ama Natidar. Raja Ama Natidar mempunyai 2 orang putra yaitu : Raja Natidar dan Tuan Jabut serta seorang putri yang cantik rupawan yang bernama Si Boru Natumandi
[3] Huta, desa, kota; marhuta, berkediaman di kampung; marhuta sada, berjalan-jalan, tidak tinggal di kampung, keluar kota, bepergian; huta sabungan, ibu kota, kampung induk; parhutaan, pemukiman, perkampungan; pardihuta, bini, isteri, yang bertugas di desa, (lawan parbalian); tarhuta, diketahui orang didesa bahwa orang berutang banyak; marhutahuta, mainan anak-anak bangun kampung-kampungan; raja hutam sesepuh kampung; Huta Raja, Huta Talun, Huta Pea, nama desa, nama kampung. Sumber mengatakan kampung itu bernama Banjar Nahor. Tahun 1985 kampung itu berganti nama menjadi Banjar Nauli. Hanya ada 2 kampung pada masa itu yakni Hutabagasan dan Banjar Nahor
[4] Aek Situmandi. Nama sebuah sungai di daerah Hutabarat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Bentuk sungai sudah besar dan jalurnya sudah berubah.
[5] Pele kata dasar, mamele, umpele, menyajikan, mempersembahkan sajian, kurban kepada dewata atau roh; mamelehon, mempersembahkan sebagai kurban; pelean, persembahan, kurban sajian; mamele begu, memberi persembahan kepada nenek moyang, kepada roh-roh, menyembah roh; sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah. Dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat Penyembahan keturunan Guru Mangaloksa.
[6] Dolok Parsaktian. Dolok, gunung, pegunungan; dolokdolok, bukit, perbukitan; pardolok, penduduk gunung, juga: terletak di gunung; pardolohan, pegunungan.Di daerah Toba ada juga Dolok yang sama seperti Dolok Siatas Barita yang dijadikan masyarakat Balige dan sekitarnya menjadi tempat pamelean mereka yaitu Dolok Tolong
[7] Sopo, lumbung padi, di bawah atap disimpan padi, di ruang terbuka tempat menerima tamu serta tempat mengadakan pertemuan, di atas juga tidur para pemuda
[8] Ruma, rumah adat, terutama rumah Batak yang diukir; pardiruma, isteriku, nyonya rumah; di ruma, di nifas; ruma sahit, rumah sakit; dipaturuma, memanggil begu ke dalam rumah; ruma bolon, penjaga modal bersama, yang bertanggung jawab untuk itu.
[9] Desa, penjuru, mata angin; desa na ualu, delapan penjuru angin
[10] Parumaen, menantu perempuan; parumaen di losung, = parumaen sinonduk, calon menantu perempuan, yang sudah diterima dalam rumah sebagai pembantu dan sudah diberikan mas kawin, mengenai dia dikatakan: hira hatoban siulaon, alai hira raja nasida anggo di sipanganon, ia harus kerja seperti seorang hamba, tetapi ia peroleh makanan seperti seorang raja
[11] Martuaek, mengambil air
[12] Marhatobung. Yakni air sungai di permainkan dengan cara ditampar ,dipukul, dipotong dan disodok dengan tangannya  hingga menimbulkan suara atau musik yang sangat enak didengar.
[13] Ulubalang. Kata dasar Ulu, kepala; ulu ni timbaho, ujung lempeng tembakau yang paling enak rasanya; ulu ni rihit, gosong, busung pasir; P.B.: madungdung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, molo mardomu angka na bolon, adong do ulu buaton, bambu besar menyentuh bambu kecil, manakala orang-orang besar bertemu pasti akan ada korban; manguluhon, memimpin perkara; pangulu, penengah antara dua pihak; pangulului, telah melihat setengah jalan (matahari); na pangului, jam 09.00 pagi; ulubalang, hulubalang, pendekar; ulubalang ari = hasiangan on;pangulubalang, patung kecil yang dipuja yang dimasukkan sedikit pupuk; hauluan = haulian = ulu, hauluan, tanda “i” dalam tulisan Batak: juga haulian; paulubalanghon, disewa sebagai hulubalang
[14] Sinamot.. Mas Kawin
[15] Ampang, bakul yang dianyam di bawah, berbentuk empat segi dan di atas bundar, juga dipakai sebagai takaran beras atau padi; parampangan, bakul besar dimana di dalamnya disimpan bakul-bakul kecil; na marampang na marjual, = na marpatik na maruhum, seseorang yang memakai takaran dengan baik dan jujur, menimbang secara adil dan punya undang-undang dan hukum keadilan; mangihut di ampang, berlangsungnya per-kawinan seorang gadis hanya dengan membawa bakul makanan buat pihak mertuanya, karena mahar (mas kawin) sudah beres sebelumya; marmanuk di ampang, meramalkan masa depan berdasarkan letak badan ayam yang lehernya dipotong segera ditutup dengan “ampang” (tentang dukun); parampang ni luat, bagian dari pekan yang dikhususkan bagi sesuatu daerah untuk menyimpan barang mereka; P.B.: sadampang gogo, sanjomput tua, tenaga satu ampang banyaknya, keuntungan hanya sejemput, kerja mati-matian, hasil minim; manghunti ampang, mempe- lai baru, yang pertama kali membawa makanan kepada mertuanya; suhi ni ampang na opat, sudut bakul nan empat, sebagai lambang empat fungsional penerima mas kawin pada adat menikahkan puteri empat; kerabat yang paling utama, dalam hal ini diingat kepada ampang yang ditutupkan datu pada ayam sembilahan itu, bila ayam itu menggelepar sampai keranjang jatuh, artinya celaka. Oleh karena itu keempat sudut keranjang harus diperberat.
[16] Pinahan. Ternak atau hewan yang di peliharaan (babi) yang di sembelih waktu perkawinan
[17] Juhut, daging; juhut bontar, orang utan, mawas; juhuton, muak, kebanyakan makan daging; juhutjuhuton, mengelupas pada kulit kuku; manjuhuti, menyediakan lauk daging; panjahuti, daging yang dibawa ayah mempelai laki-laki pada marunjuk
[18] Sobu, hidupkan api, lepas, sibuk, rajin pada sesuatu; manobu api, menutup api dengan abu, agar jangan padam betul; sobuon, tumpukan kulit padi, sekam, kulit tipis pada padi yang sewaktu menumbuknya menjadi lepas (ditebarkan pada api agar tidak mati); tano sobusobu, tanah yang lembek (seperti sobuon)..
[19] Mulajadi Na Bolon, dewa tertinggi yang menjadikan dunia dan nasib manusia berada dalam tangannya. Mula, mula, awal, asal; mulamula, mula-mula; di mula ni mulana, pada awal sekali; di mulana, mula-mula; parmulaan, permulaan; marmula, memulai; marmulahon, sesuatu sebagai asal mula-mula
[20] Rangat, aek rangat, air belerang, air hangat bersumber dari alam
[21] Aili, celeng, babi hutan
[22] Tonggo, martonggo, berdoa dalam agama animisme, berdoa kepada dewa; martonggo raja, mengundang raja-raja untuk turut berpesta; tonggotonggo, doa-doa bersifat agama.
[23] Ulok, ular; ulok na bisa, ular berbisa

Tidak ada komentar:

Nonton TV

Halaman